Laki-laki asing bernama Devan Artyom, yang tak sengaja di temuinya malam itu ternyata adalah seorang anak konglomerat, yang baru saja kembali setelah di asingkan ke luar negeri oleh saudaranya sendiri akibat dari perebutan kekuasaan.
Dan wanita bernama Anna Isadora B itu, siap membersamai Devan untuk membalaskan dendamnya- mengembalikan keadilan pada tempat yang seharusnya.
Cinta yang tertanam sejak awal mula pertemuan mereka, menjadikan setiap moment kebersamaan mereka menjadi begitu menggetarkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Evrensya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
I Need You (2)
Satu jam lagi tersisa untuk jam makan siang. Adalah waktu bagi seluruh karyawan untuk memulihkan tenaganya, mencicipi makan siang yang tersedia pada kantin kantor, ada juga yang membawa bekalnya sendiri, dan beberapa diantaranya lebih memilih mencari makan di luar sana, untuk bersantai sejenak dari penatnya pekerjaan.
Namun berbeda dengan Anna, jangankan memikirkan makan siangnya, yang di kepalanya saat ini adalah tugas memasak makan siang untuk Boss, yang katanya sangat sensitive terhadap cita rasa makanan.
Ujian apa lagi yang harus Anna lewati kali ini, apakah menjadi pelayan Boss harus serba bisa dan tanpa cela? mustahil. Walaupun Anna sering memasak makanan Prancis untuk Ibunya di rumah, tapi ia tidak tau apakah sama dengan selera CEO Devaradis itu. Benar-benar sebuah tantangan yang berat. Mau tidak mau, bisa tidak bisa, harus di kerjakan dengan sempurna. Itulah aturannya.
Lagi pula tadi, saking antusiasnya si wanita cupu itu saat memberikan beberapa kalimat kekuatan untuk menghibur sang Boss yang sedang dalam keadaan kacau, ia terlanjur mengikrarkan diri untuk tunduk dan setia kepada Devaradis. Lagi dan lagi, Anna telah masuk dalam lingkaran jebakan sang CEO.
Baiklah. Tuntaskan pekerjaan yang tersisa, baru kemudian memikirkan soal menu makan siang Boss. Anna terlebih dahulu pergi ke ruang admin untuk mengambil berkas-berkas yang akan ia serahkan kepada Menejer.
"Kenapa lama sekali datangnya!" tegur Nila si pemilik pipi cubby itu ketika melihat si wanita cupu yang baru muncul dari balik pintu
"Maaf, ada panggilan mendadak dari Boss, tadi." Jawab Anna.
"Oh, oke. Segera antar ini ke ruang Menejer Yoga di lantai lima. Awas jangan sampai ada satu kertas pun yang hilang, atau—"
"Keberuntungan ku tidak akan hilang," timpal Anna tidak mau membiarkan si pipi Cubby itu berucap semaunya.
"Ya sudah, sana!" wanita berwajah imut itu nampak kesal ketika Anna menimpalinya dengan nada ketus.
Anna segera mengambil benda menumpuk yang jumlahnya lumayan banyak dan pasti berat. Tanpa perlu basa basi lagi, Anna segera pergi membawa tumpukan berkas yang ada di tangannya, untuk di antarkan ke lantai lima tempat sang Menejer berada, seperti yang di katakan Nila.
Kini, Anna berdiri di depan pintu lift, menunggu pintu berwarna silver itu terbelah. Sesekali ia merasa begitu cemas karena waktu cepat berjalan, sedangkan pekerjaannya masih banyak yang tertunda. Apakah ia bisa menyelesaikan tugas ini tepat waktu dan tidak mengecewakan Boss?
Ting! Pintu lift terbuka. Memperlihatkan seorang wanita yang begitu di kenali Anna, Supervisor Zoya. Wanita busuk ini pasti akan membuat masalah lagi untuknya. Dan benar saja, ketika wanita kurus tinggi itu keluar dari dalam ruangan sempit berbentuk kubus, ia tersenyum begitu senangnya ketika menemukan keberadaan Anna, jelas bukan senyuman yang baik.
"Jadi kau tidak di pecat ya?" tanya nya dengan nada meremehkan.
"Aku mungkin akan disini lebih lama dari yang kau harapkan." Sahut Anna menyombongkan diri. Menyombongkan diri di depan orang yang selalu merendah orang lain adalah perbuatan yang benar.
Hal tersebut berhasil membuat wanita yang berdiri di garis pintu lift itu geram. Zoya kemudian membuat langkah maju dan dengan sengaja menabrakkan dirinya pada tubuh Anna dengan kasar, bahkan sekuat tenaga, hingga semua kertas yang ada di tangan si pelayan Boss jatuh berserakan.
"Sorry, aku terburu-buru." Ucapnya dengan nada ejekan, sambil menginjakkan kakinya di atas kertas-kertas putih yang menutupi lantai. Iapun pergi begitu saja tanpa peduli bagaimana reaksi Anna.
Anna meremas tangannya, menggertakkan gigi gerahamnya, sorot matanya pun berubah penuh emosi. Ia sangat tidak suka seseorang mempermainkan nya, memangnya apa salahnya? menjadi pegawai baru yang di berikan tugas melayani Boss, apakah begitu membuat wanita bertubuh jangkung itu begitu irinya?
Anna tipe orang yang tidak bisa diam saja di perlakukan seperti itu. Ia berbalik mengejar Zoya dengan setengah berlari, tangan panjangnya bergerak cepat menarik kemeja wanita itu dengan kasar. Tak cukup hanya dengan satu kali tarikan saja, Anna menariknya berulang kali dengan tenaga yang lebih kuat, hingga semua kancing kemeja wanita itu terbuka, dan luruh jatuh ke lantai satu persatu. Kemeja yang kini terbuka lebar itu menampakkan bagian depan tubuh Zoya yang hanya di tutup oleh bra.
"Sorry, tidak sengaja." Balas Anna, kemudian pergi begitu saja, tanpa peduli dengan reaksi wanita itu. Pembalasan yang setimpal sudah ia berikan.
"Dasar, wanita jalang!" Zoya berteriak marah sambil menyatukan kedua belah kemejanya yang terbuka, mengapit nya dengan kedua tangannya. Kemudian iapun beranjak pergi.
Susah payah Anna meraih kertas-kertas yang berhamburan di lantai, lalu mengumpulkannya jadi satu. Harus segera di bereskan agar tidak menghalangi jalan orang yang akan lewat. Meskipun pada akhirnya ada beberapa orang datang untuk naik lift, namun tidak ada satupun yang berniat membantunya, semua terlihat sibuk.
Waktu terbuang begitu saja, belum lagi ia harus menyusun kembali semua berkas ini sesuai dengan urutan semula. Tidak mungkin ia membawa berkas yang kacau ini ke meja Menejer, tentu ia akan di salahkan karena ceroboh dalam menjalankan tugasnya. Untungnya, tidak membutuhkan waktu lama bagi Anna untuk menyusun semuanya kembali sesuai urutan, di atas anak tangga darurat yang sepi ia menyendiri membereskan tugasnya. Baru kemudian melanjutkan perjalanannya menggunakan tangga untuk menghindari kejadian serupa, karena di lift terlalu banyak orang yang berlalu lalang.
Anna membawa benda yang menumpuk dan berat itu dengan susah payah, menaiki anak tangga satu persatu yang ketika ia menengok ke atas, mampu membuat semangatnya ciut seketika. Entah berapa anak tangga lagi yang harus ia daki demi mencapai ruang lantai lima yang akan ia tuju. Sedangkan kedua tangannya sudah bergetar menyangga barang bawaannya.
Sesampainya di ruangan kepala Manager, Anna langsung menyerahkan setumpuk kertas yang bawanya ke atas meja berwarna hitam berkilau yang di atasnya berjejer beberapa benda penting milik pak Yoga Prasetyo- kepala manager. Namanya jelas tertera pada papan nama di atas meja yang terbuat dari akrilik, persis seperti yang ada di meja milik CEO.
"Ini pak, berkas dari ruangan admin," kata Anna kepada pak Yoga yang sedang terlihat sibuk di kursinya.
Tanpa menjawab, pak Yoga meraih berkas-berkas itu dan memilah beberapa lembar ke tempat yang berbeda setelah memeriksanya.
"Kenapa harus kamu? kemana Jay?" tanya pak Yoga basa-basi.
"Hari ini saya yang bertugas menggantikan nya," jawab Anna dengan percaya diri.
"Oh ya. Kau pasti sudah melakukan tugasmu dengan baik, kalau di lihat dari waktu yang mendekati tengah hari tapi kau masih aktif bekerja."
Pasti yang pak Yoga maksud adalah, Anna tidak langsung di pecat seperti issue yang tengah bergulir di kantor. "Iya pak, saya di terima dengan baik untuk bekerja disini oleh Boss."
"Bagus. Tapi kenapa berkasnya tidak di fotocopy dulu sebelum di antar kemari?"
"Eh? maaf pak, saya telah melewatkan tugas yang begitu penting." Anna buru-buru meminta maaf atas ketidak-tahuannya. Meskipun ia akhirnya menyadari, ternyata Nila sengaja tidak memberikan nya perintah untuk melakukan itu. Wanita mungil menyebalkan itu benar-benar menguji kesabaran nya.
"Tidak apa-apa, itu adalah kekeliruan yang biasa di lakukan oleh pekerja baru." Kata Menejer Yoga begitu bijak.
"Terimakasih pak, saya akan kembali lagi ke bawah untuk mengerjakan tugas yang saya lalaikan."
"Bagus. Fotocopy lah beberapa lembar dokumen penting ini, dan serahkan padaku salinannya, dokumen yang asli nanti kau berikan pada Boss. Lalu, sisanya harus di jilid semua dengan teliti, untuk menghindari kekeliruan seperti kertas yang tertukar." Perintah pak Yoga sambil memberikan benda yang di maksud kepada Anna. Setelah memilih berkas mana yang harus di fotocopy, dan berkas mana yang harus di jilid, lalu di pisahkan menggunakan map tebal.
"Baik pak, akan di kerjakan sesuai dengan perintah anda." Anna menerimanya dengan senyum formalitas.
"Tapi apa kau bisa memakai mesin fotocopy sendiri? kau harus tahu bagaimana memakainya agar tidak selalu mengandalkan orang lain. Sebagai office girl kau harus bisa hampir segala hal." Terang pak Yoga.
"Saya mempelajari sesuatu lebih cepat dari orang biasanya," Anna meyakinkan.
"Semangat mu luar biasa." Puji pak Yoga.
Syukurlah, ternyata pak Yoga tidak semenyeramkan jabatan yang di pegangnya sebagai tangan kanan CEO. Gaya bicaranya ramah dan hangat. Dia seperti sosok orang tua yang sangat mengayomi. Senang sekali.
Anna bergegas keluar dari ruangan Menejer, lalu dengan setengah berlari ia mendatangi lift yang lagi-lagi sedang on. Dari pada harus menunggu, ia beralih ke tangga darurat. Ini adalah jalan pintas paling aman dalam kondisi genting. Karena selain untuk menghindari masalah yang mungkin akan terjadi, semacam gojlokan dari para senior. Juga karena ruang service letaknya tepat di bawah tangga darurat pada lantai pertama. Jadi ia tidak perlu berjalan memutar, melewati ruang kerja bersama yang di huni oleh para serigala itu.
Di ruang service, Anna bertemu lagi dengan GA yang masih berjaga disana. Meskipun raut wajahnya tak ramah, tapi pria yang enggan tersenyum itu mau mengajari Anna bagaimana cara menggunakan alat fotocopy dan juga cara menjilid dokumen.
Sejurus kemudian...
Anna sudah sampai di lantai lima, tentu saja masih menggunakan tangga darurat, yang hampir mematahkan sendi lututnya. Sedangkan telapak kakinya sudah tak lagi berasa apa-apa, mati rasa. Tapi Anna tidak memperdulikan nya, yang penting pekerjaannya tuntas.
"Ini pak, sudah saya lakukan sesuai dengan yang anda inginkan." Anna dengan senang hati menyerahkan tumpukan barang bawaannya, kembali ke atas meja Menejer Yoga.
Meskipun Anna dalam keadaan lelah yang mulai melemahkan beberapa bagian tubuhnya, termasuk detakan jantungnya yang terasa berat, dan juga nafas yang tersendat. Sebelum memasuki ruangan Menejer, Anna sudah terlebih dahulu menyiapkan diri untuk tetap bersikap profesional, dengan memasang ekspresi normal.
"Bagus." Pak yoga memeriksa berlebih dahulu kertas-kertas itu, ada beberapa yang di bubuhkan tanda tangannya. "Kalau begitu segera antarkan yang ini ke ruangan Boss."
"Baik pak." Anna menerima berkas yang di sodorkan padanya. Setelah pamit, iapun keluar.
Dan saat ini, posisi Anna sedang menempel pada dinding lift khusus karyawan untuk naik ke lantai tujuh. Ia sudah tak kuasa menggunakan tangga walau hanya naik dua tingkat lagi. Sebuah map berisi berkas terlihat terapit pada lengan kirinya, yang akan ia serahkan kepada Boss seperti yang di perintahkan oleh pak Yoga. Anna bergegas keluar ketika pintu lift sudah terbuka. Anna berlari kecil menuju ruangan CEO yang pintunya sudah terlihat jelas dari sini.
"Saya datang!" seru Anna dengan nada tinggi, dari depan pintu ruangan CEO. Tidak lagi masuk tanpa suara seperti yang pernah dia lakukan sebelumnya. Agak konyol memang.
"Masuk!" sahut sang pemilik ruangan yang ada di dalam.
Anna segera melepas sepatunya, kemudian membuka pintu dan masuk ke dalam.
"Saya membawakan berkas ini dari kepala Menejer Yoga." Lapor Anna.
Devan mengalihkan pandangannya dari layar laptopnya menuju berkas yang di bawa Anna, "letakkan di meja!" titahnya.
"Baik," Anna pun melakukan apa yang di perintahkan Boss nya.
"Ini berkas apa?" tanya Devan dengan mimik wajah serius.
"Eh?!" Anna kaget ketika mendapatkan pertanyaan seperti itu, memangnya karyawan wajib tau apa isi berkasnya. Atau memang Boss sedang mengujinya. Apapun itu, yang jelas Anna wajib menjawabnya sekarang.
"Ini adalah berkas yang berisi kontrak kerja yang harus anda tanda tangani. Dan juga disini ada hasil laporan penjualan bulan ini pada seluruh pusat swalayan di bawah naungan perusahaan. Dan—" Anna tak melanjutkan.
"Apa lagi?"
"Itu juga laporan tentang beberapa masalah yang ada di perusahaan."
"Katakan!"
"Huh?!" Anna merasa ragu untuk menjabarkan, karena ia ragu apakah ini jebakan atau tidak. Bagaimana jika ia di tuduh telah mengintip rahasia perusahaan, bukankah itu adalah pelanggaran etika yang berat.
"Jika kau tidak bisa menjawab, kau di pecat." Devan mulai mengeluarkan ancaman.
"Dasar manusia plin-plan, baru tadi dia mengatakan kalau aku beruntung ada disini, bahkan dia memberikan aku semangat bekerja dengan begitu baiknya. Sekarang sudah mengeluarkan kata pecat saja. Baiklah meskipun ini adalah bentuk ujian, aku akan menjawabnya." Anna menatap Devan dengan pandangan yang nampak kesal.
"Itu berisi laporan pengembalian investasi yang harus anda setujui, karena group Yorishima telah resmi membatalkan kontrak kerjasama nya untuk proyek wedding hall, yang bertempat di resort diamond dome— yang ada di bawah naungan Devaradis."
"....."
"Disitu juga terdapat laporan lengkap yang berisi informasi data perusahan lawan beserta bukti penjiplakan desain utama milik Devaradis yang di curinya, lebih tepatnya seseorang telah menjual desain itu padanya, dan masih di telusuri siapa pelakunya. Jadi, untuk launching produk terbaru Devaradis pada musim panas mendatang di perkirakan akan gagal. Termasuk perkiraan kerugian yang akan di alami perusahaan. Juga tentang seseorang yang memanfaatkan keadaan ini untuk menekan beberapa pemegang saham, agar mereka menjual saham dengan harga murah. Devaradis di ambang kehancuran."
Untung saja Anna sempat membacanya tadi, ketika hendak membenarkan urutan kertas yang berjatuhan di depan lift, akibat ulah Zoya. Berkat itu, sekarang Anna bisa menjawab dengan lancar.
Devan manggut-manggut sambil menahan senyum puas mendengar jawaban yang di berikan oleh wanita cupu ber-otak cerdas ini. "Kau telat lima belas menit." Tunjuk Devan dengan pen nya. Mengalihkan topik ke arah yang lain.
"Ehh? Jawabanku di abaikan begitu saja. Apa aku lolos uji? sangat tak terduga, apa dia sedang mempermainkan aku?'' Anna di rasuki oleh beberapa prasangka yang meresahkan.
Yah, Anna memang lupa soal waktu. Padahal sudah jelas terpampang pada job desk yang di berikan pak Dani tadi pagi, berisi waktu-waktu jam kerja yang wajib di patuhi. Tapi mana sempat Anna melihat waktu, sedangkan sejauh ini Anna tidak pernah berhenti mengerjakan banyak hal, seperti bola yang menggelinding bebas kesana kemari. Tapi, sudah jelas si Boss mana peduli soal alasan ini dan itu, yang dia tahu hanyalah disiplin dan tepat waktu.
"Maaf Boss, saya tidak memanfaatkan waktu dengan baik. Kali ini saya akan lebih efesien lagi dalam menggunakan waktu."
"Aku tidak tidak sebaik itu untuk memahami kesalahan pelayan." Tegas Devan yang sudah sejak tadi merasa frustasi menunggu kedatangan Anna.
"Mohon maaf atas ketidak disiplinkan saya Boss. Saya tidak akan mengulanginya lagi." Anna berucap dengan nafas yang tersendat. Devan, kalau sedang dalam mode serius memang begitu menakutkan. Mengapa suasana hati pria itu bisa berubah begitu cepat? padahal Anna sudah senang dengan sikap baik Devan beberapa jam yang lalu.
"Apa kau tau, aku sangat tidak suka dengan kata maaf. Dari pada itu, lebih baik tunjukkan bentuk tanggungjawab mu," tunjuknya masih dengan mimik serius. "Angkat wajahmu, dan biarkan aku melihat raut kepercayaan diri yang kau tampilkan tadi pagi saat berdebat denganku."
"Baik Boss. Saya akan menggunakan sisa waktu ini untuk memasak makanan yang lezat untuk anda."
Nah, bentuk pertanggungjawaban seperti inilah yang ingin Devan dengar. "Rupanya kau memang cepat tanggap. Bagus! karna waktumu menyiapkan makan siang untukku jadi banyak tersita, sekarang kau harus siapkan makanan dalam 25 menit saja."
"Siap."
"Katakan dengan lebih lantang lagi."
"Siap Boss!" Anna menuruti perintah Devan dengan sangat baik, walaupun kesalnya setengah mati.
Devan lalu mengisyaratkan Anna untuk segera ke dapur melakukan tugasnya. Sementara Devan kembali melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.
Lima menit kemudian, Anna mendatangi Devan kembali dengan sebuah celemek bergambar beruang yang terpasang menutupi dada hingga lututnya.
"Maaf Boss, ada bahan utama yang tidak tersedia di kulkas," ujarnya.
"Pakai ini untuk membelinya," Devan mengeluarkan sebuah black card dari dalam laci mejanya, dang langsung melemparnya ke tangan Anna tanpa aba-aba.
"Siap," Anna yang memiliki refleks yang bagus berhasil menangkapnya.
"Gunakan lift pribadiku untuk mempersingkat waktu."
Anna langsung mengangguk menerima perintah. Tanpa membuang banyak waktu, ia pun langsung meluncur pergi mencari bahan pokok yang di butuhkan nya. Meskipun ketika sampai di pinggir jalan, Anna tidak tau dimana letak minimarket yang menjual bahan makanan yang di carinya. Tanpa putus asa, si pelayan berlari kesana kemari mencari keberadaan minimarket itu, hingga ia menemukannya tak begitu jauh dari tempat kerjanya.
Hosh...! hosh...!
Nafas Anna memburu.
Begitu kembali ke dalam gedung, tiba-tiba saja kepala Anna terasa pusing karena berlari di tengah terik matahari yang memancar tanpa peduli dengan kondisi bumi yang memanas. Sedang ia lupa kalau belum ada satu tetes air dan satu biji nasi pun yang masuk ke lambung nya hari ini, tapi si pelayan tetap memforsir tenaganya untuk bekerja tanpa henti.
Sambil menenteng plastik belanjaan di tangan kirinya, dan juga sebuah tas hitam miliknya yang baru saja di ambilnya dari loker penyimpanan. Anna naik ke lantai paling atas menggunakan lift pribadi milik CEO agar sampai lebih cepat, karena berhadapan langsung dengan ruangan sang Boss besar.
Begitu sampai di depan pintu, Anna menormalkan laju nafasnya yang memburu dan berekspresi profesional tanpa menampakkan kondisinya yang lelah. Walau nampak jelas dari banyaknya keringat yang membasahi wajahnya.
"Saya datang," ujar si pelayan seraya membuka pintu.
Si Boss nampaknya masih serius dengan pekerjaannya dan tidak menggubris kedatangan pelayannya. Anna melangkah mendekat dan menyerahkan benda pipih berwarna hitam itu ke atas meja secara hati-hati, agar tidak menggangu ketenangan Boss.
"Ini milik anda," ucap Anna pelan.
Sang Boss hanya memberikan anggukan kecil juga isyarat agar Anna menyingkirkan dari ke dapur.
"Boss," Anna berucap ragu.
"Apalagi yang kau perlukan?" tanyanya dengan terpaksa menolehkan kepala ke samping.
"Izinkan saya keluar sebentar mencari toilet untuk membersihkan diri. Saya tidak mungkin memasak dalam kondisi seperti ini."
"Pakai kamar mandi milikku saja."
"Apa?" suara Anna meninggi tanpa ia sadari. "Apa toilet pribadi anda benar-benar boleh saya gunakan?" Anna kembali memastikan karena merasa tidak yakin.
"Kau meragukan ucapanku?" pria itu menekankan dalam tanya nya.
Anna menggeleng. "Terimakasih, saya akan memberikan anda hidangan yang lezat setelahnya."
"Oke." Reaksi si boss nampak acuh, meskipun lirikan matanya begitu jelas perbedaannya.
Anna pun berlalu dari tempat berdirinya, melangkah menuju dapur untuk meletakkan barang belanjaannya disana. Baru kemudian beralih menuju ruangan paling ujung, yang terdapat tempat tidur disana, yang menghadap ke silinder kaca di tengah ruangan. Silinder kaca ini adalah sebuah kamar mandi. Kamar mandi di tengah ruangan tersebut tampak begitu transparan, tidak terlihat ada penghalang ataupun tirai apapun yang menutupinya. Anna benar-benar lupa kalau kamar mandi milik Boss adalah konsep terbuka seperti ini.
Bisa-bisanya Anna berpikiran untuk numpang membersihkan diri disini. Ia pun kembali menghadap Boss sambil menenteng tas hitamnya.
"Boss. Saya sepertinya harus menggunakan toilet di luar sana."
"Ada masalah apa? waktumu sudah sangat terbatas, mau pergi kemana lagi? bukannya aku sudah mengizinkanmu menggunakan kamar mandi milikku?"
"Anu, itu— transparan, jadi saya—"
"Ohh, mari aku tunjukkan." Devan langsung bangkit dari duduknya, lalu meraih tangan Anna tanpa permisi dan membawanya menuju kamar mandi pribadi miliknya.
"Boss, apa yang—" Anna menarik diri ketika mereka berdua sudah ada di dalam kamar mandi yang luas dan mewah ini.
"Hei, apa kau berfikiran liar terhadapku?" Devan menatap wanita yang tingginya masih sepantaran dadanya.
"Tidak mungkin begitu." Sahut Anna menegaskan.
"Aku hanya ingin menunjukkan padamu, bagaimana caranya menggunakan fasilitas kamar mandi yang modern ini. Kau ingin agar kaca transparan ini bisa tertutup bukan? lihatlah ini."
Devan lalu memberitahukan kepada Anna letak sebuah tombol yang bila di tekan, maka akan mengeluarkan air yang deras dari atas sekat kaca, mengucur ke bawah seperti air terjun, dan secara otomatis mampu menyamarkan segala aktifitas yang di lakukan didalam sini.
"Wahh..." Anna takjub melihat itu. "Bagaimana bisa anda membuat fasilitas sebaik ini di kantor, sudah mirip seperti ruang hotel bintang lima, bahkan saya belum melihat yang seperti ini dimanapun." Anna tidak bisa menyembunyikan kekaguman yang ada di kepalanya, terlontarkan begitu saja.
"Karena aku menghabiskan waktu di kantor selama hampir 20 jam dalam sehari, tentu saja disini adalah rumahku juga." Sahut sang Boss santai. Tidak seserius tadi.
"Orang gila mana yang bekerja seperti mesin," Anna menyamarkan ucapannya sambil memalingkan wajah.
"Orang gila? aku?" Devan menunjuk mukanya sendiri di depan Anna yang segera menyadari kecerobohan nya dalam berbicara.
"I- itu pujian, sungguh! anda adalah seorang pekerja keras yang patut di contoh." Anna buru-buru klarifikasi. "Pendengarannya begitu baik, padahal aku hanya berucap samar." Batinnya.
"Baiklah, silahkan gunakan milik pribadiku. Waktumu tersisa sepuluh menit lagi."
"Anu, apakah kaca ini benar-benar dapat menutupi aktifitas di dalam sini dengan sempurna? bukankah air yang mengalir ini hanya menyamarkan saja?"
"Anna. Jangan berlebihan, aku sama sekali tidak tertarik untuk melirik mu. Jadi, hentikan pikiran kotor mu itu." Devan menekan dahi Anna dengan jari telunjuknya, kemudian pergi meninggalkan wanita cupu itu sendiri di dalam ruangan yang bernuansa putih ini.
"Dia benar-benar menyebalkan. Bersikap sesuka hatinya dan memainkan emosi orang lain semaunya. Dia tidak seperti Devan yang aku kenal dulu yang begitu polos dan murni." Ini bukan ungkapan hati yang di liputi amarah, tentu saja apapun yang di lakukan Devan, bagi Anna itu terlihat menyenangkan sekaligus menyebalkan. Jujur saja, Devan yang dia lihat kali ini, memang lebih menarik.
Anna tak ingin buang-buang waktu, ia pun segera melepas setiap helai seragam birunya, membersihkan beberapa bagian tubuhnya, lalu menggantinya dengan baju pribadi miliknya.
Sepuluh menit kemudian...
Bak seorang Koki profesional, Anna menghidangkan masakannya pada sebuah meja makan dengan konsep mini bar, yang dicat putih pada dinding mejanya yang menggunakan keramik tegel bermotif hitam dan putih. Lampu gantung dengan kap hitam di atas sana menambah sentuhan yang aesthetic.
Setelah semua pekerjaannya beres, Anna kemudian datang menghampiri Devan yang ada di ruang kerjanya. "Boss, makan siang anda sudah siap."
"Oke." Mata Devan lalu terfokus pada getaran tubuh dan wajah yang pasi yang tak mampu di sembunyikan Anna saat ini, akibat rasa lapar yang begitu kuat dan juga letih yang teramat sangat.
"Ikuti aku!" kata Devan seraya bangkit dari duduknya dan melangkah menuju tempat makan siangnya.
"Kenapa diam saja? datanglah kemari!" Devan mempertegas suaranya yang sudah duduk di depan makanan yang terhidang, di pletting begitu indah. "Cepat!" titahnya ketika melihat tubuh pelayannya yang masih tak bergerak dari tempatnya berdiri.
"I- iya," meskipun sungkan, tapi Anna tetap tidak boleh menolaknya.
Devan memperhatikan jemari kaki Anna yang sedang berjalan tanpa alas kaki. Nampak indah, bersih dan terawat. Terlihat dari kuku kaki nya yang di potong pendek, pink merona tanpa lapisan nail art. Namun terdapat beberapa memar yang terdapat di pinggirannya, juga beberapa goresan luka di beberapa tempat.
"Duduklah," Devan mempersilahkan Anna duduk di depannya. Ada banyak hal yang bergelayut di kepala Devan ketika melihat wanita di depannya ini, tapi ia akan memastikan nya nanti secara perlahan.
Anna yang tadinya berdiri langsung menuruti instruksi Devan, seperti seekor anak kucing yang penurut.
"Apa yang kau masak?" tanya Devan begitu membuka tutup saji bundar yang terbuat dari kaca.
"Soupe a l'oignon, sup kental dari kuah kaldu sapi murni yang saya masak sendiri dari tulang iga sapi, dan di bumbui dengan bawang putih, parutan keju, dan juga daging ayam. Saya mempelajari resepnya dari seorang artis ternama yang terkenal dengan keahlian memasaknya, Nora Aurora." Terang Anna lengkap.
Devan tertegun begitu nama Ibunya tertera pada akhir kalimat Anna. Ia mengangkat wajahnya menatap ke arah Anna yang duduk dengan kaki yang di rapatkan. Mata biru Devan bergerak penuh arti.
"Kau tau dari mana wanita itu?" yang di maksud Devan adalah Nora, Ibunya.
mampir di novelku ya/Smile//Pray/