Balas dendam? Sudah pasti. Cinta? Tak seharusnya. Tapi apa yang akan kau lakukan… jika musuhmu memakaikanmu mahkota?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon karinabukankari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 12: The Hollow Crown
...“Not all thrones are meant to be found. ...
...Some are meant to stay buried.”...
Perjalanan dimulai sebelum fajar. Seraphine, Caelum, Orin, dan Flick—dengan rombongan kecil yang terdiri dari satu ksatria setia, satu ahli simbol kuno, dan seekor kucing istana bernama Marquis Meow (yang ikut karena menolak ditinggal)—meninggalkan gerbang Ravennor tanpa pengumuman resmi. Misi ini tidak tercatat dalam sejarah, dan mungkin memang tidak boleh ada dalam sejarah.
“Aku gak percaya kita bawa kucing ke perburuan artefak kuno,” gerutu Caelum sambil melirik Marquis Meow, yang duduk santai di pelana Orin seperti bangsawan kecil.
“Marquis Meow menghiburku,” kata Orin dingin.
“Aku juga bisa menghiburmu. Tapi aneh kalau aku duduk di pelana kamu,” sahut Flick.
Seraphine, di atas kudanya, hanya terkekeh pelan.
Hollow of the First Throne berada di ujung utara Ravennor, tersembunyi di balik Pegunungan Gletsch dan Hutan Terkunci yang dipercaya dihuni roh-roh kuno. Tempat itu tidak ada di peta modern, namun ditandai dengan simbol: ular yang menggigit matahari.
Setelah dua hari perjalanan, mereka tiba di tebing terjal yang menghadap padang kabut. Di tengah kabut itu—menjulang reruntuhan raksasa berbentuk setengah lingkaran, seperti panggung amfiteater purba, namun terbalik ke dalam bumi.
“Rasanya... tempat ini seperti menolak cahaya,” gumam Seraphine. Api obor mereka berkedip gelisah, seolah ketakutan.
Mereka turun hati-hati. Dinding batu dipenuhi ukiran bahasa kuno, dan setiap langkah ke bawah terasa seperti memasuki masa lalu yang tidak ingin diingat.
Di pusat reruntuhan, mereka menemukan lingkaran takhta: lima kursi batu melingkar menghadap satu takhta besar yang terbuat dari tulang hitam.
“Ini… bukan tempat pengangkatan raja,” bisik Orin. “Ini… tempat pemanggilan.”
Caelum menyentuh satu kursi. Ukiran di atasnya menyala sebentar, lalu padam.
Flick menatap dengan ngeri. “Kenapa kayak… ada yang bergerak di dalam tulangnya?”
Tiba-tiba, udara berubah. Suhu turun drastis. Dan dari balik kabut muncul seseorang—berjubah hitam dengan mata menyala ungu.
“Selamat datang... Seraphine dari Darah Terlupakan,” katanya, suaranya terdengar seperti ribuan bisikan. “Kami menunggumu.”
Caelum segera berdiri di depan Seraphine. “Kalau kau menyentuhnya—”
“Aku tidak perlu menyentuhnya. Takhtanya... akan memanggil sendiri.”
Figur berjubah mengangkat tangannya. Lingkaran takhta menyala. Lima roh bangkit—berwujud samar, memakai mahkota usang, dan mata kosong.
“Para Raja Pertama,” kata Orin gemetar.
Salah satu roh berbicara, suaranya dalam dan retak:
“Kau datang membawa darah ketiga. Warisan Mahkota, Cahaya, dan Bayangan. Jika kau duduk di takhta ini, maka dunia akan berlutut… atau terbakar kembali.”
Seraphine melangkah ke depan, jantungnya berdetak liar. Tangan Caelum meraih pergelangannya.
“Jangan duduk, Seraphine. Itu… akan mengikatmu.”
Dia melihat ke arah roh, lalu ke Caelum, lalu ke takhta.
“Dan jika aku tidak duduk?”
“Maka yang lain akan bangkit dan mengambil tempatmu. Darah palsu. Yang lebih kejam.”
Bayangan mulai berkumpul di sekitar mereka. Sosok berjubah tertawa kecil.
“Kau pikir dengan membunuh Aldric, segalanya selesai? Tidak. Ia hanya bidak gagal. Kami punya banyak calon raja yang akan lebih taat pada kehendak kami.”
Seraphine menarik napas dalam-dalam. “Jadi ini pilihan? Duduk dan menjadi senjata kalian... atau membiarkan iblis lain duduk di sana?”
“Bukan cuma duduk. Kau akan... berubah. Takhta ini... akan mengambil bagian dari jiwamu, dan menukar dengan kekuatan purba.”
Flick menatap serius. “Ini... serius banget. Bahkan kucing kita nunduk.”
Dan benar saja, Marquis Meow meringkuk ketakutan.
Akhirnya, Seraphine berkata, “Aku akan duduk. Tapi bukan untuk kalian.”
Caelum mencoba menahannya. “Sera—”
Seraphine menatapnya penuh keyakinan. “Jika aku tidak bisa mengendalikan warisan ini… maka aku memang tidak pantas berdiri di sisimu.”
Dia melangkah ke takhta. Setiap langkah membuat lantai bergetar, udara menebal, dan roh di sekitarnya melolong.
Saat ia duduk… dunia di sekelilingnya gelap.
Ia mendengar suara ribuan jiwa, tangisan, tawa, teriakan kemenangan, dan kesakitan abadi. Tubuhnya bergetar, dan ukiran ular di lehernya menyala terang.
Namun… ia bertahan.
Lalu, sinar putih meledak dari takhta.
Seraphine membuka mata. Tapi kali ini… matanya bersinar keperakan.
Suara dari dalam dirinya berkata:
“Kau bukan bayangan mereka. Kau bukan boneka mereka. Kau... takhta itu sendiri.”
Para roh berlutut. Sosok berjubah memekik, tubuhnya menghilang dalam cahaya.
Caelum berlari padanya. “Seraphine…?”
Dia berdiri. Tegak. Berubah.
“Aku baik-baik saja,” katanya lembut. “Tapi aku tahu sekarang... siapa musuh kita sebenarnya. Bukan sekadar raja, bukan sekte tua. Tapi kekuasaan itu sendiri… yang ingin dimiliki siapa pun, dengan cara apa pun.”
Ia menggenggam tangan Caelum. “Mari kita ubah dunia ini. Tapi dengan kehendak kita sendiri.”
Dan takhta yang pernah menjerat kini tunduk… pada ratu yang tidak meminta untuk dipilih, tapi berdiri karena tak ada pilihan lain.
...“They thought taking the crown would silence us. ...
...But we are the scream beneath the silence.”...
Malam di luar Hollow of the First Throne sangat sunyi. Kabut perlahan surut, seolah takut dengan energi baru yang bangkit dari tempat itu. Seraphine berdiri di atas reruntuhan, matanya menyapu cakrawala seperti bisa menembus gelapnya malam dan masa depan.
Caelum berdiri di sampingnya. Tangannya masih menggenggam tangan Seraphine—kini tak lagi gemetar. Dia tidak hanya melihat seorang gadis yang pernah penuh dendam, tapi seseorang yang kini mampu memikul dunia… atau menghancurkannya.
“Kalau kau tiba-tiba punya keinginan mengendalikan dunia, tolong beri aku peringatan satu hari sebelumnya, ya?” gumam Caelum ringan.
Seraphine tertawa kecil. “Kau akan jadi orang pertama yang aku kudeta.”
“Aww... romantis banget. Kudeta pertama selalu spesial.”
Mereka saling tersenyum. Tapi ketegangan belum benar-benar mereda.
Sementara itu, Flick dan Orin duduk sambil membagi roti keras yang sudah mereka rebut dari ransel Marquis Meow.
“Kita baru aja liat Seraphine jadi kayak ratu neraka... dan kita masih hidup?” kata Flick tak percaya. “Ini... jelas pertanda kita perlu pensiun.”
“Pensiun jadi penyusup istana atau jadi tukang selamat dari akhir zaman?” tanya Orin sambil menggigit roti.
“Dua-duanya. Aku mulai naksir pekerjaan sebagai penjual kue. Atau peternak ayam. Ayam gak punya takhta.”
Marquis Meow mengeong pelan, menatap mereka dengan ekspresi superior.
Namun kedamaian itu tak bertahan lama.
Dari kejauhan, terdengar derap kaki kuda. Bukan hanya satu, tapi ratusan.
Pasukan berbendera hitam—tapi bukan dari Ravennor. Ini adalah pasukan yang dulu dikabarkan telah dibubarkan: The Order of the Flameborn.
Di barisan depan, seorang pria dengan rambut putih berantakan dan satu mata berwarna emas turun dari kudanya. Dia tersenyum, lesung pipitnya dalam—kontras dengan tatapan tajam mematikan yang ia bawa.
“Sudah kuduga... warisan itu akan memilihmu, Seraphine,” katanya. “Tapi sayang sekali. Mahkota yang membentukmu… adalah mahkota yang kami hancurkan dulu. Dan kami akan hancurkan lagi.”
Seraphine mengenalnya. Semua orang di generasinya tahu nama itu.
“Ash Valemorne…” gumamnya.
Caelum mengerutkan kening. “Tunggu. Kakakmu?!”
Orin berdiri. “Aku kira dia mati!”
Ash tersenyum miring. “Banyak orang ingin aku mati. Sayangnya, aku terlalu keras kepala untuk mematuhi.”
Seraphine tidak bergerak. Dalam dirinya—antara rindu, marah, dan bingung bercampur seperti badai. Ash adalah satu-satunya yang dulu dia percaya… sebelum dunia menghancurkan keluarganya.
“Apa yang kau lakukan di sini, Ash?”
“Aku datang bukan untuk bertempur. Aku datang untuk memperingatkanmu,” katanya sambil melemparkan sesuatu ke tanah. Sebuah medali kerajaan tua, patah di bagian mahkota. “Kau pikir kau satu-satunya pewaris? Ada orang lain yang dihidupkan kembali oleh mahkota. Tapi dia bukan sepertimu. Dia... dikorbankan.”
“Siapa?” tanya Seraphine pelan.
Ash menatap tajam. “Adik kita, Sera. Orin bukan satu-satunya yang selamat.”
Orin membeku.
Caelum memeluk Seraphine dari samping, matanya waspada. “Apa ini jebakan?”
“Aku ingin menyelamatkan kalian dari jebakan yang jauh lebih besar,” jawab Ash. “Karena tak lama lagi… tahta palsu akan bangkit. Dan yang memimpin bukan manusia… tapi mahkota itu sendiri.”
Dari balik kabut, muncul siluet lain—lebih tinggi, lebih angkuh, dan seluruh tubuhnya tampak terbungkus zirah yang menyatu dengan kulit. Di dahinya—ukiran ular menyala merah darah.
“Aku datang... karena aku sudah dipanggil,” suara makhluk itu serak seperti besi digores batu. “Kau boleh duduk di takhta, Seraphine. Tapi akulah tahta itu. Aku adalah bagian yang ditinggalkan oleh para Raja Pertama.”
Caelum menarik pedangnya. Flick segera menyiapkan pisau dan—entah dari mana—melempar satu sosis kering ke mulut Marquis Meow agar tidak mengeong keras.
“Serius? Kita harus lawan hantu mahkota?” gerutu Flick. “Setelah ini jangan ada yang ngajak gue ke reruntuhan kuno lagi!”
Seraphine melangkah maju. Matanya berubah perak, dan tanah di sekelilingnya mulai bergetar.
“Aku tidak takut pada mahkota. Aku sudah hidup tanpanya. Aku sudah dibakar olehnya. Dan sekarang… aku tahu bagaimana menghancurkannya.”
Makhluk zirah itu hanya tertawa. “Kau tidak bisa menghancurkan bagian dari dirimu sendiri, Ratu Tanpa Mahkota.”
Seraphine tersenyum.
“Maka aku akan membakar diriku... untuk menciptakan takhta yang baru.”
Cahaya dari belakangnya menyala. Ash, Orin, Caelum, Flick, bahkan Marquis Meow—siap bertempur bersama.
Dan perang yang akan datang… bukan lagi soal siapa yang duduk di atas takhta, tapi siapa yang layak menentukan bentuk dunia setelahnya.
Angin membawa bau darah dan debu. Langit Ravennor yang dulu cerah kini diselimuti kabut merah kehitaman, seperti jeritan jiwa-jiwa yang hilang dalam pertempuran sihir yang tak diinginkan siapa pun. Dinding istana menghitam, dipenuhi retakan. Lantai marmer yang dulunya mengilap kini dipenuhi bekas luka pertempuran—pecahan kaca, jejak kaki yang terbakar, dan… tubuh.
Seraphine berdiri di tengahnya. Gaunnya compang-camping, mata merah karena tangis dan kelelahan. Tapi kepalanya tetap tegak, dan di tangannya, liontin Elara masih tergenggam kuat.
Di seberangnya, Caelum jatuh berlutut. Napasnya berat, jubahnya terbakar sebagian. Sihir gelap di tubuhnya masih belum sepenuhnya padam.
“Seraphine…” katanya, suara lirih namun penuh beban. “Aku… tidak bisa mengendalikan semuanya.”
“Aku tahu,” jawabnya pelan, mendekat. “Tapi kau berusaha.”
Caelum menunduk, tangannya bergetar. “Banyak yang mati. Karena aku. Karena darah ini… karena apa yang kita sembunyikan.”
“Dan lebih banyak lagi yang akan mati… kalau kau tidak menghentikannya,” Seraphine berbisik, lalu berlutut di hadapannya. “Kita tidak bisa membangun kerajaan ini dari tahta emas. Kita harus membangunnya dari abu. Dari kebenaran.”
Caelum menatapnya. “Dari abu… dan darah?”
“Dari cinta. Kalau itu masih ada.”
Caelum mengulurkan tangan, menyentuh wajahnya yang penuh debu. “Masih ada. Masih selalu ada.”
Mereka saling diam. Tapi di balik diam itu, dunia mulai bergerak kembali.
Langit di atas Ravennor malam itu tidak bersih. Asap tipis dari reruntuhan ruang barat masih membumbung, menyisakan bau terbakar yang bahkan angin malam enggan menyapu. Di bawah cahaya bulan yang menggigil, istana terlihat seperti makhluk tua yang terluka—anggun, tapi rapuh.
Seraphine berdiri di tengah aula utama, dikelilingi oleh dinding yang sebagian menghitam dan lantai retak. Gaunnya berlumur abu dan debu, tetapi matanya tetap terang—seperti api yang enggan padam.
Di belakangnya, Ash—kakaknya—menatap sekeliling dengan ekspresi separuh jijik, separuh nostalgia.
“Kalau tahu istananya bakal serapuh ini,” gumamnya, “kita bisa saja bawa korek api tujuh tahun lalu.”
Seraphine melirik tajam. “Aku sedang mencoba serius di sini.”
Ash menyeringai. “Dan aku sedang mencoba tidak membayangkan kita semua mati dalam waktu dua jam, tapi masing-masing punya cara coping sendiri, bukan?”
Cobalah:
RA-VEN-NOR™
➤ Teruji bikin senyum-senyum sendiri
➤ Kaya akan plot twist & sihir kuno
➤ Mengandung Caelum, Ash, dan Orin dosis tinggi
PERINGATAN:
Tidak dianjurkan dibaca sambil di kelas, rapat, atau pas lagi galau.
Efek samping: jadi bucin karakter fiksi.
Konsumsi: TIAP JAM 11 SIANG.
Jangan overdosis.
Gemetar...
Tangan berkeringat...
Langit retak...
WiFi ilang...
Kulkas kosong...
Ash unfollow kamu di mimpi...
➤ Tiap hari. Jam 11.
Ini bukan sekadar Novel.
Ini adalah TAKDIR. 😭
Aku sudah capek ngingetin kamu terus.”
➤ Novel update jam 11.
➤ Kamu lupa lagi?
Baiklah.
Aku akan pensiun.
Aku akan buka usaha sablon kaus bertuliskan:
❝ Aku Telat Baca Novel ❞
#AyamMenyerah
“Kalau kamu baca jam 11, aku bakal bikinin kamu es krim rasa sihir.”
Caelum (panik):
“Update?! Sekarang?! Aku belum siap tampil—eh maksudku… BACA SEKARANG!”
Orin (pegangan pohon):
“Aku bisa melihat masa depan... dan kamu ketinggalan update. Ngeri ya?”
📅 Jam 11. Tiap hari.
Like kalau kamu tim baca sambil ketawa.
Komen kalau kamu tim “gue nyempil di kantor buat baca novel diem-diem”
Kamu bilang kamu fans Ravennor,
Tapi jam 11 kamu malah scroll TikTok.”
Jangan bikin aku bertanya-tanya,
Apakah kamu masih di pihakku…
Atau sudah berubah haluan.
➤ Novel update tiap hari.
➤ Jam 11.
Jangan salah pilih sisi.
– Orin
Tapi aku perhatikan siapa yang selalu datang jam 11… dan siapa yang tidak.”
Dunia ini penuh rahasia.
Kamu gak mau jadi satu-satunya yang ketinggalan, kan?
Jadi, kutunggu jam 11.
Di balik layar.
Di balik cerita.
– Orin.
Menarik.
Aku kira kamu pembaca yang cerdas.
Tapi ternyata...
➤ Baca tiap hari. Jam 11.
➤ Kalau enggak, ya udah. Tapi jangan salahin aku kalau kamu ketinggalan plot twist dan nangis di pojokan.
Aku sudah memperingatkanmu.
– Ash.
Untuk: Kamu, pembaca kesayanganku
"Hei…
Kamu masih di sana, kan?
Kalau kamu baca ini jam 11, berarti kamu masih inget aku…"
🕚 update tiap hari jam 11 siang!
Jangan telat… aku tunggu kamu di tiap halaman.
💙 – C.
Kucing kerajaan udah ngamuk karena kamu LUPA update!
🕚 JAM 11 ITU JAM UPDATE !
Bukan jam tidur siang
Bukan jam ngelamunin mantan
Bukan jam ngintip IG crush
Tapi... JAMNYA NGIKUTIN DRAMA DI RAVENNOR!
😾 Yang kelewat, bakal dicakar Seraphine pakai kata-kata tajam.
#Jam11JamSuci #JanganLupaUpdate
Itu jamnya:
✅ plot twist
✅ karakter ganteng
✅ baper kolektif
✅ kemungkinan besar ada adegan nyebelin tapi manis
Jangan lupa update TIAP HARI JAM 11 SIANG
📢 Yang gak baca… bakal disumpahin jadi tokoh figuran yang mati duluan.
Itu bukan jam makan, bukan jam rebahan...
Itu jam baca komik kesayangan KAMU!
Kalau kamu ngelewatin update:
💔 Caelum nangis.
😤 Seraphine ngambek.
😎 Ash: “Terserah.”
Jadi yuk… BACA. SEKARANG.
🔁 Share ke temanmu yang suka telat update!
#ReminderLucu #UpdateJam11
📆 Update : SETIAP HARI JAM 11 SIANG!
Siapa yang lupa...?
➤ Ditarik ke dunia paralel.
➤ Dikejar Orin sambil bawa kontrak nikah.
➤ Dijadikan tumbal sihir kuno oleh Ash.
➤ Dipelototin Seraphine 3x sehari.
Jadi... JANGAN LUPA BACA YAAA!
❤️ Like | 💬 Komen | 🔔 Follow
#TimGakMauKetinggalan
Komik kita akan UPDATE SETIAP HARI!
Jadi jangan lupa:
💥 Siapkan hati.
💥 Siapkan cemilan.
💥 Siapkan mental buat gregetan.
⏰ Jam tayang: jam 11.00 WIB
🧡 Yang lupa update, nanti ditembak cinta sama si Caelum.
➕ Jangan lupa:
❤️ Vote
💬 Komen
🔁 Share
🔔 Follow & nyalain notif biar gak ketinggalan~