Niat hati Parto pergi ke kampung untuk menagih hutang pada kawannya, justru mempertemukan dia dengan arwah Jumini, mantan cinta pertamanya.
Berbagai kejadian aneh dan tak masuk akal terus dialaminya selama menginap di kampung itu.
"Ja-jadi, kamu beneran Jumini? Jumini yang dulu ...." Parto membungkam mulutnya, antara percaya dan tak percaya, ia masih berusaha menjaga kewarasannya.
"Iya, dulu kamu sangat mencintaiku, tapi kenapa kamu pergi ke kota tanpa pamit, Mas!" tangis Jumini pun pecah.
"Dan sekarang kita bertemu saat aku sudah menjadi hantu! Dunia ini sungguh tak adil! Pokoknya nggak mau tahu, kamu harus mencari siapa yang tega melakukan ini padaku, Mas! Kalau tidak, aku yang akan menghantui seumur hidupmu!" ujar Jumini berapi-api. Sungguh sekujur roh itu mengeluarkan nyala api, membuat Parto semakin ketakutan.
Benarkah Jumini sudah mati? Lalu siapakah yang tega membunuh janda beranak satu itu? simak kisah kompleks Parto-Jumini ya.
"Semoga Semua Berbahagia"🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoshuaSatrio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melarikan Diri
Sukijo mengepalkan kedua tangannya, menahan gejolak amarah yang masih bergemuruh. Semua usaha yang dilakukannya untuk mencari Jumini yang telah menghilang hampir sepuluh hari, tak juga menemukan titik temu.
“Jika memang kamu tak punya hubungan apapun dengan Jumini, lalu bagaimana kamu bisa mengenalnya? Dan apa—Arwah? Jangan gila, kamu pikir aku akan percaya dengan bualan itu?” ucap Sukijo dengan ancang-ancang siap menghajar Parto jika saja pemuda dari kota itu berkilah.
Parto menghela napas, berusaha mencari kata yang tepat agar Sukijo mempercayainya —meskipun jika dinalar, ia sendiri tak habis pikir dengan hal-hal yang dialaminya.
“Jangankan kamu, aku saja tak mengerti dengan semua yang aku alami. Tapi mimpi malam itu, —ah, entahlah itu mimpi atau aku dirasuki, tapi aku melihat Jumini minta tolong pada semua orang, lalu kebetulan saja aku—aku yang….”
Secara singkat, Parto tak punya pilihan lain selain menceritakan semua penglihatan yang ditunjukkan Jumini padanya. Sukijo mendengarkan dengan seksama, antara percaya dan tak percaya.
“Ja-jadi apa menurutmu Jumini benar-benar sudah mati?” Dada bidang Sukijo mendadak terasa sempit dan sesak saat harus menerima kenyataan itu.
Meskipun rumah tangganya tengah dalam proses diatas meja sidang, namun bukan Sukijo yang menggunggat cerai, melainkan Jumini. Itulah sebabnya Sukijo masih merasa tak terima dan selalu mengkhawatirkan Jumini.
“Aku tak yakin, tapi dia terus minta tolong padaku, aku tak paham maksudnya, dia hanya terus menunjukkan ikat rambutnya.” Parto sangat berhati-hati dengan ucapannya.
“Ikat rambut?” tanya balik Sukijo seraya mengingat-ingat. “Ah! Apa ikat rambut itu, —warnanya peach?”
“Hm, betul! Betul yang itu, beberapa kali dia menunjukkannya, ada noda darah di beberapa bagiannya,” jawab Parto bersemangat, sepertinya Sukijo mulai percaya.
“Hm, kenapa justru ikat rambut jelek itu yang selalu disayanginya, modelnya saja sudah jadul, nggak ada bagus-bagusnya, tapi entah kenapa bahkan sampai jadi arwah pun justru benda itu yang dicarinya!”
Parto mendesis, bersungut-sungut. ‘Syalan dia bilang jelek! Pada jamannya dulu, itu pita rambut terbaik dan termahal, cuma anaknya Bu bidan yang bisa beli, asem bener dibilang jadul!’ gerutu Parto dalam hati.
Tapi bukan itu yang penting, Parto sedang mencari celah untuk keluar dari situasi aneh yang tak pernah ia bayangkan itu.
Beruntung, sesaat kemudian seorang warga pun berteriak memanggil Sukijo.
“Jo! Kamu dicari kemana-mana malah sibuk di sini! Ayo buruan ke jembatan yang roboh, jasad Jumini ditemukan disana!”
“Hah? Jasad mbak Jum? Yang bener Mas Toyo?” Lasmi pun terperanjat kaget dengan kabar itu.
“Lasmi, tolong jaga Seli untukku, aku harus—” Sukijo bergegas berlari menuju ke lokasi meskipun batinnya menyangkal kabar itu. ‘Tidak! Pasti bukan Jumini!’ harapnya pilu.
Parto memanfaatkan kesempatan itu untuk bergegas kembali ke ruko, mengemasi barang-barangnya.
“Masa bodoh dengan arwah-arwah itu! Persetan dengan uang tiga puluh juta! Aku harus cepetan pergi dari sini!” gumamnya tak membuang sedikit pun waktu.
Selesai membereskan barangnya yang memang tak seberapa, Parto bergegas keluar, berniat menunggu bus yang akan membawanya ke kota.
“Ibu! Maafkan aku gagal menagih uang yang dipakai Walji! Aku terlalu menyayangi nyawaku sendiri, Bu!” ujar Parto yang hanya didengarkan oleh hembusan angin kecil saat Parto berlarian di jalan raya.
Beruntung, tak lama kemudian bus tua yang pernah ditumpanginya pun muncul dari balik tikungan. Parto segera melambaikan tangan agar bus itu berhenti.
“Ah, selamat juga aku,” gumam Parto lega menyandarkan punggungnya.
Perjalanan Parto pulang sangat lancar. Bahkan ketika ia tiba di terminal induk pun, ia dengan mudah mendapatkan tiket sehingga bisa cepat melanjutkan perjalanan ke rumah ibunya.
Hingga keesokan harinya pun, Parto tiba di rumah, disambut sang ibu dengan senyum sumringah.
“Masuk Le, Ibu sudah masak, ayo sarapan.” Sambut sang ibu seakan tahu putranya akan segera tiba dirumah.
Parto mengedarkan pandangannya ke seisi rumah, lalu menghirup aroma rumah sebanyak mungkin, aroma kerinduan dan kenyamanan yang tak tergantikan.
“Kesini Le, Ibu sudah masak, ayo sarapan!” Lambaian tangan Bu Suratmi yang sudah duduk di meja makan, mengisyaratkan agar sang putra tak lagi mengabaikan ajakannya.
Parto mencuci tangan terlebih dahulu sebelum makan.
“Kok airnya agak keruh, Bu? Udah lapor ke PDAM belum?”
“Itu nanti urusan ibu, Le. Sini duduk, Ibu sudah masak, ayo sarapan.”
Parto berbalik seraya mengeringkan tangannya dengan lap tangan yang tersedia di dekat wastafel, lalu duduk berseberangan meja dengan Bu Suratmi.
“Ibu ini kenapa toh, nada bicaranya kok aneh gitu. Ibu sakit?” tanya Parto menelisik wajah sang ibu yang memang terlihat sedikit pucat.
Bu Suratmi menggeleng pelan, “Enggak, Le. Ibu sudah masak, ayo sarapan, nanti keburu dingin.”
“Hm, iyalah. Ayo Ibu juga harus makan.”
Parto menambahkan sambal pada mangkuknya lalu mengaduk perlahan soto khas buatan sang ibu, yang harum aromanya tak bisa dibandingkan dengan masakan orang lain.
Deg!
Wajah Parto berubah pucat pasi, matanya terbelalak saat memperhatikan kuah soto itu berangsur berwarna merah.
“I-ini apa?!” Dan saat ia mengaduknya, sesuatu terasa janggal di dalam isian mangkoknya.
Parto semakin panik dan tak percaya, matanya membulat terkejut. Rasa takut pun mulai menjalar di batinnya dan menepis seluruh keberaniannya. Perlahan ia mendongak beralih menatap ibunya.
"I-ibu?!"
...****************...
Bersambung....