Semua orang melihat Claire Hayes sebagai wanita yang mengandung anak mendiang Benjamin Silvan. Namun, di balik mata hijaunya yang menyimpan kesedihan, tersembunyi obsesi bertahun-tahun pada sang adik, Aaron. Pernikahan terpaksa ini adalah bagian dari rencana rumitnya. Tapi, rahasia terbesar Claire bukanlah cintanya yang terlarang, melainkan kebenaran tentang ayah dari bayi yang dikandungnya—sebuah bom waktu yang siap menghancurkan segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leel K, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2. Pengakuan di Tengah Duka
"Dia depresi karena obat-obatan yang dikonsumsinya," bisik seseorang, suaranya tertahan namun terdengar jelas di telinga Aaron.
"Malang sekali, meskipun begitu bukankah dia seperti aib bagi keluarganya?" sahut suara lain, bernada menghakimi.
"Ya, dia sangat berbeda dengan adiknya. Adiknya bekerja di sebuah perusahaan besar."
"Yang kudengar, dia sekarang sudah menjadi Direktur diperusahaannya. Seorang CFO."
"Meskipun kematian kakaknya disayangkan, tapi bukankah ini juga... baik untuknya?"
Bisik-bisik itu mengalir di antara para pelayat, tak jauh dari peti kayu tempat jasad Benjamin dibaringkan. Suara-suara itu menusuk Aaron seperti jarum es.
Aaron mengepalkan kedua tangannya, buku-buku jarinya memutih. Lingkar hitam di bawah matanya terlihat jelas di bawah cahaya redup. Kepalanya menunduk, matanya terpaku pada lantai dingin. Sudah berjam-jam ia duduk di sana, masih tak percaya akan kematian kakaknya. Di sisi lain, ayahnya, Charles, sejak tadi terdiam lemas, sementara ibunya, Eva, baru saja pingsan untuk kedua kalinya setelah terlalu lama menangis tanpa henti.
Hanya Aaron yang, meskipun juga merasa sama terpukulnya dengan kedua orang tuanya, masih harus disibukkan dengan jalannya upacara pemakaman. Ia masih harus bergerak ke sana kemari, memastikan semuanya kondusif, menyambut para tamu yang datang. Tamu yang sebagian besar hanya hadir sebagai bentuk formalitas, datang untuk dilihat dan memberi ucapan basa-basi. Tamu yang lebih tertarik untuk menatap wajahnya—wajah Direktur sukses—ketimbang melirik jenazah kakaknya di dalam peti mati.
Mungkin, yang benar-benar bersedih saat ini hanyalah dirinya sendiri dan kedua orang tuanya. Bahkan orang-orang yang selalu bersama Benjamin semasa hidupnya, orang-orang yang dianggap sebagai teman, tidak menunjukkan batang hidung di pemakaman ini. Entah ke mana mereka lenyap saat Benjamin paling membutuhkan mereka, bahkan di saat terakhirnya.
"Istirahatlah," kata ayahnya, Charles, yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya dan menepuk bahunya lembut. "Aku akan berjaga di sini."
Aaron menatap wajah ayahnya sejenak. Charles menghela napas pelan, berusaha tersenyum padanya. Mengangguk, seolah memberi izin Aaron untuk melepaskan bebannya sejenak.
Aaron melihat sekeliling. Para tamu undangan memang sudah mulai pergi, meninggalkan tempat dengan langkah terburu-buru menjauhi aura kematian, hanya menyisakan beberapa orang yang masih bertahan.
"Tidak apa-apa, Yah," tolak Aaron, suaranya serak. "Sebentar lagi Kakak akan dibawa ke tempat peristirahatan terakhirnya. Aku akan menunggu sampai saat itu."
Charles menghela napas panjang, tidak mengatakan apa-apa lagi. Melihat raut wajah Aaron, tampaknya putranya itu bersikeras untuk tidak meninggalkan sisi kakaknya sama sekali.
"Kakakmu... banyak menyulitkanmu semasa dia hidup," ucap Charles, suaranya terdengar berat, duduk di samping Aaron dengan mata menatap kosong ke lantai. "Bahkan sekarang, sampai akhir dia juga melakukan hal yang sama padamu. Pada keluarga kita. Dia... dia meninggal dunia dengan kehendaknya sendiri."
Aaron hanya memandang wajah ayahnya dari samping. Meskipun apa yang dikatakan ayahnya terdengar kasar dan penuh kepahitan, Aaron tahu, bukan itulah yang menjadi maksud dari perkataannya. Ada kesedihan yang dalam dan rasa tak berdaya di balik setiap kata yang terucap.
"Seperti aku," ucap Aaron kemudian, suaranya nyaris berbisik, "dia juga merasa lelah. Dia tidak menginginkan kehidupan yang seperti ini, tapi segala sesuatunya tidak berjalan seperti apa yang dia mau."
"Aku... aku tidak bisa mengatakan bahwa dia tidak menyulitkanku dalam banyak hal. Dia selalu mencoba melakukan apapun semaunya, tidak peduli dengan apa yang terjadi di belakangnya. Pada orang lain." Aaron menelan ludah, berusaha menahan gelombang emosi.
"Namun aku tidak membencinya." Tanpa sadar, air mata menetes dari mata Aaron, jatuh mengenai lantai dingin seperti tetesan air hujan. "Aku tidak membencinya, tidak pernah." Dadanya terasa sesak, seperti ditekan beban yang tak terlihat.
Charles menatap putranya sendu, melihat bahu yang kokoh itu bergetar. Ini kali pertama setelah puluhan tahun Charles melihat Aaron meneteskan air mata, terhadap saudara laki-lakinya yang tak memiliki hubungan baik dengannya selama ini.
Sorot mata Charles tanpa sadar menangkap sosok wanita yang berdiri tak jauh dari sana. Wanita itu menatap ke arah mereka, atau mungkin lebih tepatnya ke arah Aaron yang sedang tertunduk, bahunya berguncang menahan isakan.
Begitu menyadari Charles melihat ke arahnya, raut wajah wanita itu memasang ekspresi terkejut. Ia lantas berbalik pergi dengan cepat, seolah menyembunyikan diri dari pandangan.
Pemakaman berlangsung, melewati nyanyian duka, doa-doa yang khusyuk, dan ucapan turut berduka cita dari mereka yang tersisa. Perlahan, orang-orang mulai meninggalkan area pemakaman, menyisakan Aaron dan kedua orang tuanya di bawah langit yang mulai berubah kelabu.
Aaron merasakan tetesan air dingin di bahunya. Ia sedikit mendongak ke atas, menyadari sepertinya hujan mulai turun lagi sore itu, gerimis halus yang terasa perih. Kemudian ia melihat ibunya yang masih duduk bersimpuh di sebelah makam kakaknya. Wanita itu sudah tidak menangis hebat lagi, matanya kering seolah tak ada lagi air mata yang tersisa. Namun sorot matanya yang kosong, wajahnya yang pucat dan lelah, serta gerakannya yang rapuh mengungkapkan bahwa kesedihannya semakin mendalam, melampaui air mata.
"Eva, ayo, ini saatnya pulang," tutur Charles lembut, memegang kedua bahu istrinya.
Eva menggeleng lesu, menolak lirih. "Tidak," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. "Bagaimana bisa aku meninggalkan putraku... putraku di tempat ini, Charles?"
Charles merasa semakin remuk mendengar istrinya mengatakan hal itu, hatinya teriris. Namun bagaimanapun, ia tetap harus membawa istrinya pulang sekarang, menjauh dari dingin dan hujan yang mulai membasahi. "Hujan sudah mulai turun, Sayang. Kita akan mengunjunginya lagi besok, ya?"
"Hujan?" Eva tampak baru tersadar.
"Hm, ayo pulang."
"Berikan aku payung!" seru Eva tiba-tiba, bangkit dengan cepat. Namun karena terlalu lama bersimpuh, langkahnya tidak seimbang hingga membuatnya akan jatuh jika saja Aaron tidak dengan sigap menangkap lengan ibunya.
"Aaron... kau di sini, Nak?" tanya Eva, matanya yang lebar menatap Aaron, sedikit kosong namun penuh harapan yang putus asa, "Kau tidak akan meninggalkan Ibu juga, kan?"
Aaron menghela napas pelan, memandang wajah ibunya lamat-lamat. Bibirnya terbuka, hendak berbicara, menenangkan ibunya, namun sebelum ia sempat mengatakan apa pun, suara seorang wanita menginterupsi mereka.
Disaat Aaron menoleh, melihat ke arah suara itu, ia mendapati seorang wanita berdiri disana. Mata hijaunya masih basah oleh air mata, meskipun rambut coklatnya sedikit berantakan oleh gerimis dan angin sore, kecantikan di wajahnya tak tertutupi.
Siapa dia? Batin Aaron. Terlihat begitu asing di antara orang-orang yang mereka kenal di pemakaman ini.
"Saya..." Suaranya tercekat, kesulitan berbicara karena menahan tangis. "Saya Claire," ucapnya, memperkenalkan diri, "Claire Hayes."
"Acara pemakamannya baru saja selesai, Nona Hayes," imbuh Aaron, suaranya formal namun sopan. "Terima kasih sudah datang. Hari sudah mulai hujan, lebih baik Anda kembali sekarang."
Namun Claire tak beranjak sedikitpun dari sana. Ia menatap satu per satu wajah ketiga orang di depannya—Aaron, Charles, Eva—bibirnya digigit pelan, tampak ragu, namun ada tekad di matanya. "Saya..." Ia menundukkan kepala, suaranya lirih namun jelas, "Saya adalah kekasihnya Benjamin."
Aaron sedikit melebarkan mata, rasa terkejut menjalari dirinya. Benjamin? Kakaknya yang selalu bermasalah, yang hidupnya berantakan karena narkoba, yang mati bunuh diri... memiliki kekasih? Seorang wanita seperti Claire? Wanita yang datang ke pemakamannya, menangis untuknya hingga membuat penampilannya terlihat kacau oleh duka, wanita yang sepertinya benar-benar mencintainya?
Sebuah ironi pahit. Benjamin—dia, yang gagal dalam banyak hal, yang menghancurkan dirinya sendiri—setidaknya berhasil menemukan seseorang yang begitu mencintainya hingga akhir. Bagaimana bisa dia meninggalkan wanita seperti ini?
Namun kalimat berikutnya yang keluar dari bibir wanita itu membuat dunia Aaron kembali terasa terbalik.
Claire memegang perutnya. Tatapannya beralih dari wajah Aaron ke makam Benjamin, lalu kembali lagi pada mereka. "Saya... saya sedang mengandung anak Benjamin."