NovelToon NovelToon
AKU BUKAN USTADZAH

AKU BUKAN USTADZAH

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Spiritual / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Pelakor / Penyesalan Suami
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: ummu nafizah

"Aku Bukan Ustadzah" mengisahkan perjalanan Aisyah, seorang wanita sederhana yang dikenal taat dan aktif di lingkungan sosial keagamaan, namun selalu menolak disebut ustadzah. Ia merasa masih terus belajar dan takut gelar itu membuatnya terjebak dalam citra yang bukan dirinya. Di tengah aktivitas dakwahnya, hadir Khaerul—seorang pemuda tangguh yang dulu jauh dari agama namun kini berjuang menata hidup dengan semangat hijrah. Pertemuan mereka membawa dinamika antara prinsip, cinta, dan pencarian jati diri. Novel ini menyajikan konflik batin, perjuangan iman, dan ketulusan cinta yang tak selalu harus dimiliki namun untuk dimengerti.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummu nafizah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13: Api yang Terus Membara di Tengah Penolakan

Desa Batupute tetap menyimpan sunyinya, meski hari-hari berganti menjadi lebih cerah oleh kehadiran Aisyah dan Khaerul. Namun, perjalanan dakwah mereka tak semulus gelombang pantai Lasonrai yang kadang tenang, kadang bergelora. Kini, badai baru menghadang: penolakan keras dari tokoh adat yang tak ingin tradisi lama tergantikan.

Pak Samad, kepala adat yang dihormati warga, duduk tegap di ruang tamu rumahnya yang berukir ukiran khas Bugis. Matanya yang tajam menatap Aisyah dan Khaerul yang baru saja menyampaikan undangan pertemuan untuk berdiskusi soal pengembangan madrasah dan program ekonomi syariah.

“Aku tahu niat kalian mulia,” suara Pak Samad berat dan serius, “tetapi jangan lupa, Batupute ini punya akar dan adat yang sudah turun-temurun. Kalau kalian paksa perubahan tanpa persetujuan, bisa jadi bencana bagi kita semua.”

Aisyah menghela napas panjang, menatap lembut wajah pria itu. “Pak Samad, kami tak ingin mengganti adat. Kami hanya ingin menyelaraskan nilai Islam dengan tradisi yang sudah ada. Bukankah Allah juga mengajarkan kita untuk berbuat baik dan menjaga hubungan dengan sesama?”

Namun, sang kepala adat tak mudah diyakinkan. Ia tetap kukuh dengan pendiriannya, mewakili suara sebagian besar masyarakat yang takut perubahan akan mengikis jati diri mereka.

Penolakan ini membawa dampak nyata. Pengajian yang awalnya berjalan lancar mulai berkurang pesertanya. Dana untuk madrasah yang semula mengalir dari dermawan kini mulai menipis, tergerus biaya hidup yang kian meningkat. Khaerul harus bekerja lebih keras, mengambil pekerjaan serabutan demi memenuhi kebutuhan keluarga dan kelangsungan dakwah.

Malam itu, di tengah dinginnya angin pantai Lasonrai, Aisyah duduk termenung sambil menatap ombak yang tak henti menyapu pasir. Hatinya penuh pergulatan.

“Khaerul, aku takut... jika kita tak kuat, dakwah ini bisa berhenti. Apa kita sudah terlalu jauh melangkah?” suaranya lirih, hampir tersapu angin malam.

Khaerul mendekat, merangkul bahunya dengan hangat. “Aisyah, ingatlah, setiap perjuangan pasti diuji. Rasulullah dan para sahabat juga pernah mengalami penolakan yang jauh lebih berat. Kita bukan sendiri, Allah bersama kita.”

Kata-kata itu menguatkan Aisyah. Ia tahu, api di dada harus terus menyala meski diterpa angin kencang.

Keesokan harinya, mereka memutuskan untuk mengadakan pengajian terbuka di lapangan desa, mengundang seluruh warga, termasuk para tokoh adat dan pemuda yang selama ini skeptis. Aisyah tampil dengan penuh percaya diri, membacakan ayat-ayat Al-Qur’an yang mengajak umat untuk berbuat adil, berbuat baik, dan menjaga ukhuwah.

Khaerul melengkapi dengan cerita perjuangan para nabi dan pentingnya istiqamah dalam kebaikan.

Seiring waktu, sebagian warga mulai melunak. Mereka melihat perubahan kecil dalam diri anak-anak yang belajar, ibu-ibu yang makin sabar, dan lingkungan yang lebih bersih serta damai.

Namun, rintangan ekonomi tetap menjadi beban yang menekan. Khaerul sering pulang larut, membawa hasil kerja yang seadanya. Aisyah membantu dengan menjahit pakaian dan mengajarkan anak-anak membaca untuk sedikit menambah pemasukan.

Mereka pun memulai usaha kecil-kecilan menjual hasil tani dan kerajinan tangan di pasar terdekat. Setiap rupiah mereka sisihkan untuk kebutuhan madrasah dan pengajian.

Malam-malam berat itu justru menjadi saksi dari kekuatan cinta dan iman yang mengikat mereka. Dalam doa-doa yang panjang, mereka menyerahkan segala usaha pada Allah, berharap pintu rezeki dan keberkahan terbuka lebar.

Dan di bawah langit Batupute yang dipenuhi bintang, Aisyah dan Khaerul tahu satu hal pasti: selama api iman dan cinta masih menyala, tidak ada penolakan yang mampu memadamkannya.

Matahari pagi belum sepenuhnya terbit ketika Aisyah dan Khaerul sudah bergegas memulai hari mereka. Namun, bayang-bayang masalah baru seolah tak mau memberi jeda bagi pasangan muda itu.

Setelah sedikit meraih simpati warga, mereka menghadapi gelombang konflik yang datang silih berganti, seperti ombak ganas pantai Lasonrai yang tak pernah henti menggulung pasir.

Pak Samad, kepala adat, yang awalnya hanya menolak secara halus, kini mulai mengorganisasi beberapa tokoh desa untuk lebih keras menentang perubahan yang dibawa Aisyah dan Khaerul. Beberapa tokoh lain yang dulu diam, mulai berbisik-bisik membentuk kubu penentang yang memandang dakwah mereka sebagai ancaman terhadap adat dan kekuasaan lama.

Di tengah kerumunan desa, suara-suara sinis mulai terdengar: "Dakwah itu baik, tapi jangan sampai lunturkan budaya kita," kata seorang pria paruh baya dengan nada penuh curiga.

Tidak hanya itu, fitnah pun mulai menyebar. Ada kabar yang tak berdasar tentang Aisyah dan Khaerul yang konon ingin menguasai tanah desa atau menyingkirkan tokoh adat lama. Isu ini menimbulkan kegelisahan di hati banyak warga yang selama ini hidup berdampingan dengan tradisi.

Khaerul merasa beban semakin berat. Usaha kecil mereka yang semula menjadi harapan kini tersendat karena sejumlah pembeli mulai menjauh. Dana untuk madrasah semakin menipis, bahkan untuk kebutuhan sehari-hari pun terasa sulit.

Aisyah, yang biasanya tegar, kini sering menahan tangis di balik tirai rumah sederhana mereka. Namun, ia selalu menguatkan diri dengan ayat-ayat suci yang dihafalnya.

Suatu malam, saat hujan deras mengguyur, mereka menerima kabar dari salah seorang pengaji setia bahwa rumah seorang pengikut mereka dilempar batu oleh orang tak dikenal. Rasa takut mulai menyelimuti komunitas kecil mereka.

“Khaerul, kita harus tetap sabar dan berdoa. Allah bersama hamba-hamba-Nya yang sabar,” bisik Aisyah, meski hatinya bergetar.

Khaerul menggenggam tangan Aisyah erat. “Kita tidak sendiri, dan kita tidak boleh menyerah. Ini ujian, dan kita harus melewatinya bersama.”

Mereka pun memperkuat tali persaudaraan di antara pengikut, memperbanyak pengajian dan doa bersama, meskipun ancaman dan intimidasi semakin nyata.

Kesulitan ekonomi makin menekan. Khaerul terpaksa menjual sebagian alat pertanian yang mereka miliki demi membayar biaya sekolah anak-anak dan membeli bahan bakar untuk perjalanan dakwah ke desa-desa sekitar.

Namun, di balik semua cobaan itu, muncul secercah harapan. Seorang tokoh muda dari desa tetangga mulai mendekat, menyatakan dukungan dan bersedia membantu menyuarakan perubahan yang dibawa Aisyah dan Khaerul.

Aisyah dan Khaerul tahu, perjalanan ini masih panjang dan berliku, tapi api semangat mereka tak pernah padam.Waktu seakan berputar lebih lambat di desa Batupute, namun cobaan datang bertubi-tubi tanpa ampun. Setelah fitnah mulai beredar, kondisi sosial desa berubah menjadi semakin tegang. Suara bisik-bisik yang dulu samar kini berubah menjadi bisikan yang menusuk hati, bahkan ada yang berani berteriak menentang di tengah pengajian.

Suatu sore, ketika Aisyah sedang mengajar anak-anak membaca Al-Qur’an di bawah rindangnya pohon kelapa dekat pantai Lasonrai, segerombolan pemuda yang didorong oleh ketegangan dan ketakutan adat mendatangi mereka.

“Ini sudah keterlaluan! Kalian ingin merubah cara hidup kami yang sudah turun-temurun? Siapa kalian sebenarnya?” teriak salah satu pemuda, wajahnya merah padam.

Anak-anak yang tadinya asyik belajar pun menatap bingung dan ketakutan. Aisyah berdiri, mencoba menenangkan suasana. “Kami tidak pernah ingin menghapus tradisi, kami hanya ingin menambahkan cahaya Islam ke dalam kehidupan kita.”

Namun kata-katanya nyaris tenggelam di antara teriakan dan suara keributan.

Khaerul segera mendekat, menenangkan para pemuda dengan suara tegas namun lembut. “Mari kita bicarakan baik-baik. Islam mengajarkan kita untuk saling menghormati dan menjaga persatuan. Tidak ada yang ingin menghancurkan warisan leluhur, justru kita ingin memperbaikinya bersama.”

Tetapi malam itu, ancaman semakin menjadi. Keesokan harinya, sebuah pesan surat tanpa nama ditemukan di depan rumah Aisyah dan Khaerul: “Berhenti berdakwah atau hadapi akibatnya.”

Ketakutan mulai merayap di kalbu, tapi tidak melemahkan tekad. Justru sebaliknya, api perjuangan semakin membakar hati mereka. Mereka saling menguatkan, menahan air mata dalam doa-doa malam panjang yang selalu mereka panjatkan.

Di sisi lain, kesusahan ekonomi menambah beban berat. Khaerul yang sehari-hari bekerja serabutan kini harus lebih ekstra, menjual barang-barang berharga dan menunda kebutuhan pribadi demi terus menyokong dakwah dan pendidikan anak-anak di Batupute.

Suatu malam, setelah pulang dari pasar membawa sedikit hasil jualan, Khaerul dan Aisyah duduk bersama di depan rumah mereka yang sederhana. Angin pantai Lasonrai berhembus dingin menyapu wajah mereka.

“Aku tahu ini berat, Aisyah. Tapi aku percaya, Allah tidak akan meninggalkan kita,” ujar Khaerul, menggenggam tangan istrinya dengan penuh harap.

Aisyah menatap langit gelap yang dihiasi bintang-bintang. “Kita harus tetap kuat, walau kadang terasa semua dunia ini melawan kita. Ini bukan hanya perjuangan kita, tapi juga amanah dari Allah.”

Malam itu mereka berdoa panjang, memohon keteguhan dan kemudahan. Meski dunia tampak gelap, cahaya iman mereka tetap bersinar, menuntun langkah mereka untuk terus maju.

Dalam gelapnya cobaan, muncul sinar harapan kecil: seorang pemuda bernama Farid, anak kepala desa tetangga, datang menawarkan bantuan. Farid yang muda dan bersemangat itu ingin belajar langsung dari Aisyah dan Khaerul, menjadi jembatan bagi pemuda-pemuda lain untuk membuka hati terhadap dakwah yang mereka bawa.

Meski rintangan bertubi-tubi menghadang, semangat juang mereka tidak pernah padam. Batupute mungkin kecil dan terpencil, tetapi di sanubari Aisyah dan Khaerul, ada tekad besar untuk menyalakan lentera iman dan kasih sayang, menerangi kegelapan yang mencoba merenggut harapan mereka.

1
Armin Arlert
karya ini benar-benar bikin saya terhibur. Terima kasih thor banyak, keep up the good work!
nafizah: mohon dukungannya yaa
total 1 replies
Aono Morimiya
Aku jadi pengen kesana lagi karena settingan tempatnya tergambar dengan sangat baik.
Nana Mina 26
Membekas di hati
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!