Raya yang baru saja melakukan ujian nasional, mendapatkan musibah saat akan datang ke tempat tinggal temannya. Kesuciannya direnggut oleh pria tak dikenal. Raya memutuskan untuk melaporkannya ke polisi. Bukannya keadilan yang dia dapatkan, namun ancaman. Tidak hanya sampai di situ saja, dia dinyatakan hamil akibat insiden itu. Lagi-lagi bukannya keadilan yang dia dapatkan, namun perlakuan buruk yang dia terima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ROZE, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13 Mimpi
"Kenapa sih, Ay?"
"Gak apa."
"Jadi, kapan kamu akan pergi?"
"Entahlah, aku ragu. Rasanya sangat malas untuk pergi."
"Kenapa begitu?"
Raya tidak menjawab pertanyaan Nina, tapi mungkin saja Nina bisa menebak.
"Pergi saja, Aya. Apa yang akan terjadi, pasti terjadi. Tidak ada gunanya lari dari masa lalu."
Nina meringis dalam hati, ternyata bicara lebih mudah daripada menjalaninya. Menggurui lebih gampang daripada merasakannya.
Keduanya sama-sama menghela nafas berat.
"Kamu sendiri, bagaimana? Apa bisa memaafkannya begitu saja?" tanya Raya.
"Tidak, sih. Aku benar-benar sakit hati saat dia meninggalkan aku ketika hamil, aku begitu terpuruk, apalagi setelah itu, masalah datang bertubi-tubi. Untung saja ada Rean dan Rion yang mengobati kesedihanku."
"Ya, mereka berdua memang sangat menggemaskan, meski kita berdua sering kewalahan saat menghadapi mereka."
Itulah yang bisa membuat mereka berdua begitu akrab, perasaan senasib akibat masa lalu yang suram, yang sama-sama dihancurkan oleh seorang pria tidak bertanggung jawab.
"Jadi, ayo kita pergi. Kita hadapi bersama dunia yang kema ini. Kita singkirkan masa lalu dan dapatkan pria yang bisa menerima masa lalu kita."
"Kita?"
"Ya, kamu pikir aku tidak akan ikut? Ikut, dong."
Tanpa menunggu jawaban Raya, Nina langsung memasukkan kebutuhan Rean dan Rion ke dalam koper. Kalau sudah begini, mana bisa Raya menolaknya.
"Kita mau ke mana?" tanya Rean.
"Piknik," jawab Nina.
Piknik yang mendebarkan hati, pastinya, ucap Raya dalam hati. Dia mendelik kesal pada Nina, sedangkan perempuan itu hanya cengar-cengir saja.
"Oke anak-anak, sekarang waktunya tidur. Jangan sampai saat kita pergi, ada yang sakit," ucap Raya tegas.
"Tapi bagaimana pekerjaan kamu?"
"Aku sudah mengajukan cuti," ucap Nina santai.
"Bahkan kamu lebih antusias daripada aku."
"Tentu saja."
Raya dan Nina sama-sama memasukkan baju mereka ke dalam koper. Jujur saja, jantung Raya berdetak tak karuan. Ini untuk yang pertama kalinya dia kembali setelah hampir tiga tahun pergi.
Jangan pertemukan lagi aku dengan mereka. Aku tidak mau hidupku yang sudah aku tata ulang, kembali berantakan karena kekejaman mereka mereka.
Di lain tempat, Keanu kembali mimpi buruk. Dia merasa ada yang mencekik dirinya. Menikam tubuhnya dengan belati tajam.
"Daddy, kenapa kamu tega dengan kami?"
Bisikan-bisikan rintihan itu menyayat hati. Seperti ada rantai yang menarik jantungnya.
"Daddy ... Daddy ... tolong kami. Kenapa Daddy? Jangan sakiti mommy."
Keanu terbangun dari tidurnya.
Keanu meraba lehernya, memeriksa apakah ada jeratan di leher itu, lalu memeriksa perutnya, ada ada bekas darah.
"Kenapa aku sering bermimpi seperti ini?"
Rasanya Keanu tidak mau tidur lagi. Dia merasa dibunuh berulang-ulang. Pria itu memandangi kamarnya, kamar tempat dia merenggut kehormatan Raya hingga meninggalkan benih yang tidak sempat dilahirkan.
Keanu menyugar rambutnya, berharap semua itu hanya mimpi buruk yang tidak akan kembali lagi, meski entah kenapa dia sendiri tidak yakin.
Apa perempuan itu sudah meninggalkan dan menjadi hantu gentayangan?
Dia menatap wajahnya di cermin. Wajah yang semakin tampan dengan rahang tegas, namun tidak ada yang tahu, di balik wajah itu, dia pernah menyakiti seorang perempuan yang tengah mengandung anaknya hingga perempuan itu keguguran, tanpa berpikir bahwa segala sesuatu itu pasti akan ada balasan. Hanya tinggal menunggu waktu saja.
Kami tidak akan pernah bertemu lagi, kan? Ya, semoga saja tidak? Karena hal itu akan mempersulit semuanya.
Saat ini mereka berempat ada di dalam pesawat. Rean dan Rion terus saja diam, mungkin karena ini pengalaman pertama mereka naik pesawat.
"Kalian senang, naik pesawat?"
"Ya, Mom."
Raya duduk bersama Rion, sedangkan Nina duduk bersama Rean. Raya mencoba tenang, meski hatinya terus saja gelisah. Rion melihat wajah Raya yang sedikit pucat dan bibirnya kering.
Begitu juga dengan Rean yang melihat kegelisahan Nina.
"Jangan takut, Ma. Pesawatnya tidak akan jatuh."
Nina meringis dalam hati, bukan itu yang dia takutkan, bukan berarti juga dia berani.
Ah, anak ini, bukannya membuat hati Nina tenang, malah tambah gugup.
Di lain tempat, dokter Bian sedang duduk di taman, melihat seorang ibu hamil yang juga sedang duduk tidak jauh darinya. Pria itu berkali-kali menghela nafas berat.
Dia masih ingat, bagaimana dia melihat wajah perempuan itu yang terlihat sedih saat kandungannya keguguran. Entah kenapa dia—sampai saat ini, tidak bisa melupakan wajah itu.
"Dokter baik-baik saja?" tanya Dokter Ardi.
"Tidak. Aku sering kali merasa bersalah saat tidak dapat menyelamatkan nyawa seseorang."
"Itu sudah takdir, Dok. Kita sebagai dokter hanya bisa berusaha semaksimal mungkin. Maafkan saya, buka. maksud saya menggurui, meski apa yang yang dokter rasakan itu, saya juga sering merasakannya."
Mereka tertawa pelan. Sebagai sesama dokter, apalagi yang sering masuk ke ruang operasi, memang harus saling menyemangati. Entah mereka masih muda, atau sudah tua.
Pandangan mata dokter Bian kini beralih ke seorang anak. Jika anak itu masih ada, mungkin mereka seumuran. Anak itu menendang bola yang mengarah pada dokter Bian dan dokter Ardi.
"Ini, bolanya."
"Telima kasih," ucap anak itu dengan cadel.
Dokter Bian mengusap kepala anak itu dengan pelan, lalu memandang langit. Sebuah pesawat melintas di atasnya, nampak kecil namun mampu menarik perhatian dokter itu.
Mereka akhirnya tiba juga, menghirup udara yang malah menyesakkan dada.
Raya memejamkan matanya sesaat.
Aku bisa, pikirnya.
Mereka berempat melangkah ke luar, setelah mengambil barang-barang mereka.
"Ayo, Raya, jangan gugup," ucap Nina.
Raya hanya mendengkus, karena dia tahu Nina juga sama gugupnya. Bisa dia rasakan tangan Nina yang keringat dingin.
Raya sendiri juga mengusap-usap tangannya, dengan Rion yang memegang baju Raya.
Semoga aku tidak bertemu dengan mereka.
Ada banyak denyut jantung yang berdetak tak karuan.
Ada banyak hati yang merasa gelisah.
Ada banyak kerinduan namun tidak tahu kepada siapa harus dituju.
Selama perjalanan menuju hotel, Raya hanya memperhatikan jalan. Begitu juga dengan si kembar Rean dan Rion. Kedua anak itu terlihat antusias memandang sekitarnya dengan wajah polos mereka.
"Nanti kita jalan-jalan?"
Raya dan Nina yang sama-sama melamun, tidak menjawab pertanyaan itu. Rion menempelkan wajahnya di kaca dengan tangan yang mengapit pipinya, hingga wajahnya tidak terlihat jelas. Seseorang sekilas melihat kaca mobil di sebelahnya.
Mirip seseorang, siapa ya?
Orang itu juga melihat perempuan yang duduk di bangku depan. Dia mengucek matanya.
Apa itu dia? Aku tidak salah lihat, kan?
Ampun hijau membuat mobil yang ditumpangi oleh Raya, Nina dan kedua anak itu melaju dengan cepat.
Aku pasti hanya salah lihat. Dia sudah pergi jauh.