NovelToon NovelToon
Hadiah Terakhir Dari Ayah

Hadiah Terakhir Dari Ayah

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintamanis / Cinta setelah menikah / Keluarga / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:679
Nilai: 5
Nama Author: GoodHand

Desa Tirto Wening adalah sebuah desa yang ada di pelosok sebuah wilayah Kabupaten. Dipimpin oleh seorang pemimpin berdarah biru yang merupakan keturunan bangsawan keraton, desa itu terkenal dengan kemakmuran warganya.

Mahesa Narendra, pria tampan yang di gadang - gadang akan menjadi penerus kepemimpinan sang Ayah di Desa Tirto Wening, di minta untuk menikahi seorang gadis, putri dari sahabat Ayahnya.

Pak Suteja, sahabat sang Ayah, meminta Raden Mas Mahesa untuk menikahi putrinya yang bernama Anaya Tunggadewi. Semua itu Pak Suteja lakukan untuk melindungi putri semata wayangnya dari keluarga yang sedang memperebutkan harta waris.

Bagaimanakah romansa di antara keduanya?
akankah mereka berdua hidup bahagia?
apakah Anaya akan betah tinggal bersama suaminya di desa?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GoodHand, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

13. Suasana Desa

"Raden Ayu, ayo kita jalan - jalan." Ajak Raden Mas Mahesa pagi itu.

"Mau kemana, Raden Mas?." Tanya Anaya.

"Ya jalan saja keliling desa. Sekalian olah raga pagi, Raden Ayu. Pakai jaket ya." Ajak Raden Mas.

Anaya pun menurut, ia segera mengganti pakaiannya dan bersiap. Raden Mas Mahesa berjalan sambil menggandeng tangan istrinya pagi itu. Suasana pagi di desa Tirto Wening sangatlah sejuk. Embun pagi yang menerpa wajah terasa begitu dingin menyentuh kulit.

"Pakai jaketmu yang benar, Raden Ayu. Dingin kan." Ujar Raden Mas Mahesa sambil menaikkan resleting jaket istrinya.

Mereka kembali berjalan setelah Raden Mas Mahesa memastikan kalau istrinya tetap hangat. Raden Mas Mahesa kemudian menggenggam tangan Anaya dan menyembunyikannya di kantung jaketnya.

"Padahal di genggam saja sudah hangat." Celetuk Anaya.

"Biar makin hangat. Sepertinya salah waktu, aku mengajakmu jalan - jalan pagi ini, Raden Ayu." Ujar Raden Mas.

"Kenapa? Itu matahari mulai muncul. Sebentar lagi pasti lebih hangat." Jawab Anaya.

"Lebih enak kelonan di kamar, hangat." Jawab Raden Mas sambil tertawa.

"Tumben Raka dan Jaka gak ngekor Raden Mas?." Tanya Anaya.

"Sengaja gak aku bolehin ikut. Aku ingin pergi berdua denganmu, Raden Ayu." Jawab Raden Mas Mahesa yang membuat Anaya tersenyum.

Di perjalanan, mereka bertemu sapa dengan para petani yang hendak pergi ke kebun dan ke sawah. Raden Mas dan Anaya selalu menjawab ramah sapaan dari warganya.

"Kita mau kemana, Raden?." Tanya Anaya.

"Lihat warga panen jagung, sekaligus lihat sawah yang akan di jadikan arena pacuan kuda." Jawab Raden Mas Mahesa.

"Kok pacuan kuda di sawah, Raden?."

"Iya, minggu depan kan kita akan mengadakan Tradisi pesta panen." Jawab Raden Mas Mahesa.

"Bukannya pesta panen di gelar waktu panen padi ya, Raden Mas?." Anaya tampak penasaran, karna di tempat tinggalnya sudah tak ada tradisi pesta panen.

"Di beberapa daerah mungkin seperti itu, Raden Ayu. Tapi di desa kita, pesta panen di gelar setelah panen selesai. Sekaligus menunggu hasil panen beberapa tanaman lain seperti jagung, kedelai, kacang tanah dan beberapa lainnya." Jelas Raden Mas Mahesa.

"Lalu, semua hasil panen itu di kemanakan, Raden?." Tanya Anaya lagi.

"Tergantung hasilnya, kalau hasilnya bagus ya tiga puluh sampai empat puluh persen di berikan ke desa, sisanya adalah hak petani. Tapi, jika hasilnya gak bagus, desa hanya minta dua puluh persen bagian saja. Asal cukup untuk membeli bibit dan pupuk yang akan di bagikan ke petani lagi nantinya." Raden Mas Mahesa menjelaskan.

"Jadi semua itu tetap saja balik lagi ke warga desa ya?."

"Betul, Raden Ayu. Kalau ada lebihnya, ya itulah yang masuk ke kas. Uang Kas juga di gunakan untuk membangun fasilitas desa." Jelas Raden Mas.

"Keluarga kita tidak dapat apa - apa dari desa? Tetapi kenapa bisa sekaya ini?." Tanya Anaya heran.

"Kersane Gusti Allah, Raden Ayu (Kehendak Allah, Raden Ayu). Keluarga kita ini dapat berkahnya. Alhamdulillah setiap usaha yang di bangun selalu berjalan lancar. Intinya kebahagiaan masyarakat ini jadi kunci kesuksesan kita." Jawab Raden Mas Mahesa.

"Maa Syaa Allah." Anaya tampak kagum dengan cara keluarga suaminya membangun desa mereka.

"Monggo pinarak, Raden Mas, Raden Ayu. Sarapan niki enten Jagung lan telo godhok. (Silahkan mampir, Raden Mas, Raden Ayu. Sarapan ini ada Jagung dan singkong rebus.)" Tawar seorang warga yang sedang duduk berkelompok di tepi kebun jagung.

"Kamu mau, Raden Ayu?." Tawar Raden Mas yang di jawab anggukan oleh Anaya.

"Njih, matur suwun Pak, Bu." Jawab Raden Mas Mahesa yang kemudian menghampiri dan membawa istrinya ikut bergabung dengan para petani.

Suasana terasa begitu akrab. Udara dingin terasa nikmat bersanding dengan jagung dan singkong rebus hangat. Tak lupa secangkir teh hangat juga turut hadir menemani.

Tak hanya sekedar sarapan, mereka semua saling mengobrol dengan akrab. Anaya yang memang humble, tentu dengan mudah bergaul di sana. Raden Mas Mahesa pun tak segan bertukar pikiran dan mendengar keluh kesah warganya.

"Wajar saja jika desa ini terkenal sebagai desa yang makmur. Mulai dari Kanjeng Gusti hingga putra dan putrinya tak segan untuk berbaur dan bertukar pikiran dengan warganya." Batin Anaya sambil menatap suami disampingnya.

Tak lama, mereka kemudian berpamitan agar para petani bisa segera memulai pekerjaannya. Jika Raden Mas Mahesa dan Anaya masih ada di sana, tentu mereka akan tetap menemani dan menunda pekerjaan mereka.

"Mau pulang atau mau lanjut ke sawah, Raden Ayu?." Tanya Raden Mas Mahesa.

"Lanjut dong, sudah kenyang masak mau pulang." Kekeh Anaya dengan semangat.

"Kamu kelihatan senang sekali, Raden Ayu." Ujar Raden Mas Mahesa yang memperhatikan wajah bahagia istrinya.

"Tentu saja, Raden Mas. Sudah lama sekali aku gak merasakan suasana akrab dan hangat seperti ini. Segerombolan warga yang belum tentu kita kenal, tapi dengan bahagianya menyambut kita dengan makanan dan juga minuman hangat. Raden Mas pasti gak gitu kenal dengan mereka kan? Mungkin hanya sesekali berpapasan." Kata Anaya.

"Iya, kamu bener, Raden Ayu." Jawab Raden Mas Mahesa.

"Sepertinya, kita memang harus lebih sering berkeliling seperti ini, supaya bisa lebih mengenal warga." Imbuh Raden Mas Mahesa.

"Ayo kita luangkan waktu untuk berkeliling, sekedar untuk menyapa warga desa kita, yah sukur - sukur bisa mendengar keluh kesah mereka dan mencari solusi bersama seperti tadi." Ajak Raden Ayu dengan semangat.

"In syaa Allah, Raden Ayu." Jawab Raden Mas yang tersenyum hangat pada istrinya.

Tak lama, mereka berdua sudah sampai di sawah yang akan menjadi arena pacu kuda. Sawah sudah dalam kondisi kosong dan siap bajak karna padi sudah selesai di panen beberapa waktu lalu.

"Apa selalu ada balap kuda saat acara pesta panen seperti ini, Raden?." Tanya Anaya.

"Iya dan arenanya pun berubah - ubah, tak selalu di lahan sawah yang ini." Jawab Raden Mas Mahesa.

"Kenapa begitu?." Tanya Anaya.

"Balap kuda ini kan sebenarnya di tujukan untuk membantu membajak sawah, selain sebagai hiburan. Jadi arena untuk balap kuda pun bergantian sesuai ketentuan agar semua pemilik sawah itu bisa rata kebagian merasakan enaknya tak perlu lelah membajak sawah." Jawab Raden Mas Mahesa.

"Memangnya gak ada alat bajak sawah yang modern?." Tanya Anaya.

"Ada, tapi kebanyakan dari mereka lebih suka menggunakan kuda, sapi atau kerbau untuk membajak. Pertama karna lebih irit, tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk bahan bakar dan kedua karna rasanya lebih mantep kalau kata mereka." Jawab Raden Mas Mahesa.

"Lebar sekali arena pacuan kudanya." Ujar Anaya yang melihat barisan bendera yang menjadi pembatas.

"Iya, gak cuma warga desa kita saja. Desa lain juga biasanya ikut lomba balap kuda ini, karna ada hadiahnya." Kata Raden Mas Mahesa.

"Apa hadiahnya, Raden?." Tanya Anaya yang penasaran.

"Kali ini, Romo menyiapkan satu ekor domba untuk juara balap kuda."

"Beneran Raden Mas? Aku juga mau ikut kalau gitu!." Seru Anaya yang bersemangat.

"Jangan aneh - aneh ya, Raden Ayu. Nanti kalau kamu jatuh dan terluka gimana? Memacu kuda di sawah berbeda dengan memacu kuda di lapangan." Larang Raden Mas Mahesa.

"Tapi aku mau mencoba. Boleh ya, Raden Mas. Lagian lumayan tuh hadiah dombanya kalau menang." Bujuk Anaya.

"Aku bisa belikan sepuluh ekor domba untukmu tanpa harus ikut lomba pacu kuda di sawah, Raden Ayu." Jawab Raden Mas Mahesa.

"Ck! Bukan masalah hadiahnya juga, tapi sensasinya itu loh, Raden Mas. Ya Raden Mas, boleh ya." Rengek Anaya sambil menggelayuti lengan suaminya.

Raden Mas Mahesa hanya bisa menarik nafas panjang melihat Anaya yang merengek seperti ini. Ia merasa tak tega, namun ia juga tak ingin istrinya terluka jika sampai terjatuh dari kuda yang ia tunggangi.

"Raden Mas, boleh kan?. Aku akan berhati - hati kok." Bujuk Anaya lagi.

"Aku pikir - pikir dulu." Jawab Raden Mas Mahesa yang masih bimbang.

1
FDS
Bagus, berlatar di desa. alurnya juga menarik
Codigo cereza
Teruslah menulis, ceritanya bikin penasaran thor!
GoodHand: terima kasih
total 1 replies
riez onetwo
Mupeng
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!