Hai hai ... hadir nih spin offl dari "mendadak papa" kali ini aku jadiin Kevin sebagai tokoh utama. Selamat membaca
Gara-gara nggak mau dijodohin sama cowok sok ganteng bernama Sion, Aruntala nekat narik tangan seorang pelayan café dan ngumumin ke seluruh dunia—
“Ini pacar gue! Kami udah mau tunangan!”
Masalahnya... cowok itu cuma menatap datar.
Diam.
Nggak nyaut sepatah kata pun.
Dan Aruntala baru sadar, pria itu tuna wicara. 😭
Malu? Jelas.
Tapi sialnya, malah keterusan.
Aruntala balik lagi ke café itu, memohon ke si barista pendiam buat pura-pura jadi pacarnya biar Mama tirinya nggak bisa menjodohkannya lagi.
Cowok itu akhirnya setuju — karena nggak tahan sama ocehan Aruntala yang nggak ada titik koma.
Yang Aruntala nggak tahu, pria random itu bukan sekadar barista biasa...
Dia adalah Kevin Prasetyo, pemilik café sekaligus pemegang saham besar di perusahaan ayahnya sendiri!
Berawal dari kebohongan kecil, hubungan mereka pelan-pelan tumbuh jadi sesuatu yang lebih nyata
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ketakutan kevin
Lewat gadis itu sendiri.
Dua kata terakhir yang tak sengaja ia dengar itu berdengung di telinga Aruntala, mengalahkan aroma kopi yang mulai memudar dan suara samar staf yang membereskan kafe. Ia menatap Kevin, yang kini berdiri dan memberinya isyarat untuk pulang. Wajah pria itu kembali datar, tetapi matanya yang pekat menyiratkan kewaspadaan yang tak kunjung surut. Aru merasa energinya terkuras habis. Pertarungan verbal dengan Nadira dan Sion terasa seperti lari maraton di atas bara api.
“Gila,” bisik Aru saat mereka berjalan keluar menuju mobilnya.
“Mereka beneran gila, Kev.”
Kevin hanya mengangguk, tangannya dengan sigap membukakan pintu untuk Aru. Sebuah gestur kecil yang terasa seperti benteng pelindung.
“Makasih buat hari ini,” lanjut Aruntala, suaranya serak.
“Lo… lo keren tadi. Nggak ngomong apa-apa tapi rasanya kayak lo udah nonjok muka mereka seratus kali.”
Kevin tersenyum tipis, sebuah kilat geli melintas di matanya. Ia menutup pintu mobil Aruntala, lalu mengetuk kaca jendela. Aruntala menurunkannya. Kevin mengeluarkan ponselnya, mengetik cepat.
Kamu lebih keren. Knalpot bajaj yang bocor? Aku akan ingat itu.
Aruntala tertawa kecil, tawa pertama yang tulus setelah sore yang penuh racun itu.
“Itu pujian terbaik yang pernah gue dapet.”
Kevin mengangguk lagi, lalu menunjuk ke jalan, memberi isyarat agar Aru segera pulang dan beristirahat. Aruntala mengangguk, menyalakan mesin mobilnya, dan melaju pergi, meninggalkan Kevin yang masih berdiri di depan kafe, sosoknya yang tinggi menjadi siluet di bawah lampu jalan yang temaram.
***
Tidur seharusnya menjadi pelarian termudah. Namun, bagi Aruntala, malam itu tempat tidurnya terasa seperti medan perang. Setiap kali ia memejamkan mata, wajah Nadira yang tersenyum licik, tatapan meremehkan Sion, dan bisikan Cala yang polos namun membingungkan—kata Om Kevin—berputar-putar seperti film rusak.
Ia berguling ke kiri, lalu ke kanan. Selimutnya terasa terlalu panas, pendingin ruangan terasa terlalu dingin. Pukul satu dini hari, ia menyerah. Ia duduk, menyandarkan punggung ke kepala ranjang, dan memeluk lututnya. Keheningan di kamarnya terasa menekan, berbeda dengan keheningan nyaman yang ia temukan di sisi Kevin. Keheningan ini hampa. Keheningan ini adalah kesepian.
Ia meraih ponselnya, membuka ruang obrolan dengan Kevin. Jari-jemarinya ragu-ragu melayang di atas papan ketik. Apa yang mau ia katakan? Marah karena rahasia pria itu? Bertanya tentang rapat dengan ayahnya? Mengeluh tentang Nadira? Semuanya terasa terlalu berisik, bahkan dalam bentuk tulisan.
Lalu, dalam satu tarikan napas panjang, ia mulai mengetik. Bukan dengan amarah, melainkan dengan kejujuran yang melelahkan.
Kev, lo udah tidur? Maaf ganggu malem-malem. Gue cuma… gue nggak bisa tidur. Kepala gue rasanya mau meledak. Tadi di kafe, gue teriak-teriak kayak orang gila. Gue bilang gue nggak takut sama mereka, tapi sebenernya gue takut banget. Gue capek, Kev. Capek pura-pura kuat. Capek pura-pura punya pacar buat nutupin kenyataan kalo gue ini sendirian.
Ia berhenti sejenak, membaca ulang pesannya. Terlalu jujur. Terlalu rapuh. Tapi ia tidak menghapusnya. Ia melanjutkan.
Kadang gue mikir, apa gunanya ini semua? Hubungan palsu kita ini… awalnya cuma buat bikin Tante Nadira diem. Tapi sekarang rasanya jadi lebih rumit. Dan gue… gue jadi takut. Bukan cuma takut sama mereka. Gue takut sama kita. Gue takut sama perasaan nyaman pas lo ada di deket gue. Gue takut sama cara lo ngeliat gue, seolah-olah semua kebisingan gue ini nggak masalah buat lo.
Nyokap gue dulu pergi gitu aja. Ninggalin gue di tengah keheningan yang paling nyakitin. Sejak itu, gue benci sepi. Gue selalu butuh suara, butuh musik kenceng, butuh ngomel-ngomel nggak jelas biar gue nggak perlu denger suara di kepala gue yang bilang kalo gue bakal ditinggalin lagi. Dan sekarang… lo dateng dengan semua keheningan lo, dan anehnya itu malah bikin gue tenang. Itu yang bikin gue takut setengah mati, Kev. Gue takut kalo suatu saat nanti, keheningan dari lo ini juga bakal pergi. Gue takut kalo ini semua cuma pura-pura, dan pas sandiwaranya selesai, lo juga bakal ninggalin gue. Gue nggak akan sanggup ngadepin sepi itu lagi.
Ia menekan tombol kirim sebelum akal sehatnya sempat mencegah. Jantungnya berdebar kencang. Bodoh. Ia terdengar seperti gadis putus asa yang menyedihkan.
***
Di rumah keluarga Rahadja, lampu ruang tengah masih menyala terang. Kevin duduk di sofa, segelas air putih di tangannya, sementara Evelyn, kakaknya, duduk di seberangnya dengan ekspresi cemas.
“Jadi, Nadira benar-benar datang ke kafe?” tanya Evelyn, suaranya lembut namun tegas. Kevin, yang sejak tadi hanya diam, akhirnya mengangguk.
“Dan dia membawa Sion?”
Kevin mengangguk lagi.
“Kev, ini bahaya,” desah Evelyn, menyisir rambutnya ke belakang dengan jemarinya.
“Wanita itu licik. Kalau dia sampai tahu kamu bisa bicara, dia akan pakai itu untuk menghancurkanmu dan Aru.”
“Aku tahu,” suara Kevin terdengar untuk pertama kalinya malam itu. Dalam, tenang, dan sedikit serak karena jarang digunakan di luar rumah. Sangat kontras dengan persona bisu yang ia tampilkan di luar.
“Tapi Aru… dia melawannya, Kak. Demi aku. Dia seperti naga kecil yang menyemburkan api ke mana-mana.”
Evelyn tersenyum tipis. “Dia menyayangimu, Kevin. Sangat. Apa kamu tidak lihat?”
“Aku lihat,” jawab Kevin pelan. “Justru itu yang membuatku takut.”
Saat itulah ponselnya di atas meja bergetar, menampilkan notifikasi pesan panjang dari Aruntala. Kevin meraihnya, matanya memindai setiap kata yang diketik gadis itu dengan tergesa-gesa. Ekspresinya berubah. Datar, lalu terkejut, lalu… sakit. Ia bisa merasakan getaran ketakutan Aru dari seberang kota, merayap masuk melalui layar ponselnya.
“Dari Aru?” tebak Evelyn.
Kevin tidak menjawab. Ia hanya terus menatap layar, membaca pengakuan tentang ibu Aru, tentang ketakutannya akan keheningan dan ditinggalkan. Semua kebisingan Aru, semua tingkah impulsifnya, kini memiliki sumber yang begitu rapuh dan menyakitkan.
“Kevin?” panggil Evelyn lagi, lebih lembut.
Kevin mengangkat kepala, matanya bertemu dengan mata kakaknya. Di sana, Evelyn melihat sesuatu yang jarang ia saksikan, kerentanan adiknya yang paling dalam.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Kevin mulai mengetik balasan. Jari-jarinya bergerak dengan mantap, setiap huruf adalah sebuah pilihan yang hati-hati. Ia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. Belum. Tapi ia bisa memberinya sesuatu yang lain. Sesuatu yang Aru butuhkan saat ini.
Ponsel Aru bergetar di genggamannya. Dengan napas tertahan, ia membukanya.
Aku belum tidur.
Sebuah balasan singkat. Aru menunggu, jantungnya masih berdebar. Beberapa detik kemudian, pesan lain masuk.
Kamu tidak sendirian, Aru. Ada aku.
Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Aruntala. Ia mengetik balasan cepat.
Tapi sampai kapan, Kev? Sampai Tante Nadira berhenti gangguin gue? Setelah itu selesai, kan?
Di seberang sana, Kevin membaca balasan itu. Ia menghela napas panjang, sebuah suara yang sarat dengan beban. Evelyn hanya memperhatikannya dalam diam, memberinya ruang.
Awalnya mungkin begitu,ketik Kevin.
Tapi sekarang bukan lagi tentang dia. Ini tentang kita.
Aruntala membaca kalimat itu berulang-ulang. Ini tentang kita. Tiga kata yang terasa begitu berat dan nyata.
Gue takut, Kev, balas Aru lagi, lebih singkat, lebih jujur.
Kevin menatap pesan itu lama. Ia bisa merasakan keputusasaan Aru. Ia tahu kata-kata tidak akan cukup. Tapi untuk saat ini, hanya itu yang ia punya. Dengan sebuah keputusan final, ia mengetik sebuah janji. Sebuah janji yang melanggar aturan permainan mereka, sebuah janji yang melintasi batas kepura-puraan.
Aku tidak akan meninggalkanmu, Aru.
Pesan itu muncul di layar ponsel Aru. Sederhana. Tanpa tanda seru, tanpa emoji. Hanya sebuah pernyataan lugas yang terasa lebih kokoh daripada ribuan sumpah.
Aku tidak akan meninggalkanmu.
Aru memegang ponselnya erat di dada. Beban yang sejak tadi menghimpitnya perlahan terangkat. Untuk pertama kalinya malam itu, ia bisa bernapas dengan lega. Air matanya akhirnya jatuh, tetapi kali ini bukan karena takut, melainkan karena kelegaan yang hangat. Ia percaya pada tulisan itu. Ia percaya pada Kevin. Dengan senyum tipis di bibirnya dan ponsel yang masih tergenggam, Aruntala akhirnya jatuh tertidur.
Di rumah Rahadja, Kevin meletakkan ponselnya. Ia merasa sedikit lebih tenang, tetapi juga terbebani oleh janji yang baru saja ia buat.
“Kamu serius dengan janji itu?” tanya Evelyn pelan, seolah bisa membaca pikirannya.
“Aku tidak pernah lebih serius lagi seumur hidupku, Kak,” jawab Kevin, suaranya mantap.
Evelyn menatapnya dalam-dalam. Ada kekaguman, tetapi juga kekhawatiran yang besar di matanya.
“Kamu berjanji tidak akan meninggalkannya, tapi kamu masih meninggalkannya dalam kebohongan terbesar hidupmu, Kev. Itu tidak adil untuknya.”
“Aku akan memberitahunya,” kata Kevin.
“Pada waktu yang tepat.”
“Waktu yang tepat itu kapan?” desak Evelyn. “Setelah Nadira menghancurkan kalian berdua? Kevin, dengarkan aku. Kamu harus jujur padanya. Kamu tidak bisa membangun sesuatu yang nyata di atas fondasi yang rapuh.”
“Aku tahu!” sentak Kevin, suaranya naik satu oktaf sebelum ia berhasil mengendalikannya lagi. Ia memijat pelipisnya.
“Aku hanya… aku takut, Kak. Aku takut suaraku akan mengubah segalanya. Dia mencintai keheninganku.”
“*Dia mencintai *kamu**,” koreksi Evelyn lembut.
“Keheninganmu hanyalah bagian dari dirimu yang dia kenal.” Evelyn terdiam sejenak, tatapannya menerawang, seolah teringat sesuatu dari masa lalu yang jauh.
“Kamu tahu, kan, kenapa Ayah dulu sangat membenci kebisingan setelah kecelakaan itu?”
Kevin mengerutkan kening. “Karena membuatnya pusing. Mengganggu konsentrasinya. Itu yang selalu dia katakan.”
Evelyn menggeleng pelan, matanya kini berkaca-kaca.
“Itu bukan alasan sebenarnya, Kev. Itu hanya sebagian kecil.”
“Lalu apa?” tanya Kevin, merasakan firasat buruk mulai merayap di hatinya.
Evelyn menatap lurus ke mata adiknya, siap menjatuhkan sebuah kebenaran yang telah ia simpan selama bertahun-tahun.
“Suara terakhir yang Ayah dengar sebelum mobil itu menabrak… adalah suara teriakan Ibu.”