Vira Sita, seorang gadis yatim piatu yang sederhana, dijodohkan dengan Vito Hartawan — pewaris kaya raya — sebagai amanat terakhir sang kakek. Tapi di balik pernikahan itu, tersimpan niat jahat: Vito hanya menginginkan warisan. Ia membenci Vira dan berpura-pura mencintainya. Saat Vira hamil, rencana keji dijalankan — pemerkosaan, pengkhianatan, hingga kematian. Tapi jiwa Vira tidak pergi selamanya. Ia bangkit dalam tubuh seorang gadis muda bernama Raisa, pewaris keluarga Molan yang kaya raya, setelah koma selama satu tahun. Tanpa sepengetahuan siapa pun, Vira kini hidup kembali. Dengan wajah baru, kekuatan baru, dan keberanian yang tak tergoyahkan, ia bersumpah akan membalas dendam… satu per satu… tanpa ada yang tahu siapa dirinya sebenarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 17
Udara Milan pagi itu dingin namun segar. Embun tipis masih menempel di jendela kaca saat Raisa membuka tirai apartemennya. Dari balkon kecilnya, ia bisa melihat lalu-lalang para pekerja seni di sekitar pusat mode kota itu.
Hiruk pikuk yang asing, tapi kini mulai terasa akrab.
Di meja kayu bundar, buku sketsa miliknya terbuka. Di sana, tertulis satu kalimat kecil yang ia gores semalam:
"Aku tidak tahu ke mana jalan ini membawaku. Tapi untuk pertama kalinya… aku tidak takut."
-----
Raisa tiba di aula utama tempat acara Emerging Fashion Voices in Europe diadakan. Aula itu megah—berkubah kaca, dikelilingi dinding marmer putih, dan penuh instalasi seni modern.
Satu demi satu peserta muda dari berbagai negara hadir dengan koleksi khas mereka.
Namun tak butuh waktu lama sampai suara yang sudah cukup familiar menyapa di belakangnya.
“Kalau kamu terlihat cantik dengan apron dan gunting di tangan, pasti di atas runway kamu bisa bikin panggung meleleh.” ujar seorang pria
Raisa menoleh. “Reinald.”
Pria itu mengenakan setelan kasual—kemeja linen abu terang, celana hitam, dan sepatu kulit cokelat gelap. Tapi senyumnya... seperti biasa, hangat.
“Kamu siap untuk presentasi pertama nanti sore?” tanya Reinald.
“Deg-degan. Tapi aku tidak datang sejauh ini untuk menyerah,” jawab Raisa sambil tersenyum kecil.
Reinald mengangguk, lalu menyodorkan secangkir kopi.
“Kalau begitu, kita rayakan saja deg-degannya. Cheers?”
---
Siang itu mereka duduk di bawah pohon zaitun di halaman belakang aula. Sesekali angin meniupkan aroma roti panggang dari kafe seberang jalan.
“Aku penasaran, Reinald,” kata Raisa,
“kenapa kamu tertarik mengundang desainer muda dari Asia?” tanya Raisa
Reinald menyesap kopinya, lalu menjawab pelan, “Karena aku lelah melihat dunia fashion hanya dimiliki mereka yang punya nama besar atau koneksi kuat. Kadang, karya paling indah justru datang dari tempat yang tak terduga... seperti kamu.”
Raisa diam sesaat. Hatinya bergetar ringan.
“Dan kamu?” lanjut Reinald. “Apa kamu datang hanya untuk mengejar mimpi, atau… kamu juga sedang lari dari masa lalu?”
Raisa menatap langit. “Aku pikir aku datang untuk membalas sesuatu. Tapi sekarang, aku di sini untuk membuktikan... aku layak.”
---
Pukul empat sore, giliran Raisa maju.
Ia berdiri di tengah ruangan dengan pencahayaan keemasan. Di belakangnya tergantung karya utamanya: gaun asimetris dengan dua sisi—satu sisi pastel cerah dan berkilau,
Gaun itu dinamakan: “Keluar dari Kegelapan”.
Semua mata tertuju padanya.
“Gaun ini bukan hanya busana,” katanya, “tapi kisah. Tentang perempuan yang pernah tenggelam dalam kegelapan... tapi bangkit tanpa harus membunuh terang yang ada dalam dirinya.”. Suara Raisa tenang, tapi sorot matanya kuat. Seisi aula terdiam. Lalu… tepuk tangan bergemuruh.
---
Setelah presentasi, Raisa berjalan keluar ke balkon aula untuk mencari udara. Tapi ternyata Reinald sudah menunggu di sana.
“Gaunmu... membuatku terdiam. Dan aku jarang kehabisan kata.” puji Reinald
Raisa menoleh, tertawa kecil. “Kamu bilang begitu ke semua peserta, ya?”
“Tidak. Cuma kamu.” jawab Reinald
Sunyi. Tapi bukan sunyi yang canggung. Melainkan sunyi yang... nyaman.
Reinald bersandar pada dinding, lalu berkata pelan, “Aku tahu kamu belum siap untuk dicintai. Tapi... kalau suatu hari kamu mau mulai percaya lagi, aku akan di sini. Menunggu, tanpa menuntut apa pun.”
Raisa terdiam. Dadanya hangat. Untuk pertama kalinya, ada seseorang yang tidak memaksa... tapi hadir dengan tulus.
---
> Hari ini… aku tidak hanya berdiri di atas panggung dunia.
Tapi juga mulai berdiri di atas hatiku sendiri.
Reinald…
Namanya seperti benang sutra.
Lembut. Tapi bisa mengikat kuat.
Aku belum tahu apakah aku bisa mencintai lagi.
Tapi kalau iya...
Mungkin kali ini, aku akan memilih dengan hati yang sudah sembuh.
Hari-hari di Milan berubah menjadi lebih dari sekadar perjalanan karier. Bagi Raisa, ini seperti membuka jendela besar ke dunia yang selama ini hanya ia lihat dari buku, layar laptop, dan mimpi.
Kini, dunia itu ada di depan matanya. Dan ia ada di dalamnya.
...----------------...
Dua hari setelah presentasinya yang memukau, Raisa mulai menerima banyak undangan.
Ia diminta menjadi pembicara di diskusi mode bertema “Reclaiming Power Through Fabric”, diundang makan siang oleh desainer senior Prancis, dan bahkan ditawari kolaborasi bersama rumah mode Italia bernama Giardino d’Arte.
“Desainmu bukan hanya indah, tapi penuh jiwa,” kata Madam Leticia, pemilik Giardino d’Arte, saat mengundangnya makan malam.
Raisa hanya bisa tersenyum, menyembunyikan rasa kagumnya sendiri. “Saya hanya menulis ulang luka menjadi karya.”
Leticia mengangguk. “Luka adalah tinta paling kuat untuk menggambar keindahan.”
---
Di sela kesibukannya, Raisa tetap kembali ke studio kecil apartemennya. Di sinilah ia merasa paling nyaman—dengan musik klasik pelan, kain-kain yang tersusun, dan buku sketsa yang semakin penuh.
Hari itu, Reinald masuk dengan dua cangkir kopi seperti biasa.
“Aku mulai merasa kamu cuma suka aku karena kopi yang kubawa,” canda Reinald.
“Bukan cuma kopi. Kadang kamu juga bawa pizza,” balas Raisa dengan senyum geli.
Mereka duduk berdampingan. Tak ada pembicaraan penting, hanya dua orang yang nyaman dalam diam.
Hingga Reinald bertanya pelan, “Raisa... siapa yang dulu menyakitimu begitu dalam sampai kamu bisa membuat gaun sekuat itu?”
Raisa terdiam. Tangannya mengusap kain pastel yang tengah ia rancang. “Seseorang yang sudah mati dalam hidupku... bahkan sebelum aku mati.”
---
🇮🇩 Kabar dari Indonesia
Malamnya, Raisa membuka email dari Jordan.
“Vito resmi didakwa dengan pasal pembunuhan berencana dan penipuan warisan. Video yang kamu kirim menjadi barang bukti utama. Publik mengecam keluarga Ardhana, saham perusahaan jatuh, dan semua kerja sama dibatalkan.” ujar Jordan sang kakak
“Sonia? Dia mengajukan banding, tapi tidak punya dasar. Mama bilang, Sonia sempat kirim surat ke rumah, tapi kami robek tanpa dibaca.” lanjut Jordan lagi
“Kita semua bangga padamu. Tapi kami juga rindu.” ujar Jordan
Raisa membaca itu dengan mata yang mulai memanas. "Aku tidak membalas mereka karena dendam."
"Aku membalas karena dunia butuh tahu... bahwa kebaikan pun harus punya gigi untuk menggigit jika disakiti." ujar Raisa lagi
---
Beberapa hari kemudian, Raisa menutup studio kecilnya untuk beberapa jam. Ia ingin fokus merancang satu koleksi khusus.
Namanya: RAISA
Sebuah koleksi gaun yang terdiri dari tiga lapisan:
Warna merah darah di dalam, simbol luka masa lalu.
Lapisan putih tipis di tengah, sebagai lambang penerimaan.
Dan lapisan luar—emas, cerah, berani—sebagai cermin dirinya kini.
Saat ia menunjukkannya ke Reinald, pria itu terdiam cukup lama.n“Aku belum pernah melihat karya yang begitu personal… dan begitu kuat. Ini... kamu.”
Raisa menatap Reinald. “Kamu pikir, orang-orang siap menerima nama ini?”
Reinald mengangguk. “Mereka bukan hanya siap. Mereka akan mengingatnya.”
Malam harinya Raisa menatap langit Milan yang penuh bintang.
Ia memeluk lututnya di balkon, membiarkan angin membelai rambut panjangnya yang diikat seadanya.
Ia membisik pelan… “Vira, kalau kamu masih ada di suatu tempat, lihatlah aku sekarang. Aku tidak membiarkan kematianmu sia-sia. Tapi aku juga tidak menghidupkan mu kembali dengan kebencian.”
“Kini aku adalah Raisa. Biarkan nama Vira si gantiin Raisa Aku hidup. Dan kini, aku punya nama yang tak akan lagi dibungkam.” gumam Raisa
> Aku tidak tahu apakah ini akhir dari semua luka.
Tapi aku tahu ini awal dari hidup yang baru.
Namaku bukan korban.
Namaku bukan martir.
Namaku…
Raisa.
Dan dunia akan tahu siapa aku.
bersambung
krain raisa bkln jdoh sm reinald,scra ky ccok gt....tp trnyta ga....mngkn kli ni bnrn jdohnya raisa,scra kluarganya udh tau spa dia....
spa tu????clon pawangnya raisa kah????
wlau bgaimna pun,dia pst lbh ska tnggal d negri sndri....dkt dgn kluarga,dn bs mmbntu orng lain....kl mslh jdoh mh,srahkn sm yg d ats aja y.....
Smbgtttt.....
Hufftt....
jadi, berjuanglah walaupun dunia tidak memihakmu, macam thor, klw ada yg ingin menjatuhkan mu maka perlihatkan dengan karya mu yg lebih baik, semangaaaat thor/Determined//Determined/
ttp smngt...😘😘😘
aku udh mmpir lg,smpe ngebut bcanya....he....he....
smngttt.....😘😘😘