NovelToon NovelToon
Manuver Cinta

Manuver Cinta

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Balas Dendam / CEO / Dark Romance
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: _Luvv

Pernikahan tanpa Cinta?

Pernikahan hanyalah strategi, dendam menjadi alasan, cinta datang tanpa di undang. Dalam permainan yang rumit dan siapa yang sebenernya terjebak?

Cinta yang menyelinap di antara luka, apakah mereka masih bisa membedakan antara strategi, luka, dendam dan perasaan yang tulus?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon _Luvv, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 33

“Gila lo, Lingga!” maki Diandra tepat sebelum pria itu benar-benar masuk ke dalam kamarnya.

Langkah Lingga terhenti. Ia berbalik perlahan, menatap istrinya yang berdiri dengan wajah penuh amarah. Bahkan dari kejauhan ia bisa melihat kedua tangan Diandra terkepal begitu kencang, seakan siap meledak kapan saja.

Apa yang salah dari ucapannya? Bukankah tadi Diandra sendiri yang bertanya apa yang ia butuhkan? Ia hanya menjawab apa yang ia inginkan.

“Gila?” ulang Lingga, tidak percaya.

“Lo mau ngorbanin anak lo demi keegoisan lo itu, hah?!” suara Diandra meninggi, matanya berkilat marah.

Kata-katanya menusuk. Bagaimana bisa Lingga mengucapkannya dengan mudah seolah memiliki anak hanyalah bagian dari strategi? Apa dia sama sekali tidak berpikir bagaimana nasib anak itu nanti, jika hadir di tengah keluarga yang retak, di tengah kehidupan tanpa kasih sayang utuh?

Lingga menarik napas panjang, berusaha menahan gejolak di dalam dirinya. “Saya sudah bilang, Diandra. Saya akan menyayangi, melindungi, dan menjamin seluruh hidupnya.” Suaranya tegas, tak ada celah untuk ragu.

Diandra menatapnya tajam, dadanya naik-turun menahan amarah. “Tapi gue, sebagai ibunya… gue keberatan anak itu ada di tengah-tengah kehidupan lo, Lingga.”

Mata Lingga langsung mengeras. Ia melangkah kembali, mendekat ke arah Diandra. Perempuan itu refleks mundur setengah langkah, namun sorot matanya tetap menantang.

“Kehidupan saya?” ulang Lingga, suaranya rendah namun sarat emosi. “Apa yang kamu tahu tentang hidup saya, Diandra?”

Diandra terdiam. Nada itu… dingin, tapi jelas menyimpan luka yang dalam.

“Saya tidak butuh siapa pun di hidup saya,” lanjut Lingga, menatapnya tanpa berkedip. “Saya terbiasa melakukan semuanya sendiri. Dan kamu sendiri yang bertanya apa yang saya butuhkan. Jawabannya anak. Saya butuh keluarga yang bisa saya percaya, dan itu cuma darah daging saya sendiri.”

Kata-kata itu menusuk. Amarah Diandra belum padam, tapi di balik ucapannya, ia menangkap sisi Lingga yang berbeda sisi rapuh, kesepian. Meski begitu, ia memilih mengabaikan rasa itu, karena malam ini amarah dan kecewa jauh lebih dominan.

“Tapi lo nggak bisa egois gitu, Lingga.” Suaranya melemah, tidak lagi setajam tadi. “Punya anak itu bukan cuma soal lo percaya atau nggak percaya sama orang. Dia manusia, Lingga. Bukan tameng lo buat perang sama keluarga lo.”

Lingga memejamkan mata sejenak. Rahangnya mengeras, menahan emosi yang mendidih. Ia tahu Diandra benar, tapi apa salah jika ia menginginkan sesuatu yang selama ini tidak pernah ia miliki seorang keluarga, kepercayaan, kasih sayang?

“Apa salah kalau saya menginginkannya?” tanyanya lirih, tatapannya tajam menusuk ke arah Diandra.

“Salah.” Jawaban Diandra tegas, matanya berkaca-kaca tapi penuh amarah. “Karena lo nggak pantas punya anak. Dan gue nggak mau anak gue punya bapak kayak lo.”

Ucapan itu menghantam Lingga lebih keras daripada yang ia perlihatkan. Rahangnya mengeras, ekspresinya kaku menahan amarah yang hampir meledak. Namun alih-alih membalas, ia berbalik, meraih kunci mobil di atas meja, dan melangkah pergi.

Pintu apartemen tertutup keras di belakangnya, meninggalkan keheningan yang mencekam. Diandra terduduk di sofa, hatinya masih berkecamuk, sementara bayangan wajah marah Lingga terus menghantui pikirannya.

Pintu apartemen menutup keras di belakangnya, meninggalkan Diandra dalam keheningan yang menyesakkan.

Diandra terjatuh di sofa, tubuhnya lemas seakan kehilangan tenaga. Nafasnya terengah, matanya menatap kosong ke arah pintu yang baru saja ditinggalkan Lingga. Kata-kata terakhir yang keluar dari mulutnya terngiang kembali, menusuk telinganya sendiri.

"Lo nggak pantas punya anak. Dan gue nggak mau anak gue punya bapak kayak lo."

Hatinya mencelos. Ia tidak menyesal karena mempertahankan pendapatnya, tapi cara ia mengatakannya… terlalu kejam. Ia tahu betul, ucapannya barusan bukan sekadar menolak ide Lingga, melainkan menghantam luka lama yang pria itu sembunyikan rapat-rapat.

Diandra menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Kenapa gue harus ngomong sejauh itu…” gumamnya serak. Ada perasaan bersalah yang merayap pelan, bercampur dengan marah pada dirinya sendiri.

Diandra mengembuskan napas panjang, seolah berusaha menenangkan badai yang berkecamuk di dadanya. Di balik sikap keras kepala dan kata-kata tajam yang sering ia lontarkan, Diandra sebenarnya seorang pemikir. Ia terbiasa menganalisis segala sesuatu, mempertimbangkan banyak sisi sebelum mengambil keputusan. Ia juga memiliki empati yang besar, mudah tersentuh oleh penderitaan orang lain.

Namun ada satu hal yang selalu menjadi kelemahannya emosi. Ia bisa marah begitu cepat, meledak tanpa sempat menimbang kata, dan baru menyesal setelah semuanya terlanjur keluar.

Malam ini, ia kembali kalah oleh amarahnya sendiri. Kata-kata yang ia lontarkan pada Lingga masih terngiang jelas, menyayat hatinya perlahan. Ia tahu, ucapan itu bukan hanya melukai Lingga, tapi juga dirinya sendiri. Dan semakin ia mengingatnya, semakin terasa perih, seolah luka lama yang kembali terbuka.

____

Sementara itu, Lingga menekan pedal gas dalam-dalam, membiarkan mesin mobil meraung di jalanan malam yang lengang. Sorot lampu jalan memantul di kaca depan, berganti-ganti seperti bayangan yang mengejarnya. Rahangnya mengeras, tatapannya lurus ke depan, tapi pikirannya kacau. Kalimat Diandra terus bergema, menghantam sisi-sisi rapuh yang berusaha ia sembunyikan.

Lo nggak pantas punya anak.

Tangannya mengepal di atas setir, buku jarinya memutih. Ia tidak tahu, sebenarnya ia marah pada Diandra… atau pada dirinya sendiri.

Beberapa menit kemudian, mobilnya berhenti di depan sebuah bar kecil dengan lampu neon yang berkedip samar. Tanpa ragu, ia turun, masuk, lalu memilih meja di sudut paling sepi. Ia memesan minuman paling keras yang tersedia, seakan ingin menenggelamkan seluruh isi kepalanya malam itu.

Ruangan dipenuhi cahaya redup dan aroma alkohol yang menusuk. Musik pelan mengalun, bercampur dengan dengung obrolan pengunjung lain. Tapi bagi Lingga, semua itu hanya latar kosong. Dunia mengecil jadi dirinya sendiri dan suara Diandra yang tak kunjung berhenti mengutuk di telinganya.

Botol pertama habis begitu saja. Alkohol memang menghangatkan tenggorokannya, tapi tidak pernah benar-benar memadamkan bara di dadanya. Semakin banyak ia meneguk, semakin jelas pula kata-kata itu menusuk: bahwa ia hanya pria dingin, keras, penuh amarah… seorang suami yang bahkan dianggap tidak pantas menjadi ayah.

Lingga tertawa kecil, getir, tawa yang terdengar lebih mirip luka daripada hiburan. Jemarinya meraih gelas lagi, meneguk isinya hingga tandas. Suara tawanya pecah singkat, tenggelam dalam dentum musik dan dengung obrolan pengunjung lain.

Mungkin dia benar… batinnya lirih. Kata-kata Diandra terus menusuk, seperti belati yang diputar-putar di dadanya. Maka ia kembali meraih botol, menenggak tanpa hitung, membiarkan alkohol meluncur deras ke dalam tubuhnya. Itu satu-satunya cara untuk melampiaskan  perasaan dan emosi yang menyesakkan.

Sudah lama ia tidak kembali ke tempat seperti ini. Bertahun-tahun ia menjauh, menahan diri, berusaha tetap tegak dengan harga dirinya. Tapi malam ini, luka yang dibuka Diandra membuatnya kembali. Malam ini, ia menyerah.

“Lingga, cukup!” James menekankan suaranya sekali lagi, tangannya masih mencengkeram botol yang direbutnya barusan.

Namun Lingga hanya menatapnya dengan pandangan setengah kabur, sudut bibirnya terangkat membentuk senyum miring yang lebih mirip kepahitan. Ia tertawa kecil, lalu menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi.

“Kenapa? Lo juga mau bilang gue nggak pantas, Jem?” suaranya serak, bergetar karena alkohol. “Sama kayak dia…”

James menghela napas panjang, wajahnya menegang. Ia jarang melihat sahabatnya rapuh, kehilangan kendali.

“Ngga, lo udah kebanyakan minum. Ayo pulang,” ucap James berusaha menahan sabar, mencoba menarik gelas dari genggaman Lingga.

Tapi Lingga mengibaskan tangannya, menolak. “Pulang? Pulang ke mana? Ke rumah kosong itu? Ke istri yang lebih percaya gue bakal jadi monster buat anaknya?” ia tertawa lagi, kali ini lebih keras, tapi getirnya jelas terasa. “Atau… pulang ke keluarga gue yang cuma tau cara ngatur hidup gue, hah?”

James terdiam. Kata-kata Lingga mulai melantur, tapi setiap kalimatnya penuh luka.

Lingga meraih gelas lain, meneguknya lagi dan lagi. Kali ini James meraih bahu Lingga, menekannya kuat agar pria itu menatapnya. “Lo stop sekarang, Ngga! Lo bukan cuma nyakitin diri lo sendiri, tapi juga orang-orang yang peduli sama lo!”

Tapi Lingga hanya menoleh pelan, matanya setengah sayu, dan tersenyum pahit. “Orang yang peduli? Siapa, Jem? Lo? Atau dia yang bilang gue nggak pantas punya anak?”

1
Erika Solis
Duh, sakit banget hatiku. Terharu banget sama author!
Isolde
🙌 Suka banget sama buku ini, kayaknya bakal aku baca lagi deh.
Madison UwU
Gak sabar lanjut baca!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!