"Sayang, kita hanya dua raga yang Allah takdirkan bersama melalui perjodohan. Kalau saja aku nggak menerima perjodohan dari almarhum Papamu, kau pasti sudah bersama wanita yang sangat kau cintai. Mama mertua pasti juga akan sangat senang mempunyai menantu yang sudah lama ia idam-idamkan. Tidak sepertiku, wanita miskin yang berasal dari pinggiran kota. Aku bahkan tak mampu menandingi kesempurnaan wanita pilihan kalian. Sayang, biarkan aku berada di sisimu sampai nanti rasa lelah menghampiriku. Sayang, aku tulus mencintaimu dan akan selalu mencintaimu, hingga hembusan nafas terakhirku."
Kata hati terdalam Aisyah. Matanya berkaca-kaca memperhatikan suami dan mertuanya yang saat ini tengah bersama seorang wanita cantik yang tak lain adalah Ariella, Cinta pertama suaminya. Akankah Aisyah mampu bertahan dengan cintanya yang tulus, atau justru menyerah pada takdir?
Cerita ini 100% murni fiksi. Jika tidak sesuai selera, silakan di-skip dengan bijak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jannah sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terpaan angin malam
Adam menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Tanpa mengatakan apa pun, Adam mengangkat tubuh Ariella ala bridal style lalu membawanya keluar dari dapur.
Aisyah dan Mbok Ima hanya bisa memperhatikan kepergian ketiganya dengan wajah sendunya. Ketiga orang itu kini sudah berada di ambang pintu dan di saat itu Ariella menolehkan wajahnya kebelakang. Wanita itu melemparkan senyum sinisnya pada Aisyah dan Mbok Ima.
Aisyah memegang dadanya yang sesak. Mbok Ima yang paham dengan kondisi Aisyah pun menghampirinya.
"Yang sabar Non, suatu saat Allah akan membukakan mata hati Tuan Adam dan Nyonya untuk melihat kebenaran," ucap Mbok Ima sembari mengelus punggung Aisyah.
Aisyah hanya menganggukkan kepalanya sembari menangis dalam diam. Ia begitu sakit melihat Adam lebih peduli pada Ariella hingga menyalahkannya. Adam tak mempercayainya, begitu pun dengan Ana ibu mertuanya.
Padahal Nyonya sudah melihat secara langsung apa yang terjadi tadi. Tapi dia diam saja dan berpihak pada rubah betina itu! sangat miris.
"Ayo Mbok antar ke kamar Nona," ucap Mbok Ima dengan lembut.
Aisyah lagi-lagi hanya menanggapi dengan anggukkan lemahnya. Mbok Ima sama sekali tidak merasa tersinggung dengan sikap Aisyah yang seperti mengabaikannya. Mbok Ima sangat mengerti kondisi hati Aisyah.
Kini Aisyah dan Mbok Ima melangkahkan kakinya bersama. Keduanya pergi ke lantai dua tanpa mengatakan sepatah kata pun.
Masih di rumah yang sama, Adam terlihat berlari tergesa-gesa tanpa menghiraukan beban yang di pikulnya. Ana juga rela ngos-ngosan hanya untuk membawa Ariella ke rumah sakit dengan cepat. Keduanya berlari keluar rumah.
Asistennya yang selalu siap siaga membuat Adam dan Ana tak perlu menunggu. Ketiganya masuk ke dalam mobil. Ana berinisiatif untuk duduk di samping Asisten Adam, agar Adam dan Ariella mempunyai kesempatan berduaan.
Ariella yang sudah duduk di kursi, menyandarkan kepalanya di bahu Adam, dengan Adam yang memegang tangannya yang terluka.
Aku menang lagi Aisyah... Hahaha
Ariella tersenyum tipis tanpa disadari oleh Adam dan Ana. Di perjalanan, Adam terus fokus memperhatikan luka di tangan Ariella. Sesekali pria itu meniup luka Ariella.
"Adam, aku nggak apa-apa kok. Kau boleh melepas tanganku," ucap Ariella lain di hati lain di mulut.
Mulutnya menolak sentuhan Adam, namun hatinya berharap Adam terus memegangnya.
"Jangan menyepelekan luka sekecil apa pun," ucap Adam dengan dingin seakan tak mengizinkan Ariella menolaknya.
"Benar sayang, khawatirnya nanti lukamu infeksi," ucap Ana dengan tubuh yang sedikit miring ke samping guna melihat ke belakang.
"Baiklah Tante," ucap Ariella mendengarkan perkataan Ana.
Ariella menikmati pemandangan jalan dari kaca depan mobil. Ia tersenyum samar dengan kepala yang masih menyandar manja di bahu Adam. Tangannya, ia biarkan tetap berada dalam genggaman Adam.
Kembali ke kediaman almarhum Alex, saat ini Aisyah dan Mbok Ima sudah menginjakkan kakinya di lantai dua. Aisyah berhenti, hal itu membuat Mbok Ima ikutan berhenti.
Aisyah memiringkan tubuhnya menghadap Mbok Ima. Mata teduh wanita itu menatap Mbok Ima dengan penuh kasih sayang. Ia meraih tangan Mbok Ima, menepuknya dengan lembut lalu menggenggamnya dengan tangan hangatnya.
"Makasih ya Mbok, Aisyah di antar sampai sini saja," ucap Aisyah menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyum tipis yang terlihat begitu tulus di mata Mbok Ima.
"Sama-sama, Non. Maaf ya, Mbok belum bisa membela Non dihadapan Tuan dan Nyonya," ucap Mbok Ima membalas tatapan Aisyah.
Dari sorot matanya bisa di lihat, jika Mbok Ima merasa sangat menyesal.
Aisyah kembali tersenyum pada Mbok Ima seperti tengah memberikan ketenangan pada wanita paru baya itu.
Aisyah bahkan tak segan memberikan sapuan lembut di punggung tangan Mbok Ima.
"Nggak usah dipikirkan Mbok. Nggak apa-apa, Aisyah baik-baik saja dan nggak marah juga," ucap Aisyah tersenyum lalu tertawa kecil guna menetralkan suasana canggung di antara dirinya dan Mbok Ima.
"Makasih banyak, Non... kalau begitu, Nona istirahat sekarang ya," ucap Mbok Ima menatap mata Aisyah dengan lembut.
"Baik Mbok, Mbok juga istirahat ya. Jangan kerja terus... nanti Mbok kecapean," ucap Aisyah dengan penuh perhatian membuat hati wanita paru baya itu menghangat.
"Baik Non, kalau begitu Mbok kembali ke bawah dulu ya," ucap Mbok berpamitan dengan wajah yang tampak enggan meninggalkan Aisyah.
"Iya Mbok, hati-hati," ucap Aisyah tersenyum lalu melambaikan tangannya pada Mbok Ima.
"Baik Non," ucap Mbok Ima tersenyum sembari mengangguk kecil. Wanita itu membalas lambaian tangan Aisyah.
Keduanya pun berpisah, Aisyah masuk ke dalam kamarnya tanpa menunggu Mbok Ima menghilang dari pandangannya.
"Cklek." Aisyah memutar kunci kamarnya setelah itu menyandarkan tubuh lemahnya di balik pintu.
Wanita itu perlahan merosot ke bawah dengan dada yang bergetar pelan. Ia menumpahkan air matanya yang sedari tadi ia tahan.
Suara tangisannya tidak terdengar, namun siapa pun yang melihat kerapuhannya sekarang ini, akan merasa iba dan ikut merasakan kepedihan hatinya.
"Astaghfirullah..." gumam Aisyah beristighfar pelan.
Wanita itu terlihat begitu menyedihkan dengan cadar yang sudah dibasahi air matanya. Ia memeluk lututnya lalu menyembunyikan wajah sedihnya di sana.
"Hiks." Isak kecil mulai terdengar. Aisyah meremas lengan pakaiannya seakan tengah menyalurkan emosinya.
Beberapa waktu Aisyah berada di posisi yang sama. Ia merasa sangat nyaman di posisinya sekarang. Tangisannya sudah mereda, air matanya sudah kering, kini hanya hatinya saja yang belum sepenuhnya tenang.
Di saat itu, tiba-tiba saja jendela kamar Aisyah terbuka lantaran di dobrak paksa oleh terpaan angin malam yang kencang.
"Brak!!" Suara hantaman jendela mengejutkan Aisyah, hingga membuat wanita itu reflek mengangkat kepalanya.
Wajah Aisyah terlihat sembab dengan mata yang sedikit merah dan membengkak. Cadarnya juga sedikit berantakan karena tak sengaja tertarik tangannya.
Aisyah mencium udara segar malam yang masuk ke dalam kamarnya. Suara tarikan nafasnya terdengar begitu jelas sebab hidungnya mampet karena menangis.
Tak ingin dedaunan masuk ke dalam kamarnya, Aisyah pun bangkit dari tempatnya. Wanita itu melangkahkan kakinya perlahan sembari menetralkan hidungnya yang sedikit kesusahan menghirup udara.
Setibanya di depan jendela, Aisyah meraih jendela kamarnya yang terbuka lalu hendak menutupnya kembali.
Ketika ingin menutup jendela, tatapan Aisyah tiba-tiba saja fokus melihat pemandangan di luar. Temaram, tenang, namun sedikit dingin. Aisyah bisa merasakan udara malam menusuk kulitnya yang berada di balik pakaian syar'inya.
"Nyaman sekali ya Allah," gumam Aisyah menatap langit malam yang mendung dengan awan-awan yang bergerak mengikuti arah angin.
Karena merasa nyaman dan tenang dengan suasana malam ini, Aisyah pun mengurungkan niatnya untuk menutup jendela. Wanita itu memilih menikmati suasana di luar kamarnya dengan senyum tipis yang menghiasi wajah teduhnya.