Di Kota Sentral Raya, kejahatan bukan lagi bayangan yang bersembunyi—ia adalah penguasa. Polisi, aparat, hingga pemerintah berlutut pada satu orang: Wali Kota Sentral Raya, dalang di balik bisnis ilegal, korupsi, dan kekacauan yang membelenggu kota ini.
Namun, ada satu sosok yang tidak tunduk. Adharma—pria yang telah kehilangan segalanya. Orang tua, istri, dan anaknya dibantai tanpa belas kasihan oleh rezim korup demi mempertahankan kekuasaan. Dihantui rasa sakit dan dendam, ia kembali bukan sebagai korban, tetapi sebagai algojo.
Dengan dua cerulit berlumuran darah dan shotgun di punggungnya, Adharma tidak mengenal ampun. Setiap luka yang ia terima hanya membuatnya semakin kuat, mengubahnya menjadi monster yang bahkan kriminal pun takut sebut namanya.
Di balik topeng tengkorak yang menyembunyikan wajahnya, ia memiliki satu tujuan: Menumbangkan Damar Kusuma dan membakar sistem busuk yang telah merenggut segalanya darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak Akar Kebusukan
Malam telah berganti ke fajar, dan Darma kini berada di sebuah kamar sederhana yang tersembunyi di daerah kumuh pinggiran kota. Setelah aksi brutal di pelabuhan, darah dan amarah telah menyatu dalam dirinya. Ia tahu bahwa membunuh tiga preman itu hanyalah permulaan—di balik aksi itu, terselubung sosok yang mengatur bayang-bayang kekejaman di Kota Sentral Raya.
Di ruang kecil itu, Darma duduk di depan meja kayu tua sambil menatap selembar kertas robek dan foto-foto yang pernah ia temukan di gudang pelabuhan. Foto-foto itu, yang diambil oleh salah satu preman dalam kekacauan malam itu, menampilkan ketiga pria itu bersama dengan seorang pria bermuka serius yang tampak sebagai sosok orkestra di balik kekacauan.
Dengan tangan gemetar, Darma merogoh saku jaket tactical miliknya. Ia mengeluarkan ponsel yang telah ia siapkan sejak insiden itu. Di dalamnya tersimpan nomor-nomor kontak yang ia peroleh dari dunia gelap kota—orang-orang yang biasa bekerja di bawah bayang-bayang, para “informan” yang tak peduli apakah kebenaran itu hitam atau putih.
Darma mengetik pesan singkat kepada salah satu kontak lamanya, seseorang yang dikenal dengan nama “Si Manto.” Pesan itu hanya berisi:
"Aku butuh info tentang pria bertato di foto ini. Lokasinya? Identitasnya?"
Tak lama, layar ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk:
"Bisa kupastikan: dia adalah pengurus operasional di salah satu kantor cabang BUMN. Tapi aku nggak bisa beri detail lebih karena risikonya tinggi. Cek di area Pelabuhan Timur, di sebuah gudang tua. Tapi hati-hati, Darma."
Darma mengangguk meskipun tak ada yang melihat. Informasi itu seakan menghidupkan kembali semangat dendam yang selama ini tertahan. Ia tahu bahwa di balik tiga preman itu pasti ada jaringan yang jauh lebih besar, sebuah organisasi bayangan yang menyalurkan uang kotor dan kekuasaan melalui para antek.
Setelah mengirim pesan ke beberapa kontak lainnya, Darma merencanakan langkah berikutnya. Ia mengenakan kembali kostum yang selama ini telah menjadi simbol keputusasaannya—pakaian tactical milik abangnya, trench coat Sinta, topeng tengkorak, serta senjata-senjata yang kini telah menjadi bagian dari identitas barunya. Setiap barang itu mengandung kenangan, namun sekaligus menguatkan tekadnya.
Ia melangkah keluar dari persembunyiannya, menuju titik koordinat yang diberitahukan oleh “Si Manto.” Jalanan Kota Sentral Raya di pagi hari terasa lengang, seolah dunia sendiri turut berduka atas tragedi yang telah terjadi. Darma menyelinap melalui gang-gang sempit, memanfaatkan kegelapan yang masih tersisa sebelum fajar benar-benar menyingsing.
Di sebuah warung kopi kecil yang tampak sepi, Darma duduk di pojok ruangan sambil mengamati pengunjung yang datang sesekali. Di sini, ia berharap menemukan seseorang yang tahu lebih banyak tentang operasi bayangan yang menghubungkan kantor cabang BUMN dengan jaringan kriminal.
Seorang pria paruh baya, berpakaian lusuh namun matanya tajam, duduk di meja sebelah. Darma mengulurkan tangan—bukan untuk menyapa secara hangat, melainkan sebagai isyarat bahwa ia datang dengan maksud serius.
Pria itu, yang dikenalnya sebagai “Pak Suro,” adalah salah satu informan yang pernah bekerja sebagai sopir truk dan sudah lama terjerat dalam dunia bawah. Dengan raut wajah penuh kerut dan pandangan hati-hati, ia melihat Darma dengan seksama.
“Lu cari apa, Nak?” tanya Pak Suro pelan, menyesap kopi hangatnya.
Darma menunduk sejenak, lalu berkata, “Aku butuh tahu siapa yang menyuruh tiga orang itu. Aku tahu mereka hanya anak buah. Aku ingin menemukan akar kebusukan—siapa yang ada di balik semuanya.”
Pak Suro menatap Darma, seolah membaca kegundahan di dalamnya. “Kau harus hati-hati. Orang yang kau cari bukan orang biasa. Mereka punya koneksi tinggi. Tapi… ada rumor, Nak. Katanya, dia sering nongkrong di sebuah kafe dekat pelabuhan. Namanya ‘Kafe Ombak Hitam.’ Kau mungkin bisa cari tahu lebih lanjut di sana.”
Darma mengangguk perlahan. “Terima kasih, Pak Suro. Informasi ini sangat berarti.”
Setelah menyelesaikan minum kopinya dengan cepat, Darma meninggalkan warung itu. Ia merasakan jantungnya berdetak kencang—bukan hanya karena adrenalin, tetapi juga karena keyakinan bahwa hari ini adalah awal dari perburuan yang akan mengubah segalanya.
Tak lama kemudian, Darma tiba di depan sebuah kafe kecil yang terletak di sudut jalan yang kurang terlihat. Lampu neon “Kafe Ombak Hitam” menyala redup, seolah memberi isyarat kepada para pengunjung bahwa di sini, segala sesuatu bisa terjadi tanpa aturan.
Di dalam kafe itu, suasananya remang-remang dan penuh dengan bayang-bayang. Musik jazz yang pelan mengalun di latar, berpadu dengan percakapan lirih para pelanggan yang kebanyakan tampak seperti orang-orang yang tak punya harapan lagi. Darma memilih sebuah meja pojok yang jauh dari mata kamera, dan memesan segelas kopi hitam tanpa gula—sebuah pesanan yang sederhana namun penuh arti baginya.
Tak lama kemudian, seorang wanita muda dengan rambut hitam panjang yang diikat rapi mendekat. Dia duduk di meja Darma dengan sikap ragu, namun mata yang menatap tajam seolah menyatakan bahwa ia tahu lebih dari yang terlihat.
“Nama saya Laila,” ucapnya pelan. “Aku dengar kau sedang mencari informasi.”
Darma menatapnya, matanya yang di balik topeng sembunyi emosi yang mendalam. “Betul,” jawabnya singkat. “Kau tahu sesuatu tentang mereka?”
Laila mengangguk perlahan. “Aku pernah bekerja untuk salah satu perusahaan yang terkait dengan jaringan itu. Tapi, aku harus sangat berhati-hati. Siapa pun yang tahu terlalu banyak bisa saja... hilang.”
Darma menyandarkan tubuhnya, mendengarkan dengan seksama. “Ceritakan, Laila. Aku butuh tahu siapa yang ada di balik pembunuhan keluargaku.”
Laila menatap sekeliling, memastikan tidak ada telinga yang mendengar. “Ada satu nama yang selalu muncul,” katanya dengan suara bergetar karena rasa takut. “Namanya Raden Wijaya. Dia bukan hanya seorang pengusaha, tapi juga memiliki hubungan erat dengan pejabat tinggi dan bahkan beberapa anggota militer.”
Darma terdiam. Raden Wijaya. Nama itu menggema di dalam pikirannya, seolah menantang untuk diungkap. “Bagaimana kau tahu?” tanyanya akhirnya.
Laila menunduk, lalu berkata, “Aku pernah mendengar dari orang dalam. Mereka bilang, Raden Wijaya adalah dalang di balik sejumlah operasi ilegal di kota ini—termasuk pengiriman barang-barang curian dan penyuapan di dalam perusahaan. Konon, dia juga yang memerintahkan para preman itu untuk menyingkirkan keluarga seseorang yang mengancam rahasianya.”
Darma menatap Laila dengan tatapan tajam, seolah mengukir kata-kata itu ke dalam jiwanya. “Kau yakin itu Raden Wijaya?”
Laila mengangguk perlahan. “Aku tidak bisa memberikan bukti, tapi banyak yang bicara. Bahkan, beberapa karyawan di perusahaan itu sempat melihat kotak-kotak uang besar yang dikirim ke sebuah rumah mewah di pusat kota—rumor bilang, itu milik Raden Wijaya.”
Di luar jendela kafe, hujan mulai turun dengan lembut, menambah kesan kesendirian dan keputusasaan. Darma merasakan kembali gelombang duka dan kemarahan. Setiap tetes hujan seolah mengingatkannya pada tetesan air mata yang pernah mengalir pada hari pemakaman keluarganya.
“Aku akan cari tahu lebih jauh,” kata Darma tegas. “Laila, kau sudah membantu. Tapi aku butuh lebih dari ini. Jika Raden Wijaya yang ada di balik semuanya, aku harus tahu seluruh detailnya. Aku butuh bukti, daftar nama, kontak… semua yang kau bisa kumpulkan.”
Laila menunduk lagi, wajahnya tampak serius. “Aku akan coba bantu, Darma. Tapi kau harus ingat, jalan ini berbahaya. Raden Wijaya tidak main-main. Dia memiliki pengaruh besar dan musuh-musuh yang siap membunuh siapa saja yang mengganggu bisnisnya.”
Darma menatap Laila dengan mata yang berkilau penuh tekad. “Aku sudah kehilangan segalanya, Laila. Aku tidak peduli lagi. Aku akan mencari sampai ke akar-akarnya. Dan jika perlu, aku akan membuat mereka semua merasakan penderitaan yang sama seperti yang telah mereka timbulkan pada keluargaku.”
Setelah percakapan itu, Darma meninggalkan kafe dengan langkah mantap. Hujan yang turun semakin deras, seolah mengiringi perjalanan balas dendamnya.
Dalam perjalanan ke titik berikutnya, Darma melintasi jalan-jalan yang lengang. Ia mengunjungi beberapa tempat yang pernah menjadi pusat aktivitas gelap, mengumpulkan potongan-potongan informasi yang ia dapatkan dari para informan.
Di sebuah gang sempit di pusat kota, ia bertemu dengan “Si Manto” lagi—orang yang dulu telah memberinya petunjuk. Kali ini, dalam sebuah lorong yang remang, Si Manto memberitahu bahwa Raden Wijaya memiliki kantor rahasia di sebuah gedung tinggi yang terletak di kawasan elit.
“Gedung itu bernama Menara Permata,” bisik Si Manto dengan suara serak, seolah takut akan terdengar oleh telinga yang salah. “Di sana, Raden Wijaya mengatur semua urusan kotor. Tapi jangan harap kau akan bisa masuk dengan mudah. Keamanan di sana ketat.”
Darma hanya mengangguk. Semua petunjuk itu kini tersusun dalam benaknya. Setiap informasi menguatkan tekadnya: ia harus menembus tirai kekuasaan yang selama ini melindungi Raden Wijaya dan rekan-rekannya.
Sambil melanjutkan perjalanan, Darma mengingat kembali setiap detik ketika keluarganya diambil darinya. Suara tawa Dwi, tatapan lembut Sinta, bahkan nasihat bijak orang tuanya—semua itu sekarang menjadi bahan bakar yang mengobarkan api balas dendam dalam dirinya.
Ia tahu bahwa jalan yang akan ditempuhnya penuh dengan rintangan dan bahaya. Namun, ia juga tahu bahwa ia tidak bisa kembali ke masa lalu. Keluarganya sudah pergi, dan hidupnya kini hanya tersisa untuk membalas dendam.
Setibanya di sebuah pertemuan rahasia di salah satu sudut kota, Darma berkumpul dengan beberapa orang yang pernah menjadi bagian dari jaringan bawah tanah. Mereka, seperti dirinya, pernah dikhianati oleh sistem yang korup dan bersedia membantu dengan imbalan janji balas dendam terhadap mereka yang telah menyiksa banyak nyawa.
Di ruangan yang redup, Darma duduk bersama tokoh-tokoh yang mengenal dunia gelap itu dengan baik. Salah satu di antaranya, seorang mantan polisi bernama Hendra, berbicara dengan suara berat.
“Kau ingin Raden Wijaya? Dia bukanlah seorang penjahat kecil. Dia adalah raja di kerajaan bayang-bayang ini. Jika kau ingin mendekatinya, kau harus menyiapkan dirimu. Banyak orang telah mencoba, tapi hampir tak ada yang kembali hidup.”
Darma menatap Hendra dengan tatapan penuh tekad. “Aku sudah mencoba hidup tanpa mereka. Tapi dunia ini telah merenggut segalanya dariku. Aku tidak punya pilihan lain kecuali menghancurkan mereka semua, satu per satu.”
Percakapan itu berlangsung larut, dengan setiap orang menyampaikan informasi, peta, dan petunjuk tentang lokasi dan operasi Raden Wijaya. Darma mencatat setiap kata dengan hati-hati.
Di antara desas-desus, ada kabar bahwa suatu malam nanti akan ada pertemuan rahasia di gedung Menara Permata. Itulah kesempatan yang ditunggu-tunggu Darma.
Ia menghabiskan sisa hari itu dengan bersiap, memperkuat persenjataannya, dan memeriksa kembali semua peralatan—cerulit, shotgun, kostum tactical, dan tentu saja, liontin yang masih menggantung di lehernya. Liontin itu selalu mengingatkannya pada kasih sayang yang hilang, namun juga menjadi simbol janji yang harus ditepati.
Malam semakin larut ketika Darma akhirnya meninggalkan tempat pertemuan rahasia itu. Di perjalanan, hujan kembali turun, membasahi jalanan dan menciptakan suasana muram yang seakan menyatu dengan derita hatinya.
Di dalam mobil yang disewa dengan identitas palsu, Darma duduk sendirian, memandangi lampu-lampu kota yang berkilauan. Di balik kaca, bayang-bayang masa lalu terus menghantuinya.
Pikirannya melayang ke wajah-wajah keluarganya. Ia membayangkan Sinta yang selalu tersenyum hangat, Dwi yang riang, dan kedua orang tuanya yang penuh kebijaksanaan. Semua itu kini hanya tinggal kenangan.
Namun, di dalam hatinya, tekad itu semakin mengeras. Darma tahu bahwa setiap tetes darah yang telah ia tumpahkan harus dibalas dengan darah yang lebih banyak. Ia harus menemukan siapa dalang di balik semua ini.
Meski ia telah menghapus wajah ketiga preman itu dari dunia, pertanyaan tentang siapa yang menyuruh mereka terus menghantuinya. Informasi yang didapat dari Si Manto dan Laila hanyalah permulaan.
Darma membuka buku catatan kecil, tempat ia menuliskan setiap petunjuk, setiap nama, setiap alamat yang pernah ia dengar. Di sana tertulis ratusan nama—beberapa tidak berguna, namun ada juga yang mengarah pada Raden Wijaya.
Sambil menggelengkan kepala, Darma merasakan air mata kembali mengalir. Namun kali ini, air mata itu bukan hanya karena kesedihan, tetapi juga karena amarah yang menggebu-gebu.
“Hari ini, aku akan menemukan kebenaran. Aku akan menyusup ke dalam Menara Permata dan melihat sendiri siapa yang menyembunyikan kotoran ini,” tulisnya dengan tinta hitam, kemudian menandai satu nama dengan lingkaran merah.
Di akhir malam yang panjang itu, Darma mengunci bukunya dan menyimpan semua informasi ke dalam saku jaket tacticalnya. Ia tahu bahwa pagi esok akan menjadi awal dari babak baru—babak di mana ia akan menembus benteng kekuasaan yang selama ini melindungi Raden Wijaya.
Dengan wajah tegas yang terselip di balik bayang-bayang, ia memejamkan mata sejenak. Di antara keremangan, ia mendengar bisikan samar dari masa lalu: suara-suara yang pernah ia cintai, yang kini mengabarkan bahwa keadilan harus ditegakkan.
“Hidupku hanyalah bayang-bayang dari apa yang pernah ada. Tapi malam ini, aku mulai membangun masa depan. Aku akan menggali kebenaran hingga ke akar, dan jika perlu, aku akan menghapus semua noda kejahatan dari muka bumi.”
Darma membuka mata dengan tekad yang menyala-nyala. Ia menutup matanya kembali dan menarik napas panjang, siap untuk menghadapi bahaya yang menantinya di gedung Menara Permata.
Meski jalan di depan dipenuhi kegelapan dan bahaya, ia tahu satu hal: Darma tidak akan berhenti sampai keadilan tercapai.
Di balik segala luka dan derita, darah keluarganya telah menuliskan janji di dalam jiwanya—janji untuk terus mencari, bertanya, dan membalas dendam kepada setiap jiwa yang terlibat dalam kejahatan ini.
Perjalanan Darma masih panjang. Dan malam itu, di ruang sepi mobil sewaan, ia menatap ke arah cakrawala dengan mata penuh harapan dan amarah yang membara, menyadari bahwa setiap langkah yang diambilnya mendekatkannya kepada kebenaran yang selama ini tersembunyi.
Dunia mungkin telah hancur, tetapi dari reruntuhan itulah, Darma akan membangun kembali keadilan—meskipun harus melalui jalan penuh darah dan air mata.