seorang kapten polisi yang memberantas kejahatan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aldi malin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
jejak lama yang belum mati
Di bawah terik matahari siang, pangkalan ojek di ujung Jalan Pandan mulai ramai. Motor berjajar, helm digantung asal, dan suara tawa lepas bercampur dengan suara notifikasi aplikasi ojek online yang tak henti-henti.
Rendi menggerutu sambil menatap layar ponselnya. "Sial... kok HP gue jadi tegang gini, ya? Layarnya beku, kayak hati mantan."
Erik yang duduk santai sambil ngopi menyahut cepat. "Lem biru aja tuh, Ren. Atau lempar sekalian, beli yang baru. Kelar urusan."
"Sadis amat, bro. Hidup susah kayak gini mah... beli pulsa aja mikir, apalagi beli HP baru." Rendi menghela napas, frustasi.
Erik tersenyum penuh kemenangan. "Tenang, Ren. Kali ini gue yang menang putaran. Maxwin, bos!"
Ia mendadak berdiri dan menepuk meja plastik pangkalan. "GILA! SEPULUH JUTA!"
Anak-anak ojol langsung mengerumuni Erik. Sorak-sorai pecah seperti timnas baru saja menang adu penalti.
"Wah cair, nih! Yuk, traktiran dong!"
"Erik, beli makanan! Rendi, antar gue ke ATM, cepet!"
Setelah kembali dari ATM, Erik menenteng kantong plastik penuh makanan dan minuman.
"Nih, janji gue lunasin!" katanya sambil menyodorkan kotak kecil ke Rendi.
"HP baru, harga sejuta lima ratus. Nggak lemot, nggak bikin emosi, dan bisa ngorder tiga aplikasi sekaligus."
Rendi senyum-senyum nggak percaya. "Wah... makasih banget, bro. Serius ini?"
Belum sempat mereka duduk, Pak Jaka datang. Semua mendadak diam. Seperti biasa, kehadiran senior yang satu itu bikin suasana jadi tegang.
"Wah, banyak makanan. Siapa yang ulang tahun, nih?" tanya Pak Jaka sambil melirik kantong plastik di tangan Erik.
Angga, yang duduk di ujung, nyengir. "Bukan ulang tahun, Pak. Ini si juragan baru dapet durian runtuh."
Pak Jaka menatap Erik tajam. "Kamu main slot juga, Ren?" tanyanya.
Rendi langsung gelagapan. "Enggak, Pak! Bukan saya. Itu Erik yang main."
Pak Jaka mengernyit. "Bukannya situs-situs itu udah diblokir sama pemerintah?"
"Mana ada, Pak. Nih liat..." Erik dengan santainya memperlihatkan situs yang baru saja memberinya rezeki nomplok.
Pak Jaka mendekat, matanya menyipit. Apa yang dilihatnya membuat wajahnya berubah.
Situs itu... aktif. Dan tidak asing.
Erik masih tersenyum bangga saat memperlihatkan layar ponselnya.
"Ini situs dari dulu terpercaya, Pak. Kalau win langsung cair. Mau main slot, togel, apa aja—bayarannya cepet. Nggak kayak situs abal-abal. Siapa sih yang nggak kenal Jakarta Sloot?" katanya penuh percaya diri.
Beberapa ojol lain manggut-manggut. Bahkan Angga ikut nyeletuk, "Betul tuh, Pak. Temen saya ada yang menang seratus juta, nggak nyampe sejam langsung masuk rekening. Ngeri-ngeri sedap emang, tapi asli bayar."
Pak Jaka menatap tajam ke arah layar. Sesuatu dalam benaknya mengusik.
"Jakarta Sloot, ya?" gumamnya lirih. Matanya masih tertuju pada logo situs itu—terlihat profesional, dengan animasi kilau dan suara gemerincing khas kasino. Tapi bukan itu yang menarik perhatian Pak Jaka.
"Erik... kamu tahu nggak, situs itu sudah resmi diumumkan diblokir sejak tahun lalu?" tanyanya perlahan.
Erik mengangkat bahu. "Mungkin udah pindah domain, Pak. Tapi tetap sama, pelayanannya bagus. Saya juga tahu dari grup Telegram, banyak bocoran situs baru tiap minggu."
Pak Jaka menyipitkan mata. "Telegram, ya...?" Ia mencatat sesuatu di ponselnya. Suaranya kini berubah serius. "Kalian semua hati-hati. Situs ini... punya sejarah panjang. Dan orang di baliknya—bukan orang biasa."
Anak-anak ojol mulai saling pandang. Suasana berubah tegang.
"Kalian pikir ini cuma soal judi online?" lanjut Pak Jaka. "Dulu, dika dan Kapten Merlin, pernah hampir terbunuh gara-gara nyelidikin jaringan kayak begini."
Rendi menelan ludah. "Pak... maksudnya ini berbahaya?"
Pak Jaka mengangguk pelan. "Lebih dari itu, Ren. Kalau situs ini masih aktif... berarti Chen belum tertangkap."
Pak Jaka menurunkan kacamatanya, lalu memfoto layar ponsel Erik dengan gerakan cepat dan rapi. Tangannya cekatan seperti biasa, walau umurnya sudah tak muda lagi. Ia membuka aplikasi WhatsApp, memilih kontak bernama "Kapten Merlin - Darurat", dan mengirimkan foto itu dengan pesan singkat:
> "Situs aktif. Jakarta Sloot. Diduga milik Chen. Lokasi: Pangkalan Ojol, Pandan Timur. Perlu penyelidikan segera."
Beberapa detik kemudian, centang dua biru muncul. Lalu balasan masuk.
> Kapten Merlin: "Terima kasih, Pak Jaka. Saya akan tindak lanjuti. Jaga anak-anak di sana. Jangan ada yang coba-coba login situs itu lagi. Itu pintu jebakan."
Pak Jaka menarik napas panjang. Ia tahu betul, jika Merlin sudah menanggapinya langsung, maka situasinya serius. Sangat serius.
Pak Jaka menyimpan ponselnya ke saku jaket, lalu berdiri tegak di tengah pangkalan. Wajahnya serius. Tatapannya tajam menyapu semua ojol yang masih terlihat santai.
"Dengar, semua!" suaranya menggelegar, membuat percakapan langsung terhenti.
"Mulai hari ini, jangan ada yang coba-coba buka situs yang berbau judol, paham?"
Beberapa anak ojol saling melirik, ada yang langsung menyembunyikan ponsel ke dalam tas.
"Ini serius," lanjut Pak Jaka. "Kepolisian pusat sedang menyelidiki kasus ini. Kalau mereka razia di lapangan dan ketahuan kalian buka situs kayak gitu—langsung ditangkap. Tanpa tebusan. Nggak ada cerita dibebaskan. Sekali masuk, kalian dianggap bagian dari jaringan."
Rendi menelan ludah. Erik yang tadi semangat mulai menunduk.
"Kalau masih nekat, jangan harap gue bela. Bahkan kalau kalian teman sendiri, gue nggak bakal bantu."
Suasana pangkalan mendadak hening. Hanya suara motor lewat dan desau angin yang terdengar.
Pak Jaka menarik napas, lalu melunak sedikit. "Gue ngomong kayak gini karena gue sayang sama kalian. Kita cari uang buat makan, bukan buat masuk bui."
Ia menepuk bahu Erik pelan. "Kalau udah rejeki, pasti dapet. Tapi jangan lewat jalan gelap. Terlalu banyak nyawa yang hilang karena ini."
Erik hanya bisa mengangguk. “Iya, Pak... saya ngerti sekarang.”
Pak Jaka kemudian melangkah pergi, meninggalkan kesunyian yang dalam di pangkalan.
Setelah menerima pesan dari Pak Jaka, Kapten Merlin tak menunggu lama. Ia segera memanggil anak buah ke markas kecil di sisi barat kota—markas yang sengaja disamarkan seperti rumah kontrakan biasa.
“Razia harus dilakukan serentak,” tegasnya. “Sasar semua titik rawan—warnet, pangkalan ojol, pos ronda, bahkan warung kopi yang ada WiFi gratis.”
Anak buahnya langsung bergerak cepat, menyebar seperti bayangan ke segala penjuru kota. Sementara itu, perintah rahasia dikirimkan ke beberapa kantor polisi daerah: Operasi Senyap – Target: Situs Judi Online dan Pengguna Aktif.
Dalam waktu kurang dari enam jam, kota mendadak berubah. Sirene terdengar di berbagai sudut. Polisi menyamar, penggrebekan dilakukan tanpa ampun. Hasilnya mencengangkan.
Di sebuah warung kopi, dua mahasiswa tertangkap tangan tengah memasang togel sambil tertawa-tawa. Di halte pinggiran, seorang ibu rumah tangga ketahuan bermain slot di ponsel sambil menunggu jemputan anaknya. Bahkan seorang sopir angkot tua ditemukan sedang top-up saldo akun Jakarta Sloot melalui aplikasi dompet digital.
Pangkalan ojol pun tak luput. Beberapa yang nekat tetap login, kini digelandang masuk ke mobil patroli, wajah pucat pasi.
---
Di kantor polisi pusat, ruangan interogasi diubah menjadi aula terbuka. Puluhan orang yang tertangkap duduk berjajar. Mahasiswa, pekerja harian, ibu rumah tangga, hingga bapak-bapak pensiunan. Semuanya tampak muram, menunduk tanpa suara.
Kapten Merlin berdiri di depan mereka, tubuhnya tegak meski usia kandungan sudah memasuki tiga bulan.
Ia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. “Saya tahu... sebagian dari kalian cuma iseng. Sebagian lagi karena terdesak kebutuhan. Tapi iseng dan terdesak bukan alasan untuk menghancurkan masa depan kalian sendiri.”
Suasana hening. Tak ada yang berani menyela.
“Semuanya dimulai dari kita. Kalau kita rusak, anak-anak kita ikut rusak. Kalau keluarga rusak, lingkungan rusak. Dan kalau lingkungan rusak, jangan heran kalau negara ikut hancur.”
Beberapa orang mulai meneteskan air mata.
Merlin melanjutkan, nadanya lebih lembut. “Judi itu tak pernah menang. Bahkan saat kalian ‘menang’, sesungguhnya kalian sedang kalah. Kalah dalam disiplin, kalah dalam nilai hidup, dan kalah dalam masa depan.”
Ia menyerahkan selembar surat kepada petugas. “Ini surat peringatan. Tidak semua akan kami tahan. Tapi satu pelanggaran lagi, tidak akan ada toleransi.”
Satu per satu dari mereka digiring keluar, masih dalam keadaan shock. Di luar, anak buah Merlin mulai mengamankan perangkat yang disita—semua akan ditelusuri, dilacak, hingga ke sumber utama.
Dan Kapten Merlin tahu, ini baru permulaan.
Di tengah kesibukan razia dan pemeriksaan, Kapten Merlin kembali ke ruang kerjanya yang sunyi. Di dinding terpampang peta besar dengan tanda-tanda merah dan benang yang saling terhubung, menyerupai jaring laba-laba informasi. Di tengahnya, satu nama besar: CHEN.
Namun hari itu, perhatian Merlin tertarik pada titik kecil di sudut bawah peta, dihubungkan oleh garis baru yang ditarik menggunakan pena merah: S-BG-01.
Ia duduk di depan laptop, membuka file terenkripsi hasil penyadapan dari komunikasi digital jaringan Chen. Di antara ratusan data acak, satu nama muncul berulang kali.
> “...tidak bisa jalan tanpa persetujuan BG...”
“...BG bilang tunda dulu pengiriman via Batam.”
“...Chen cuma boneka. BG yang pegang kendali.”
Merlin memijit pelipis. BG. Bayangan Gelap. Atau... Si Bayangan?
Ia membuka folder khusus berlabel Unknown Operator. Di sana ada satu foto hasil tangkapan kamera CCTV yang sudah diperbesar dan dimurnikan AI. Wajah samar, topi hoodie, masker. Tapi matanya... dingin. Tak berkedip. Seolah tahu dia sedang diawasi.
“Siapa kamu sebenarnya?” gumam Merlin.
Reno masuk membawa laporan hasil razia. “Ini daftar IP yang terhubung ke situs Jakarta Sloot dalam 48 jam terakhir,” katanya. “Mayoritas dari jaringan lokal... tapi ada satu yang aneh.”
Merlin menoleh cepat. “Yang mana?”
Reno membuka halaman terakhir laporan. “Ada koneksi langsung dari server luar negeri—dari kawasan Pasifik Selatan. Tapi data usernya dikunci dari dalam. Tak bisa diakses lewat jalur biasa.”
Merlin membeku sesaat. “Pasifik Selatan...” Suaranya merendah. “Dulu, Chen pernah punya anak buah di wilayah itu. Namanya... Ghost Operator. Tapi tak pernah bisa dibuktikan.”
Reno menatap Merlin tajam. “Kamu pikir... dia Si Bayangan?”
Merlin bangkit dari kursinya. “Aku nggak tahu. Tapi satu hal pasti—Chen bukan otak utama jaringan ini. Dia hanya perantara. Dan seseorang jauh lebih berbahaya sedang mengendalikan permainan dari balik layar.”