Seorang wanita mendatangi klinik bersalin di tengah malam buta. Wanita itu meringis menahan rasa sakit. Sepertinya dia ingin melahirkan.
Setelah mendapatkan pertolongan dari Bidan, kini wanita itu menunggu jalan lahir terbuka sempurna. Namun, siapa sangka ia akan di pertemukan oleh lelaki yang sengaja ia hindari selama ini.
"Lepas, Dok! Aku tidak butuh rasa kasihan darimu, tolong jangan pernah menyakiti hatiku lagi. Sekarang aku tak butuh pria pengecut sepertimu!" sentak wanita itu dengan mata memerah menahan agar air mata tak jatuh dihadapannya.
"Alia, aku mohon tolong maafkan aku," lirih lelaki yang berprofesi sebagai seorang Dokter di sebuah klinik bersalin tempat Alia melahirkan. Lelaki itu menatap dengan penuh harap. Namun, sepertinya hati wanita itu telah mati rasa sehingga tak terusik sedikitpun oleh kata-kata menghibanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Risnawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertemu kembali
Alia menyusuri jalanan yang gelap dan sunyi. Ia tak tahu harus pergi kemana, yang penting sekarang ia harus menghindari Dokter itu. Karena hari sudah larut malam, maka tak ada kendaraan yang melintas di jalanan sunyi itu.
Alia hanya berdo'a sembari mengusap perutnya untuk menguatkan bayi yang ada dalam kandungannya.
Dengan langkah pasti wanita hamil itu berjalan menuju jalan raya. Tak berapa jauh lagi dari tujuan, Alia merasakan perutnya nyeri tak terkira.
"Astaghfirullah, kenapa perut aku sakit sekali," lirihnya dalam keseorangan.
Alia berdiri di pinggir jalan sembari menunggu taksi yang lewat. Ia harus ke RS sekarang juga. Nasib baik sebuah taksi melintas, Alia segera menghentikan. Ia segera naik dan meminta driver itu untuk mengantarkan ke klinik tempat ia singgahi waktu itu.
"Apakah Mbak ingin melahirkan?" tanya supir taksi.
"Seperti iya, Pak. Apakah bisa lebih cepat lagi?" tanyanya masih menahan rasa sakit.
"Baik, Mbak." Supir taksi itu menambah kecepatan kendaraannya.
Alia merasakan ada sesuatu yang keluar dari jalan lahir, ia benar-benar tidak tahu apa-apa, ini adalah pengalaman pertamanya. Alia berusaha menahan rasa sakit, dan selalu beristighfar untuk menangguhkan dirinya.
Sementara itu Hanan baru baru saja keluar dari ruang bersalin setelah membantu kesulitan Ibu melahirkan. Hanan masuk kedalam ruangannya untuk istirahat sejenak.
Hanan menatap jam dinding yang ada di ruang prakteknya. Sepertinya ia harus pulang terlebih dahulu untuk berbersih, karena sedari tadi ia tak sempat mandi saat dirinya nekat menemui Alia.
Hanan keluar dari ruang prakteknya untuk rencana pulang. Namun, netranya menemui sosok yang tadi ia temui.
Deg!
Jantungnya berdegup kencang, netranya menatap begitu lekat. Ia tidak akan membiarkan gadis itu pergi lagi. Hanan ingin sekali mengatakan sesuatu, tetapi ia menyadari bahwa sekarang mereka berada bukan di tempat yang tepat untuk bicara.
"Aaakhh! Sakit banget," lirih wanita itu menahan rasa nyeri.
"Ayo Ibu, masuk, kami akan periksa," ucap suster yang membuat Hanan terlepas dari lamunannya.
Alia menyorotnya begitu tajam, terlihat jelas di pelupuk matanya telah menggenang cairan bening yang hampir menetes. Hanan tak mampu bicara apapun saat melihat kemarahan yang sedang menyala di kalbu Ibu dari anaknya itu.
Hanan kembali masuk kedalam ruangannya untuk menenangkan hati yang sedang membuncah. Pria itu mengusap wajahnya dengan lembut.
"Aku tidak bisa seperti ini. Aku harus meminta maaf padanya, dan apapun konsekuensinya aku akan terima. Aku tidak akan pernah melepaskannya." Hanan bergumam sendiri untuk meyakinkan hatinya yang sedang tak menentu.
Hanan kembali keluar dari ruangannya, dan membuka ruang bersalin tempat Alia di periksa. Ia melihat gadis itu sedang meringis menahan rasa sakit. Dengan perlahan Hanan mendekati, ia menggapai tangan Alia yang sedang mencari pegangan. Hanan menggenggam tangan itu begitu erat seakan memberikan kekuatan untuknya.
"Dokter!" ucap gadis itu terkesiap.
"Apakah sakitnya semakin kuat?" tanya Hanan lembut dan menatap dengan rasa sedih dan sangat merasa bersalah.
Alia menatap wajah lelaki yang telah menghancurkan masa depannya. Kembali rasa sakit menyeruak di sudut kalbu. Tanpa terasa netranya mengeluarkan cairan bening yang sudah menetes.
"Lepas, Dokter!" Alia menyentak tangannya dengan kuat sehingga terlepas dari pegangan Hanan.
"Alia, tenanglah, aku hanya ingin membantumu," ucap Hanan meyakinkan gadis itu.
"Aku tidak butuh bantuan lelaki pengecut sepertimu! Sekarang pergilah!" sentaknya kembali.
"Alia, aku tahu kamu begitu marah dan membenciku. Tapi, tolong izinkan aku untuk membantumu," balas Hanan dengan nada tenang.
"Aku tidak mau! Aku sangat membencimu. Seandainya aku tahu kamu bertugas di RS ini, maka aku tidak akan pernah mau melahirkan di tempat ini. Kenapa aku harus bertemu lagi denganmu. Aku sangat membenci dirimu. Hiks..." tangis gadis itu pecah sembari menahan rasa sakit yang datang semakin jadi.
Sungguh hati lelaki itu semakin pilu melihat Alia menangis dalam kebencian. Ia tahu tidak akan semudah itu memaafkan lelaki jahat seperti dirinya.
"Aaakhh...! Astaghfirullah sakit sekali," seru gadis itu menahan rasa sakit tak mampu ia gambarkan.
Hanan kembali menahan tubuh Alia yang hendak berjongkok karena tak kuasa menahan rasa sakit. "Ayo berbaring sekarang ya," ucap Hanan menuntun Alia untuk berbaring diatas bad pasien.
Hanan sengaja tak memanggil Bidan yang sedang sibuk di ruangan sebelah membantu pasien yang lainnnya. Ia ingin memeriksa keadaan anaknya dengan tangannya sendiri.
Alia ingin sekali menolak segala bantuan lelaki itu. Namun, rasa sakit yang begitu kuat, sehingga membuatnya tak berdaya. Dengan perasaan tak rela ia menurut arahan dari Dokter kandungan itu.
Dengan perlahan Alia berbaring, saat rasa sakit itu tiba, maka Hanan bersiap memasang badan untuk menjadi pegangan dan tumpuan emosi dengan mencengkeram bagian tubuhnya.
"Masih kuat sakitnya?" tanya Hanan dengan lembut. Alia menatap dengan lelehan air mata. Ia menggeleng pelan. Hanan mengusap air mata gadis itu dengan lembut dengan ibu jarinya. Kembali batinnya perih, ingin sekali ia mendekap tubuh lemah itu dan memohon maaf.
"Tenang ya, aku pasang infus dulu." Hanan segera mengambil peralatan infus, lalu memasangkan di tangan gadis itu.
"Apakah kamu ingin membunuh anakku, Dokter?" tanya Alia dengan suara tercekat.
"Astaghfirullah, jangan bicara seperti itu. Aku tidak akan melakukannya," jawab Hanan, hatinya merasa sakit. Kata-katanya dulu benar-benar telah membuat Alia trauma.
Setelah selesai memasang infus, ia segera mengambil alat pendeteksi detak jantung bayi. Hanan mendengarkan dengan seksama. Jantungnya berdegup kencang saat detak jantung janin itu melemah.
Alia juga tak merasakan kontraksi yang begitu kuat, sehingga matanya ingin terlelap. Tentu saja membuat Hanan semakin merasa cemas.
"Alia! Alia, kamu jangan tidur!" pekik Hanan sembari mengguncang tubuh wanita itu.
Hanan berlari keluar untuk memanggil Bidan dan perawat untuk membantunya. Jangan ditanya rasa takut lelaki itu.
"Kak Amel! Kak!" panggil Hanan pada Bidan yang tadi memeriksa Alia.
"Ada apa, Dok?" tanya wanita itu terkesiap.
"Kak, tolong bantu periksa pasien yang tadi Kak. Tadi sudah saya pasang infus, dan detak jantung bayinya melemah," ucap Hanan dengan panik.
Bidan Amel segera masuk kedalam ruangan itu di ikuti oleh dua perawat. Hanan juga ikut masuk. Amel segera memeriksa detak jantung bayi.
"Sus, tolong ambilkan pengukur tensi," titah Hanan yang ingin secara langsung menangani.
"Bagaimana, Kak?" tanya Hanan pada Bidan.
"Iya, kondisi bayi melemah, Dok. Sepertinya harus secepatnya di keluarkan. Lebih baik kita rujuk ke RS saja," jelas Bidan memberi solusi.
Hanan juga tercengang saat melihat tensi wanita itu begitu tinggi. Di usia Alia yang baru dua puluh lima tahun, dengan tensi seratus sembilan puluh. Sungguh ini sudah tak normal lagi.
"Sus, minta supir menyiapkan mobil ambulans sekarang!" titah Hanan. Ia segera mempersiapkan segala sesuatunya untuk membawa Alia ke RS swasta. Karena klinik mereka masih baru, maka belum mempunyai ruang operasi.
Bersambung.....
Happy reading 🥰