NovelToon NovelToon
CEO Sadis Yang Membeli Keperawananku

CEO Sadis Yang Membeli Keperawananku

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Romansa
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: GOD NIKA

Demi menyelamatkan keluarganya dari utang, Lana menjual keperawanannya pada pria misterius yang hanya dikenal sebagai “Mr. L”. Tapi hidupnya berubah saat pria itu ternyata CEO tempat ia bekerja… dan menjadikannya milik pribadi.
Dia sadis. Dingin. Menyakitkan. Tapi mengapa hatiku justru menjerit saat dia menjauh?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GOD NIKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Badai Yang Lebih Besar Dan Api Di Dalam Dada

Ancaman Tuan Besar Hartono bukan sekadar kata-kata, itu adalah guntur yang menggelegar di atas kepala mereka, merobek ketenangan rapuh yang baru saja Lana dan Leon bangun. Ruang kerja Revanza Cipta yang sederhana, tempat aroma kopi dan kertas-kertas baru menyatu dengan mimpi-mimpi yang baru lahir, kini terasa diselimuti bayangan dingin, seolah tangan tak terlihat mencengkeram di setiap sudut. Lana merasakan hawa dingin merambat di punggungnya, bukan hanya karena AC yang terlalu kuat, melainkan ingatan akan kekuatan tak terbatas yang dimiliki ayah Leon. Namun, kali ini, ketakutan itu bercampur dengan bara api dan tekad yang membara di dadanya. Ia tidak lagi sendirian, dan itu mengubah segalanya.

"Dia tidak akan membiarkan kita bernapas," bisik Lana, suaranya sarat kekhawatiran yang nyata, matanya menatap Leon, mencari kekuatan. "Hartono Group itu raksasa, Leon. Monster yang punya tentakel di mana-mana. Mereka punya sumber daya tak terbatas. Kita... kita hanya setitik embun yang baru turun."

Leon melangkah mendekat, menggenggam tangan Lana erat. Kehangatan dari sentuhannya menenangkan, menyalurkan energi yang seolah mampu meredam badai di dalam dirinya. Jari-jemarinya membelai punggung tangan Lana, sebuah sentuhan yang dulu posesif kini menjadi sebuah janji perlindungan. "Aku tahu, Lana. Aku sudah menduga ini. Dia tidak akan pernah rela melihatku berdiri sendiri, apalagi membangun sesuatu yang dia anggap ‘menodai’ namanya. Dia menganggap ini pembangkangan pribadi. Tapi kita punya sesuatu yang dia tidak miliki,integritas yang tak ternoda dan semangat yang baru saja terbebas."

Ia menatap mata Lana, ada kilatan tekad baja yang membuat Lana percaya padanya, melebihi keraguan apa pun. "Aku tidak akan lari lagi, Lana. Aku tidak akan pernah membiarkan masa lalu mengikatku. Dan yang paling penting, aku tidak akan membiarkan dia menyentuhmu atau menghancurkan apa pun yang sedang kita bangun bersama - sama ini." Suaranya adalah janji yang diukir dengan api.

Hari-hari berikutnya menjadi medan perang yang sunyi, namun intens. Tuan Besar Hartono tidak lagi menggunakan antek kasar seperti Sanjaya. Ia bermain lebih kotor, lebih tersembunyi, seperti racun yang merambat perlahan, namun dampaknya jauh lebih merusak. Ini adalah strategi perang dingin yang menguras jiwa.

Pertama, rantai pasokan mereka mulai tercekik. Bahan baku yang vital untuk proyek awal Revanza Cipta,material langka, komponen presisi tiba-tiba mengalami penundaan yang tidak masuk akal, seolah-olah menghilang ditelan bumi, atau harganya melambung tinggi hingga mencekik anggaran mereka. Lana dan Leon bekerja siang malam, mata mereka merah karena kurang tidur, menghubungi setiap kontak yang mereka punya, setiap celah kecil di pasar.

"Ini jelas ulah Ayahmu," desah Lana frustrasi, menatap layar komputer yang menampilkan daftar panjang pemasok yang menolak kerja sama, dengan alasan-alasan klise yang mencurigakan. "Mereka semua tiba-tiba punya masalah yang sama, Leon. Kebetulan yang terlalu banyak."

Leon mengangguk, rahangnya mengeras, bayangan masa lalu ayahnya seolah terproyeksikan di setiap penolakan itu. "Dia mencoba mencekik kita sebelum kita bisa bernapas, Lana. Mematikan api ini sebelum sempat berkobar."

Mereka mencari alternatif, memutar otak untuk menemukan pemasok yang lebih kecil, yang tidak terikat dengan jaring laba-laba Hartono Group. Prosesnya lambat, jauh lebih mahal, dan menguras energi hingga ke tulang. Setiap kemenangan kecil terasa seperti memanjat tebing terjal.

Kedua, kampanye hitam mulai bermunculan bagai wabah. Bukan di media mainstream yang besar dan mudah dikontrol, melainkan di kedalaman gelap forum-forum bisnis online, grup chat industri yang eksklusif, dan media sosial yang menyebar seperti api. Rumor keji tentang ketidakstabilan finansial Revanza Cipta, tentang Leon yang tidak kompeten dan hanya mengandalkan warisan Ayah yang kini ia "khianati", hingga gosip miring yang menjijikkan tentang Lana sebagai "wanita simpanan" yang kini mencoba meraup keuntungan dari perusahaan baru Leon.

Lana merasakan perutnya mual, hatinya teremas membaca komentar-komentar itu, kata-kata yang menusuk langsung ke ulu hati. "Ini jahat sekali, Leon. Mereka tidak menyerang bisnis kita, tapi menghancurkan reputasi kita. Mencoba membunuh kita sebelum kita punya kesempatan untuk berbicara."

"Ini adalah taktik khasnya," kata Leon, matanya menyiratkan kemarahan yang tertahan, namun ia berusaha keras untuk tetap tenang. "Dia selalu menghancurkan lawan dari dalam, membusukan nama baik mereka."

Mereka memutuskan untuk tidak merespons secara langsung, membiarkan kemarahan mereda dan fokus pada tujuan. Leon percaya bahwa tindakan akan berbicara lebih keras daripada kata-kata. Mereka fokus pada pembangunan proyek, memastikan kualitas dan profesionalisme tetap terjaga, membiarkan hasil kerja mereka menjadi tameng dan bukti.

Ketiga, dan yang paling menyakitkan bagi Leon, adalah penarikan investasi yang brutal. Beberapa investor awal yang sudah menunjukkan minat, bahkan sudah menyepakati perjanjian lisan dengan Revanza Cipta, tiba-tiba menarik diri tanpa penjelasan yang jelas, seolah ditarik paksa oleh benang tak terlihat. Ini adalah pukulan telak bagi modal awal mereka, membuat dana mereka menipis hingga ke titik kritis.

"Mereka pasti diancam oleh Hartono Group," duga Lana, hatinya mencelos melihat grafik dana yang menukik tajam. "Bagaimana kita akan melanjutkannya, Leon? Modal kita tidak cukup. Kita tidak bisa bernapas jika terus seperti ini."

Leon menghela napas panjang, merenung, menatap kosong ke depan. Wajahnya menunjukkan kelelahan yang mendalam, lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas, namun gurat keputusasaan itu hanya sekelebat. Di balik kelelahan itu, ada kekuatan yang tak tergoyahkan. Ia tidak menyerah. Ia tahu ini adalah ujian terberatnya, ujian yang akan menentukan apakah ia benar-benar bisa lepas dari bayangan ayahnya.

"Kita akan cari cara lain," kata Leon, suaranya mantap, kini lebih tenang. "Aku akan menggunakan aset pribadiku. Yang benar-benar milikku. Yang tidak terikat dengan Hartono Group atau bayangan ayahku."

Lana menatapnya, terkejut dan sedikit takut. "Kamu yakin? Itu sangat berisiko. Itu... itu semua yang kamu punya di luar kendali Ayahmu."

"Aku tidak punya pilihan, Lana," jawab Leon, menatapnya lurus dengan mata yang berkilat penuh tekad. "Ini demi Revanza Cipta. Demi masa depan yang ingin kita bangun. Demi kita. Demi semua yang telah kita perjuangkan hingga saat ini. Aku tidak akan membiarkan dia menang kali ini."

Api yang Membara dalam Badai

Di tengah badai yang menghebat, satu hal yang semakin kuat adalah ikatan yang terjalin antara Lana dan Leon. Tekanan justru membuat mereka semakin dekat, seolah setiap serangan dari luar mengikat benang tak terlihat di antara mereka. Mereka bekerja bahu - membahu, melewati setiap masalah sebagai satu tim yang tak terpisahkan. Malam - malam yang panjang di kantor, cangkir-cangkir kopi pahit yang tak terhitung jumlahnya, dan diskusi sengit yang penuh gairah, semuanya mengikis dinding terakhir di antara mereka, membuka ruang bagi sesuatu yang lebih dalam.

Lana melihat Leon yang berbeda di bawah tekanan ini. Ia tidak lagi egois atau mengontrol. Ia mendengarkan, ia belajar beradaptasi, dan ia menunjukkan ketahanan yang luar biasa. Terapi yang dijalaninya juga menunjukkan hasil yang nyata. Ia lebih tenang dalam menghadapi kemarahan ayahnya, lebih mampu mengelola emosinya, dan lebih fokus pada solusi daripada tenggelam dalam amarah atau keputusasaan.

Suatu malam, saat mereka pulang larut setelah gagal mendapatkan kesepakatan penting yang sangat mereka butuhkan, Lana melihat Leon menatap ke luar jendela taksi, wajahnya menunjukkan keputusasaan yang samar, seperti anak kecil yang baru saja kalah dalam permainan besar.

"Leon?" Lana menyentuh lengannya, sentuhan lembut yang penuh dengan perhatian. ‘Kamu baik-baik saja? Kamu terlihat... lelah sekali.”

Leon menoleh, senyumnya pahit, namun ada kehangatan yang tak terlukiskan di matanya saat menatap Lana. "Aku... aku hanya lelah, Lana. Rasanya seperti berjuang melawan hantu. Bayangan Ayahku ada di mana - mana, dia merayap di setiap sudut, mencoba menghancurkan segalanya."

Lana meremas tangannya, menyalurkan semua dukungan yang ia miliki. "Kita akan melawannya, Leon. Bersama. Kamu tidak sendirian lagi. Ada aku di sini. Kita akan menghadapinya."

Leon menatapnya, matanya melembut, dipenuhi rasa syukur yang mendalam. Ia meraih tangan Lana, menggenggamnya erat, jauh lebih erat dari sebelumnya. Kali ini, genggaman itu adalah pegangan erat antara dua orang yang berjuang bersama, saling berbagi beban, saling menopang di tengah badai.

"Aku tahu," kata Leon, suaranya serak karena emosi. "Dan itu... itu yang membuatku terus bertahan. Kamu ada disini, Lana. kamu segalanya bagiku."

Badai semakin menghebat. Hartono Group mengerahkan semua kekuatannya untuk memadamkan api kecil Revanza Cipta, untuk menghancurkan harapan yang baru mekar. Namun, di tengah gempuran itu, fondasi harapan yang dibangun Lana dan Leon semakin kokoh, diikat oleh kepercayaan, ketulusan, dan tekad untuk tidak menyerah pada masa lalu yang kelam. Pertarungan ini bukan hanya tentang bisnis atau kekuasaan,ini adalah pertarungan untuk kebebasan, untuk identitas, dan untuk sebuah cinta yang berani tumbuh di antara reruntuhan. Kupu-kupu di leher Lana terasa berdenyut, seolah sayapnya telah sempurna terbuka, bersiap untuk terbang lebih tinggi, melewati setiap badai yang menghadang, bersama dengan Leon yang baru, yang kini berdiri kokoh di sampingnya.

Bagaimana Leon dan Lana akan menghadapi serangan finansial dan reputasi yang dilancarkan Tuan Besar Hartono, terutama setelah Leon memutuskan untuk menggunakan aset pribadinya? Akankah pengorbanan ini cukup, ataukah ada strategi lain yang harus mereka tempuh untuk menyelamatkan Revanza Cipta dari kehancuran?

1
Risa Koizumi
Bikin terhanyut. 🌟
GOD NIKA: Terima kasih🙏🥰🥰
total 1 replies
Mít ướt
Jatuh hati.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!