NovelToon NovelToon
Gerbang Tanah Basah: Garwo Padmi Dan Bisikan Malam Terlarang

Gerbang Tanah Basah: Garwo Padmi Dan Bisikan Malam Terlarang

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Poligami / Janda / Harem / Ibu Mertua Kejam / Tumbal
Popularitas:62.6k
Nilai: 5
Nama Author: Hayisa Aaroon

Di Era Kolonial, keinginan memiliki keturunan bagi keluarga ningrat bukan lagi sekadar harapan—melainkan tuntutan yang mencekik.
~
Ketika doa-doa tak kunjung dijawab dan pandangan sekitar berubah jadi tekanan tak kasat mata, Raden Ayu Sumi Prawiratama mengambil jalan yang tak seharusnya dibuka: sebuah perjanjian gelap yang menuntut lebih dari sekadar kesuburan.
~

Sementara itu, Martin Van der Spoel, kembali ke sendang setelah bertahun-tahun dibayangi mimpi-mimpi mengerikan, mencoba menggali rahasia keluarga dan dosa-dosa masa lalu yang menunggu untuk dipertanggungjawabkan.

~

Takdir mempertemukan Sumi dan Martin di tengah pergolakan batin masing-masing. Dua jiwa dari dunia berbeda yang tanpa sadar terikat oleh kutukan kuno yang sama.

~

Visual tokoh dan tempat bisa dilihat di ig/fb @hayisaaaroon. Dilarang menjiplak, mengambil sebagian scene ataupun membuatnya dalam bentuk tulisan lain ataupun video tanpa izin penulis. Jika melihat novel ini di

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Janji Ki Jayengrana

Akhirnya, setelah berjalan hampir satu jam, mereka tiba di pinggir desa Manguntalan. Pondok Ki Jayengrana terletak sedikit terpencil, dikelilingi pohon-pohon bambu tinggi yang berdesir lembut ditiup angin malam.

"Biar saya yang ketuk pintu, Ndoro," kata Mbok Sinem.

Namun, sebelum tangannya menyentuh pintu bambu itu, pintu tersebut terbuka perlahan. Ki Jayengrana berdiri di ambang pintu, seolah telah menunggu kedatangan mereka.

"Ndoro Ayu," sapanya dengan suara serak. "Saya sudah menunggu kedatangan Ndoro."

"Mbok, tunggu di luar saja," perintah Sumi pada Mbok Sinem. "Saya akan masuk sendiri."

"Tapi Ndoro—"

"Tidak apa, Mbok," potong Sumi. "Saya akan baik-baik saja."

Dengan enggan, Mbok Sinem mundur beberapa langkah. Sumi mengikuti Ki Jayengrana masuk ke dalam pondok yang hanya diterangi oleh lampu minyak tua.

Sumi duduk bersimpuh di atas tikar pandan, matanya mengamati sekeliling. Pondok itu tampak sama seperti kemarin—pengap, dan dipenuhi aroma khas ramuan dan kemenyan.

Tapi malam ini, rasanya ada yang berbeda. Mungkin karena kini ia tahu tentang masa lalu Ki Jayengrana, atau mungkin karena ia sendiri sedang diliputi keraguan.

"Sebelum kita mulai," kata Sumi, "saya ingin bertanya sesuatu, Ki."

Ki Jayengrana menoleh, matanya yang redup menatap Sumi dengan tenang. "Silakan, Ndoro Ayu."

"Apa benar bapak Ki Jayengrana dihukum oleh romo saya? Karena ritual terlarang di Kedung Wulan?"

Dukun tua itu terdiam sejenak, tangannya yang sedang menyusun bunga-bunga sesajen terhenti.

"Benar, Ndoro. Tapi itu masa lalu yang sudah lama berlalu, dan apa yang dituduhkan pada bapak saya adalah fitnah."

"Lalu kenapa Ki Jayengrana membantu saya?" tanya Sumi, suaranya sedikit bergetar. "Bukankah seharusnya Ki Jayengrana membenci keluarga saya?"

Ki Jayengrana menghela napas panjang. "Karena takdir, Ndoro Ayu. Takdir yang membawa Ndoro kemari, dan takdir pula yang membuat saya menjadi penerus ilmu leluhur."

Ia melanjutkan menyiapkan ritual, mengambil sebutir telur bulus dari dalam kotak kayu berukir. "Bapak saya memang dihukum. Tapi sebelum meninggal, beliau berpesan bahwa suatu hari, anak dari orang yang menghukumnya akan datang meminta bantuan. Dan ketika hari itu tiba, kami harus membantunya."

"Kenapa?" tanya Sumi, semakin bingung.

"Karena semua yang terjadi ada sebabnya, Ndoro," jawab Ki Jayengrana dengan tatapan misterius. "Kedung Wulan, bulus-bulus itu, keluarga Ndoro, keluarga Van der Spoel ... semuanya terhubung dalam satu lingkaran takdir yang belum selesai."

Sumi tertegun. "Keluarga Van der Spoel? Apa hubungannya dengan mereka?"

"Itu cerita untuk lain waktu, Ndoro," Ki Jayengrana mengalihkan pembicaraan. "Sekarang, kita harus melanjutkan ritual. Waktu tidak banyak. Bulan semakin mendekati purnama."

“Tidak perlu berganti pakaian seperti kemarin, Ki?”

“Tidak perlu, Ndoro. Itu hanya untuk pembuka saja.”

Meski masih dipenuhi sejuta pertanyaan, Sumi menurut. Ia menegakkan tubuhnya, bersiap menerima telur bulus kedua.

Ki Jayengrana mengangkat telur bulus itu tinggi-tinggi, mulutnya komat-kamit membaca mantra dalam bahasa Jawa kuno.

"Buka mulut Ndoro," perintahnya pelan.

Dengan mata terpejam, Sumi membuka mulutnya. Saat telur itu pecah dan isinya jatuh ke dalam mulutnya, ia tidak lagi merasakan jijik seperti kemarin.

Sensasi dingin dan licin yang sama menyusuri tenggorokannya, namun kali ini ia sudah lebih siap.

Begitu telur itu sampai di perutnya, Ki Jayengrana menyodorkan secangkir air dalam gelas bambu yang dicampur madu hutan.

"Minumlah, Ndoro Ayu," ujarnya. "Ini akan membersihkan sisa-sisa rasa di mulut dan membantu telur itu bersatu dengan yang pertama."

Sumi menerima cangkir itu dan meminumnya perlahan. Manis madu hutan yang murni menetralisir rasa amis dari telur bulus.

"Bagaimana dengan ritual mandi itu, Ki?" tanya Sumi setelah menghabiskan minumannya. "Kapan saya harus melakukannya?"

Ki Jayengrana mengemasi perlengkapan ritualnya dengan gerakan tenang. "Hanya perlu mandi satu kali saja, untuk membuka jalan. Air akan menjadi perantara antara tanah itu dan tubuh Ndoro Ayu."

"Apa yang perlu saya lakukan?" Sumi bertanya lagi, suaranya sedikit gemetar antara rasa takut dan harap.

"Mudah saja," jawab dukun tua itu sambil menyunggingkan senyum samar. "Tinggal melepaskan semua yang ada di tubuh, seperti seseorang yang menyerahkan diri tanpa membawa apa-apa. Seperti bayi baru lahir."

Sumi merasakan pipinya memanas. Ia paham maksudnya—ia harus berendam tanpa busana.

"Air harus membasahi dari ujung kepala hingga ujung kaki," lanjut Ki Jayengrana. "Itu saja. Tidak ada syarat-syarat aneh lainnya."

"Kapan sebaiknya saya melakukannya?" tanya Sumi lagi.

"Semakin cepat semakin baik," jawab Ki Jayengrana. "Bulan semakin mendekati purnama. Kekuatan air sendang akan mencapai puncaknya."

Sumi mengangguk paham. "Saya pamit pulang kalau begitu, Ki."

Saat ia beranjak berdiri, sebuah pertanyaan terlintas di benaknya. "Apakah Ki Jayengrana perlu ikut ke sendang itu? Untuk ... memimpin ritual?"

Ki Jayengrana menggeleng. "Tidak perlu, Ndoro. Ini hanya seperti mandi biasa saja. Mudah. Ndoro bisa melakukannya sendiri."

Sumi merasa lega mendengarnya. Gagasan berendam telanjang di hadapan dukun tua itu membuatnya tidak nyaman.

"Berapa harga yang harus saya bayar untuk semua ini, Ki?" tanya Sumi sambil merogoh tas kecilnya.

Namun Ki Jayengrana menggeleng lagi. "Tidak perlu bayaran, Ndoro. Saya hanya memenuhi janji pada bapak saya."

Ada sesuatu yang misterius dalam jawaban itu, tapi Sumi tidak ingin bertanya lebih jauh.

“Suwun, Ki.”

Di luar, Mbok Sinem langsung berdiri dari tempatnya duduk di atas batu besar. "Ndoro sudah selesai?"

"Sudah, Mbok," jawab Sumi, matanya menatap jalan setapak yang mengarah ke Utara—ke arah Kedung Wulan. Bulan di atas mereka yang hampir penuh menerangi jalan dengan cahaya yang keperakan.

Sejenak, ia ragu. Lokasi Ki Jayengrana ke sendang itu hanya beberapa menit perjalanan. Bagaimana jika ia melakukan ritual mandi malam ini juga?

Ia teringat Martin masih ada di pesta Karesidenan, mungkin tengah malam baru akan kembali ke rumahnya.

Suaminya juga, jika tidak menginap di rumah orangtuanya di Kadipaten, pasti masih lama pulang.

"Mbok," ucapnya perlahan, "saya ingin ke Kedung Wulan malam ini juga."

Mata Mbok Sinem yang mengantuk seketika melebar ngeri. "Malam ini, Ndoro? Tengah malam begini?"

"Justru sekarang waktu yang tepat, Mbok. Tidak akan ada yang mengganggu."

"Tapi Ndoro …," Mbok Sinem tampak panik. "Tempat itu berbahaya! Apalagi malam-malam seperti ini!"

"Tadi pagi tidak ada apa-apa di sana, Mbok. Kita bahkan tidak melihat ular sama sekali atau binatang berbahaya lainnya. Saya hanya perlu mandi sebentar. Membasahi tubuh dari kepala hingga kaki. Itu saja, tidak akan lama."

Mbok Sinem menggeleng. "Ndoro tidak tahu apa yang terjadi di tempat itu dulu! Banyak sekali orang yang meninggal di sana!"

"Meninggal?" Sumi menatap abdinya dengan kerutan di dahi. "Apa maksudmu, Mbok?"

Mbok Sinem menelan ludah, suaranya merendah menjadi bisikan, seolah takut ada yang mendengar.

"Dulu, sebelum ditutup, banyak perempuan yang datang ke sendang itu untuk ritual kesuburan. Tapi tidak semua berhasil pulang, Ndoro."

"Apa yang terjadi pada mereka?"

"Ada yang tenggelam, katanya. Ada juga yang hilang begitu saja, tak pernah ditemukan lagi."

Sumi terdiam. Inilah mungkin alasan ayahnya menutup tempat itu. Inilah mungkin mengapa keluarga Van der Spoel melarang orang mendekati sendang itu setelah kematian Johanna.

Tapi ia telah datang sejauh ini. Telah menelan dua telur bulus. Ia tak mungkin berhenti di tengah jalan.

Kelangsungan rumah tangganya, statusnya sebagai Raden Ayu, seluruh hidupnya bergantung pada keberhasilan ritual ini.

"Saya tetap akan pergi, Mbok. Saya hanya akan mandi, membasahi air dari ujung kepala ke ujung kaki. Itu sangat mudah dan hanya sebentar."

Melihat keteguhan majikannya, Mbok Sinem akhirnya menghela napas panjang. "Baiklah, Ndoro."

"Si Mbok tidak perlu ikut sampai ke sendang. Cukup tunggu di gubuk kecil yang tadi siang kita lewati sebelum ke sendang."

Mbok Sinem tampak berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Baiklah, Ndoro. Saya akan menunggu di sana. Tapi tolong berhati-hati."

"Tentu, Mbok. Terima kasih."

Dengan lampu minyak di tangan, kedua perempuan itu menyusuri jalan setapak menuju Kedung Wulan.

Malam semakin larut, langit terang dihias bulan yang hampir penuh. Sumi merasakan napasnya semakin cepat seiring langkahnya mendekati sendang keramat itu.

Tak seperti saat pertama kali mengunjungi tempat itu, kini jalan setapak menuju sendang tampak lebih terbuka dan bersih.

Semak-semak tinggi telah dipotong, dan beberapa cabang pohon yang menghalangi jalan sudah disingkirkan.

"Pasti Martin yang membersihkannya," pikir Sumi.

Entah mengapa, gagasan bahwa pemuda Belanda itu telah bekerja keras membersihkan jalan memberinya rasa aman yang aneh. Seolah ia tidak sendirian dalam perjalanan ini.

1
Amara
katone Kanjeng Ibu bekingane Soedarsono jeng, sebagai ibu yang "gila hormat" pasti akan berupaya dengan segala cara ,daya dan upaya buat melenggangkan langkah Soedarsono buat jadi bupati dan sebisa mungkin melanggengkan kekuasaan berpusat pada dirinya 😊.

wes su'udzon tenan iki karo kanjeng kusumawati .
pangapurane nggih ibu
🍭ͪ ͩ💜⃞⃟𝓛 S҇ᗩᑎGGITᗩ🍒⃞⃟🦅: nyasarr ndoroo 🤣
🍭ͪ ͩ💜⃞⃟𝓛 S҇ᗩᑎGGITᗩ🍒⃞⃟🦅: nyasarr ndoroo 🤣
total 3 replies
Titik Luk Aida
bagus ndoro setiap konflik ada solusinya bikin deg degan tapi tetep bersemangat Krn pemecahan masalah nya yg jenius.
sat set pancal sana pancal sini,,,
Tati st🍒🍒🍒
lanjut
gaby
Crita yg sangat bagus, minim typo. Bener2 crita yg klasik yg mengaduk emosi
Hayisa Aaroon: Suwun, Ndoro 😍🙏
total 1 replies
gaby
Pengen tau dampak dr gagalnya Soedarsono jd Bupati bagi emaknya. Mudah2an langsung stroke & ga ada yg mau ngurusin, jgn langsung mati, biar dia tersiksa pelan2. Dan mudah2an pernikahan Sumi segera di legalkan secara hukum, lalu hamil. Agar smua masyarakat terutama mantan suami & mertuanya tau siapa yg mandul sebenarnya
FiaNasa
klau saran saya ndoro kang mas lebih baik mengundurkan diri & terima kenyataan bahwa ndoro ayu Sumi sudah sah jadi nyonya Martin van der spoel nggeh 😀😀😀dr pada ketauan publik kebusukan jenengan ndoro mas😀😀
⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘAndini Andana: keluarga Retnosari pasti akan membatalkan perjodohan 😋
⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘAndini Andana: yoi.. efek psikologisnya lebih dahsyat, buat Soedarsono, keluarga apalagi kanjeng mami 🙉🙈
total 5 replies
neng Ai💗
Seruuu....,semoga berhasil Johan & team
Triutama Bdg
semoga semuanya lancar yah dan soedarsono sadar
Darwati Zian
Alhamdulillah akhirnya sodarsono tau gmn rasanya hancur ga jadi pejabat JD orang biasa aja atas kebodohannya sendiri
ᴳᴿ🐅🍁🥑⃟𝙉AƁίĻԼል❣️ˢ⍣⃟ₛ❤️⃟Wᵃf
karir sudah di ujung tanduk masih perlu berfikir disuruh mundur suka rela /Facepalm//Facepalm//Facepalm/
ᴳᴿ🐅🍁🥑⃟𝙉AƁίĻԼል❣️ˢ⍣⃟ₛ❤️⃟Wᵃf
bisa diandalkan , gesit bertindak das des detektif nya
Mami Eni
22:13
Amelia Puji Rahayu
pas lg mikir dpt bisikan gaib lg dr Ki jayengrana,batal mikir deh
🍭ͪ ͩ💜⃞⃟𝓛 S҇ᗩᑎGGITᗩ🍒⃞⃟🦅
semakin gonjang ganjing nasibmu Raden,
obsesimu kepada Sumi menghancurkan mu perlahan ,
kanjeng Kusumawati klo tau hal ini bisa serangan jantung
😅
❤️⃟Wᵃf ༄SN⍟𝒚𝒂𝒚𝒖𝒌🦈
kann kann
bener kata ibu mu
kamu nya aj ngeyel sudh seperti ini baru lah lemes hadeh kemana saar mengebu2 mau hancurkan martin
wiss jann soedarsono2 ndoro ne sek mumet /Facepalm//Facepalm//Facepalm/
Ai Emy Ningrum: moga2 sih laku ,yg ngelukis jg pelukis terkenal dr museum kota tua Jakarta 🤣🤣
Ai Emy Ningrum: besok2 ndoro mas bisa2 minum kopi vietnam ice ,bukan kopi item 😋
total 19 replies
Amara
Rasa kalut yang mendera Soedarsono bisa jadi senjata baru ini, semakin beringas dan tak terkendali .perasaan ingin melenyapkan keluarga Van der spoel semakin kuat...
Fetri Diani
sy tau gaya menulis ndoro... tetep runut dan enak di baca.... tapi inii..... terlalu...... mm... thas thes ndoro.. /Grimace/
Fetri Diani: flizzow novel kak.. gratis jg.. sy pun pembaca gratisan.. 🤭🤣
Fetri Diani: penggambaran lokasi ndoro... klo di gambar kan gak bisa kecium bau nya.. masalah visual tinggal cus ke ig.. ky bau taman yg masih pagi..bau rempah dr dapur..duh py ya n jelasinnya. sy g pinter jelasin ndoro.. klo mau nunjang palang ok lah.. tp tolong bau bau an jgn diilangin🤭
total 13 replies
mbok e Gemoy
kalau lihat dari cerita yang ndoro buat,pasti ceritanya akan lebih rumit.masih banyak misteri belum di kupas tuntas.Makin penasaran,
Anggita 2019
semakin seru
🍭ͪ ͩ💜⃞⃟𝓛 S҇ᗩᑎGGITᗩ🍒⃞⃟🦅
mulutmu harimau mu ,
tunjukan aksi mu tuan Dekker
tuan Dekker bekerja sesuai prediksi nya
cekatan dan penuh perhitungan menyelidiki
makin terancam pihak Soedarsono
bahkan bunda nya pun trs menekan agar segera menikahi Retnosari
berlawanan dgn keinginan nya untuk rujuk dgn Sumi ,
jgn mimpii Raden 😅
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!