Menjalin bahtera rumah tangga selama delapan tahun bukanlah waktu yang sebentar bagi seorang Marisa dan juga Galvin.
Namun pernikahan yang dilandaskan perjodohan itu tak membuat hati Galvin luluh dan memandang sosok sang istri yang selalu sabar menunggu.
Adanya buah hati pun tak membuat hubungan mereka menghangat layaknya keluarga kecil yang lain.
Hingga suatu hari keputusan Marisa membuat Galvin gusar tak karuan.
Instagraam: @iraurah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iraurah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kasihan Mamah
Marisa keluar dari kamarnya menuju kamar Devano, dilihat sang anak sedang belajar di temani oleh salah satu maid yang tadi mengejar Devano ke kamarnya.
Pelayan tersebut kaget melihat kedatangan Marisa, bola matanya melirik jam dinding yang ada di kamar Devano. Belum setengah jam pun tetapi kenapa Marisa sudah keluar? Apakah majikannya ini tidak jadi melakukan pertempuran hebat?
Mengingat itu pelayan tersebut jadi malu sendiri, ia tersenyum kaku pada Marisa.
Sedangkan Marisa berpura-pura tidak peka, ia hanya fokus pada Devano.
"Mamah?? Mana papah?" Tanya Devano yang langsung menghentikan aktivitas nya.
Marisa lantas masuk ke dalam kamar anaknya dan berjalan mendekat.
"Kok sudah menanyakan papah? Mamah tidak ditanyakan nih..?" Goda Marisa.
Devano tersenyum cengar-cengir, di peluknya sang Ibu dengan oleh tangan mungil itu.
"Maaf mah... Devano cuma senang saja kalau papah pulang sore" Ucap Devano mengungkapkan isi hatinya.
Marisa tersenyum lembut sambil mengusap rambut hitam putranya, ia tahu bagaimana perasaan Devano saat ini. Biasanya hanya ia dan pelayan lah yang menemani saat-saat kosong Devano, tidak ada yang bisa di ajak bercerita dengan sesama laki-laki Galvin selalu pulang malam disaat Devano sudah tertidur dengan pulas.
Tetapi malam ini Galvin datang lebih cepat membuat Devano sangat antusias atas kehadiran papahnya.
"Yanti kamu kembali saja ke belakang, biar saya yang menemani Devano" Suruh Marisa pada ART itu.
"Baik Nyonya, den Devano bibi keluar dulu ya" Devano mengangguk dan membiarkan wanita tersebut keluar dari kamarnya.
Kini hanya ada Devano dan Marisa di dalam sana, Devano nampak kembali melanjutkan pekerjaan rumahnya yang hampir selesai.
"Mah, papah sedang apa?" Tanyanya di sela-sela kegiatan yang tengah dilakukan.
"Papah sedang mandi, sayang. Ada apa?" Jawab Marisa.
"Boleh Devano menemui papah?" Seru devano sambil menatap wajah Ibunya.
"Boleh, tapi selesaikan dulu tugasnya"
"Baik, mah" Sahut Devano semangat.
Pukul setengah delapan malam para pembantu sudah menyiapkan menu makan malam, semua hidangan berjajar di meja besar berwarna coklat disana.
Galvin nampak keluar dengan memakai pakaian santai, sudah lama ia tidak melakukan makan malam di rumah, saat di kantor pun Galvin sering melewatkan makan malam, dirinya lebih memilih menyelesaikan pekerjaan yang masih menumpuk hingga dini hari.
Tetapi kali ini ia ingin menghabiskan sedikit waktu yang ia punya untuk Devano, sudah waktunya memang dia sadar jika Devano juga masih sangat butuh perhatiannya.
Ketika Galvin sudah tiba di ruang makan ia melihat anak dan istrinya sudah duduk di kursi, terlihat mereka berdua pun juga baru saja datang.
"Papahhhh.......!!" Sambut Devano histeris.
"Hai sayang" Sapa Galvin, ia lalu ikut duduk di sebelah putranya.
"Papah kok pulang cepat? Apa nanti ke kantor lagi?"
"Tidak, papah memang sengaja pulang cepat. Bukankah tadi pagi Devano bilang mau menunjukkan sebuah lukisan pada papah?"
Dengan cepat Devano mengangguk membenarkan, "iya pah... "
"Kalau begitu sesudah makan malam tunjukkan pada papah" Devano pun mengangguk kembali.
Marisa yang melihat keakraban suami dan anaknya merasa ikut senang dan lega, pasalnya Marisa selalu mengkhawatirkan kedekatan Galvin dan Devano jika tidak di mulai dari sekarang maka akan ada kerenggangan antara dua lelaki berbeda generasi tersebut. Tentu Marisa tidak mau sampai itu terjadi.
Ketika Marisa sedang asyik memandang pemandangan indah di depannya tiba-tiba saja bola matanya bersitatap dengan bola mata Galvin.
Senyum Marisa pun mendadak luntur, ia langsung membuang pandangan. Hatinya masih terasa tercubit mengingat kejadian di kamar tadi, membuat mood Marisa hilang begitu saja.
Galvin yang menyadari itu tak mau ambil pusing, entah Marisa marah padanya karna hal beberapa jam yang lalu atau bukan yang pasti Galvin tak mau berprasangka buruk terhadap istrinya.
Sampai dimana mereka pun hanya berperang dalam pikirannya masing-masing.
***
"Lihat, pah! Gambar Devano bagus tidak?" Ucap bocah kecil itu menunjukkan karyanya pada Galvin.
Kini mereka sedang berada di ruang keluarga, selepas makan malam tadi Devano langsung mengajak Galvin ke tempat ini, bahkan Marisa saja dilupakan Devano sangking semangatnya mengajak Galvin untuk melihat gambar yang ingin ditunjukkan.
Marisa hanya bisa geleng-geleng kepala, tidak ada rasa iri atau cemburu dihati Marisa. Justru ia senang melihat keterbukaan Devano pada Galvin.
"Bagus, gambar Devano sangat bagus!" Puji Galvin.
"Benarkah?? Yeyyy............ Terimakasih pah"
"Sama-sama sayang"
"Sebentar pah, devano ambil gambar yang lain dulu" Ia pun berlari ke dalam kamar untuk mengambil kanvas serta buku gambar yang telah ia lukis.
Bukan hanya satu lukisan saja, tetapi ada berbagai lukisan yang bocah cilik itu bawa, Devano menunjukkan semua pada Galvin dan memerintah sang papah untuk menilai gambarnya dari satu sampai seratus, dan tentu semua lukasan itu Galvin beri nilai seratus supaya tidak mengecewakan jerih payah putranya.
"Kenapa Devano suka sekali menggambar?" Tanya Galvin.
"Karna Devano ingin menjadi pelukis pah" Sahutnya.
Mendengar itu Galvin mengernyitkan kedua alis tebalnya.
"Pelukis? Bukankah dulu cita-cita Devano ingin menjadi Presiden? Kenapa sekarang berubah?" Tanya Galvin penasaran.
"Kalau Devano jadi Presiden nanti Devano sibuk" Jawab Devano polos.
Galvin tersenyum simpul kemudian mengacak-ngacak rambut sang putra dengan gemas.
"Itu kan memang sudah menjadi tugas kita nanti, mau tidak mau kita harus merelakan waktu kita jika sudah bekerja" Jelas Galvin memberi pengertian.
Devano nampak mendengarkan dengan seksama, anak yang baru menginjak tujuh tahun lebih itu dengan serius mencerna kata-kata Galvin ke dalam otaknya.
"Tapi.... Kalau Devano sibuk papah sibuk, pasti mamah kesepian.... "
Deg!
Seketika Galvin langsung mematung di tempat, ucapan Devano sukses membuat hatinya bercubit, ucapan yang tadinya hanya sebuah kalimat kini serasa menjadi tamparan bagi Galvin.
Ditambah lagi saat Devano berucap.
"Kalau papah tidak ada terus Devano juga tidak ada nanti mamah hanya sendiri, Devano tidak ingin jadi orang sibuk nanti tidak bisa bertemu mamah.."
Perasaan aneh pun muncul di hati Galvin, dirinya merasa malu mendengar tutur kata yang di sampaikan oleh anaknya.
Hatinya perih membayangkan hal tersebut, membayangkan bagaimana Marisa berada dalam kesendirian dan hanya bisa menanti dengan sabar.
Jelas Devano berkata seperti itu karna perbuatan Galvin selama ini yang telah menelantarkan Devano dengan Marisa di sebuah sangkar mewah.
"Pah, kalau lukisan ini nilainya berapa?" Tunjuk Devano membuyarkan lamunan sang Ayah.
Galvin tersentak, buru-buru ia memasang wajah biasa dan berfokus kembali pada Devano.
"Pah malam ini Devano ingin tidur dengan papah, boleh ya pah??"
"Devano ingin tidur dengan papah?" Tanya Galvin memastikan.
"Iya.... "
"Boleh, malam ini papah akan tidur di kamar devano. Devano senang?" Namun Devano malah menggelengkan kepalanya.
"Bukan di kamar Devano! Tapi di kamar papah dan mamah. Biar mamah ada teman juga... " Ucap Devano mengkoreksi.
"O-oh... T-tentu sayang" Lagi dan lagi Galvin merasa malu sendiri, tak dipungkiri ia memang belum terbiasa dengan semua ini.