Lionel Danny, adalah pria berpengaruh yang kejam. Karena dendam ia terpaksa menikahi putri musuhnya sendiri.
Namun, tepat setelah pernikahan selesai dilangsungkan, ia justru menghabisi seluruh keluarga istrinya, Maura.
Karena benci dan dendamnya akhirnya Maura sengaja mendekati pria kaya raya bernama Liam. Siapa sangka jika Liam benar-benar jatuh hati kepada Maura.
Mungkinkah Danny luluh hatinya dan berusaha merebut kembali miliknya?
Bagaimana jadinya jika ternyata Liam justru pria yang lebih kejam dari Danny?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lintang Lia Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12. Pembunuh Tetaplah Pembunuh
Seorang Dokter datang untuk memeriksa keadaan Maura. Perempuan utu langsung merogoh ponselnya, ia melihat ada banyak pesan dari Liam yang belum ia baca.
Di waktu yang sama, Danny ikut masuk ke dalam kamar. Ia memergoki Maura yang membaca pesan itu, sehingga perempuan utu pun tak tahu harus bicara apa.
"Kau sakit, tapi masih saja main ponsel." Danny langsung mengambil paksa lalu membacanya.
[Maura, beri aku alamatmu. Aku cemas sepanjang hari. Aku ingin datang menjengukmu.]
Mata Danny menyipit ketika membaca isi pesannya.
Bukan itu saja, ia langsung mendelik ke arah Maura. Membuat perempuan itu curiga jika suaminya memang sedang cemburu kepadanya.
"Ada apa?" tanya Maura sambil memeriksa air muka suaminya.
Danny menelan ludah, lalu menggeleng.
"Tolong periksa keadaan istri saya, Dokter. Saya akan menunggu di sini," tukas Danny sambil melipat kedua tangannya di depan dada setelah menyembunyikan ponsel Maura di dalam kantong celananya.
Ia menatap tajam ke arah Maura. Sementara gadis itu, ia tak berani memandangi wajah suaminya. Hanya memalingkan wajahnya ke arah lain saja sepanjang dokter sedang melakukan pemeriksaan.
"Luka serius seperti ini, kenapa gak dibawa ke rumah sakit saya, Tuan Danny? Kau bukan orang dari kalangan bawah, seharusnya uang bukan masalah bagimu," cetus dokter itu.
"Dia tidak tertarik sembuh. Aku tidak bisa memaksa," sahut Danny, dingin.
Maura sebenarnya ingin menyanggah, tapi apa gunanya berdebat dengan orang asing. Baginya itu sia-sia. Hingga akhirnya, Maura hanya bisa menghela napas dan memilih memejamkan matanya.
'Lebih baik aku tidur, dengan begitu ... aku tidak perlu berinraksi dengan Danny lagi,' batin Maura kemudian memejamkan matanya.
"Sepertinya, ia sudah mendapatkan perawatan dengan baik sebelumnya." Dokter itu hanya mengganti perban Maura.
Danny langsung mendekat, memandangi luka gores yang secara tak sengaja ia ciptakan sendiri.
"Apakah akan meninggalkan bekas luka?" tanya Danny.
Mungkin di depan Maura, ia selalu mengingkari tentang perasaannya. Tetapi rasa cemas yang terpancar dari sorot matanya tidak bisa bohong. Jika memang benar pria itu sedang mencemaskan istrinya.
"Ini ... iya. Tapi bisa diperbaiki," terang sang Dokter.
Mereka sempat berbincang membahas tentang Maura sejenak. Tetapi Danny tak suka dengan orang yang ikut campur urusan orang lain, hingga ia cepat mengusirnya.
"Ummm Dokter, saya rasa Anda paham bagaimana cara merawat pasien agar lekas sembuh itu bagaimana. Dia butuh istirahat, jika sudah tidak ada hal penting sebaiknya Anda cepat pulang," cetus Danny berterus terang.
Dokter itu tersenyum miring. Ia memang paham pria di depannya itu seperti apa. Bagaimana tidak, rumah sakit tempatnya bekerja bahkan milik Danny.
***
Waktu sudah menunjukkan jam makan siang. Tetapi Maura masih tidur nyenyak. Membuat Danny langsung duduk di sebelahnya.
Seharusnya pria itu menunjukkan bagaimana ia membalas dendam kepada Maura. Entah mengapa, beberapa hari belakangan ia justru selalu mencemaskan Maura?
"Maura, waktunya makan. Setelah itu kamu bisa istirahat lagi. Aku tahu kau hanya pura-pura tidur. Bangun!" Danny menarik lengan Maura.
Tetapi, setelah dicoba berkali-kali dengan berbagai cara termasuk mengguncangkan tubuh istrinya, wanita itu masih juga tidak bergerak.
Danny menatapnya. Ia mendekatkan wajahnya, lalu meletakkan anak rambut Maura di belakang telinga.
"Maura, apakah ini sangat sakit bagimu? Maaf aku sudah menyakiti kamu. Sejujurnya... Maura, kamu tidak bersalah. Tetapi orang taumu yang menyakitiku. Apa yang harus kulakukan? Dadaku sesak rasanya."
Entah sejak kapan. Bulir bening merembes dari sudut mata Danny. Ia menangis tanpa suara. Tetapi air matanya beberapa kali menetes mengenai pipi istrinya.
Wanita itu tersentak, lalu membuka matanya. Mengetahui itu, Danny buru-buru menyembunyikan wajahnya.
"Ayo bangun, makan siang. Setelah ini jelaskan padaku. Dari mana kamu mengenal bajingan itu. Aku masih suami kamu!" seru Danny.
Suaranya serak. Terkesan sedang menutupi rasa sedihnya saja.
"Aku tidak lapar," balas Maura, ia sengaja ingin memancing amarah suaminya.
"Cih, pesta bisa. Makan enak dengan lelaki lain lahap. Dengan suami bilang tidak lapar," cibir Danny kesal.
Lagi dan lagi Danny kembali menunjukkan amarahnya.
"Kamu cemburu? Mengaku saja?" tanya Maura setengah mengejek.
"Memangnya kalau iya kenapa? Apa salah suami cemburu jika melihat istrinya berduaan dengan pria lainnya?" Mata Danny melotot setelah membalikkan badannya.
"Kau habis menangis?" Maura tersenyum getir.
"Kau berani mengejekku, Maura? Mau menentang?" Danny kembali mendekatkan wajahnya.
Maura segera siaga tapi ia kalah cepat. Danny langsung menekan kedua telapak tangannya, alalu menciumnya sedikit lama.
Biasanya Maura selalu meronta. Tetapi kali ini ia hanya meneteskan air mata di sudut matanya.
Ia membiarkan Danny melampiaskan amarahnya.
"Jika ini bisa meredakan rasa dendammu pada orang tuaku, Danny. Lakukan semau kamu. Lagi pulang aku sudah tidak utuh. Kamu sudah merenggut segalanya dariku kan?"
"Kenapa kamu selalu bicara seperti, Maura?" tanya Danny kesal.
Kali ini sedikit lembut. Tidak kasar seperti biasanya. Mungkinkah ia mulai merasa memiliki saingan? Entah.
"Karena bagiku, pembunuh tetaplah pembunuh," ungkap Maura dengan tatapan matanya yang kosong.
Danny tersenyum miring.
"Lalu bagaimana dengan orang tua kamu? Keluargaku mati dengan cara yang sama? Kau tahu? Aku masih berumur sembilan tahun ketika itu. Kau masih beruntung, aku kembali dan balas dendam di saat kamu sudah menjadi gadis dewasa!" teriak Danny.
Maura terhenyak. Pria itu langsung membanting pintu kamar, lalu meninggalkan Maura. Setelah itu ia langsung melempar kaca di kamar dengan gelas.
Pyar!
Kaca akhirnya pecah berserakan.
"Apa kamu akan meninggalkan aku dengan pria sialan itu? Katakan padaku, Maura?"
Maura gemetar. Danny langsung meremas pecahan kaca hingga darahnya mengucur sangat deras.
Maura langsung melompat dari tempat tidur dan berusaha menenangkan Danny.
"Duduk! Aku tidak mau dianggap sebagai istri kejam." Kali ini Maura setengah memaksakan ia langsung meminta kotak obat.
Beberapa orang langsung sigap membantu Maura mencabut pecahan kaca. Tetapi Danny mendorongnya dengan kasar.
"Keluar."
Danny berteriak lantang. Tetapi Maura tetap saja diam. Ia justru terus melanjutkan membersihkan pecahan kaca di telapak tangan suaminya, lalu memberinya obat dan membalutnya dengan perban.
Ketika itu, Danny menatapnya lama.
'Aku bahkan sudah menghabisi nyawa kedua orangtuanya. Tetapi ia tetap melakukan tugasnya sebagai seorang istri. Maura, jangan terlalu baik padaku. Aku takut menyakitimu.' Batin Danny sembari menatap istrinya.
Kemudian setelah selesai membalut luka di tangan suaminya, Maura segeralah meminta pelayan untuk membereskan pecahan kaca y berserak di kamarnya.
Danny masih duduk dan membisu. Ia memalingkan wajahnya setiap kali Maura menatapnya.
"Danny, tidurlah. Aku akan tidur di sofa. Istirahat mungkin bisa membuatmu tenang."
Mendengar ucapan Maura, mendadak dadanya terasa nyeri ke ulu hati.
"Kau bisa tidur di kamar pria asing. Dan justru menolak tidur seranjang dengan suamimu!" Danny menatapnya dengan ekspresi marah. Matanya memerah.
"Lalu apa maumu?" tanya Maura tak kalah menatapnya dengan tatapan tajam juga.
"Temani aku tidur, di ranjang yang sama!" pinta Danny dengan tatapan kosong.
Maura begitu terkejut. Bahkan mulutnya ternganga.
update lebih bnyk lgi sehari 2-3 bab hehe...