Hidup Danu berubah total ketika ia menemukan sebuah amplop misterius di depan pintu kosnya. Di dalamnya, terselip sepucuk surat dengan kertas usang dan bau kayu basah yang aneh.
“Untuk Danu Setyawan. Baca saat sendirian.“
Awalnya Danu mengira surat itu hanyalah lelucon dari dosen atau senior iseng. Tapi rasa penasaran mengalahkan logikanya. Sampai ia benar-benar membaca isinya…
“Kepada Danu,
Aku tahu ini terdengar aneh, tapi kamu telah menjadi suamiku secara sah sejak 7 hari yang lalu.
Aku, Nyai Laras, menyerahkan seluruh harta dan rumahku kepadamu, sebagaimana tertulis dalam surat wasiat ini.
Datanglah ke Desa Pagarjati dan tinggallah bersamaku, sebagaimana janji yang pernah kamu buat,
meski kamu mungkin tidak mengingatnya.
Hormatku,
Nyai Laras.“
***
Lalu, siapakah sebenarnya Nyai Laras? Apakah Danu hanya korban lelucon terencana? Atau justru kebenaran mengarah ke sesuatu yang jauh lebih mengerikan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sablah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pasukan nadia
Beberapa jam kemudian,
Malam mulai turun perlahan, menebarkan udara lembut yang menyusup di antara dedaunan halaman. Jam dinding di ruang tamu baru saja menunjuk angka delapan, dan di teras depan rumah, Danu dan Galang tampak santai duduk berdua. Suara petikan gitar mengalun pelan dari jari-jari Danu, berpadu canda obrolan ringan yang kadang membuat mereka tertawa kecil.
"Lagu ini cocok banget kalau dinyanyiin sama orang yang sedang jatuh cinta," kata Galang sambil menyender di kursi malas.
"Makanya lu harusnya nyari pacar, bukan cuman nyari temen mabar bola," balas Danu terkekeh pelan.
"Sialan lu"
Mereka pun terus bermain, hingga tak lama kemudian, terdengar langkah kaki dari dalam rumah. Mama Danu keluar, membuka pintu kaca dan melangkah pelan ke teras.
"Danu," panggilnya dengan nada lembut, "adikmu kemana? Kok belum pulang jam segini?"
Danu menghentikan petikannya. "Lho, belum ya, Ma?"
Galang angkat kepala. "Tadi sore sih, Nadia pamit ke rumah temennya, tan. Nggak bilang bakal pulang jam berapa. Iya kan, Nu?"
Danu mengangguk setuju, sedangkan sang Mama tampak cemas. "Tolong kamu telfon dia ya, Nu. Ini sudah malam. Kalau acaranya belum selesai, bilang kamu yang jemput."
"Iya, Ma. Biar aku coba hubungi dia."
"Terima kasih. Mama masuk dulu ya. Papa juga udah tidur, jangan terlalu malam ngobrolnya."
Setelah pintu tertutup kembali, Danu menyimpan gitarnya ke pangkuan dan mengaktifkan ponsel.
"Ya ampun, ini anak," gumamnya. "Jangan-jangan keasyikan ngobrol, sampe lupa waktu."
Namun sebelum ia sempat menekan nama Nadia di daftar kontak, suara nada dering dari ponsel Galang memecah keheningan. Layarnya menyala, memunculkan nama yang membuat mereka langsung saling tatap.
"Bima," ucap Galang pelan, sedikit kaget.
Tanpa pikir panjang, ia mengangkat dan langsung menyalakan loudspeaker.
"Yo, Bim," sapa Galang.
Suara Bima terdengar agak buru-buru, tapi berusaha terdengar biasa. "Gal, maaf baru bales. Gue baru balik ke kampung, ada urusan keluarga."
"Oh, balik ke kampung? Nggak bilang-bilang," ujar Galang datar, menahan nada curiga.
"Ya... mendadak, Lang. Bokap sakit, jadi gue langsung cabut."
Danu mencondongkan badan. "Lo tahu nggak, Naya kemana? Sejak kemarin dia nggak aktif, centang satu terus."
Ada jeda hening, lalu suara Bima terdengar ragu. "Gue nggak tahu, Nu. Mungkin dia lagi sibuk juga."
Danu mempersempit pandangan, suaranya tenang tapi tajam. "Yakin lo nggak tahu?"
Tiba-tiba, suara Bima berubah gugup. "Eh... bentar-bentar, kayaknya gue dipanggil nyokap. Nanti gue hubungi lagi ya."
Tanpa menunggu tanggapan, suara di seberang langsung lenyap. Panggilan terputus.
Galang dan Danu saling berpandangan. Tak ada kata yang terucap sejenak.
"Lo denger juga kan?" ucap Galang akhirnya.
"Iya. Dia bukan Bima yang biasa nya. Ngapain dia gugup?" timpal Danu.
"Dan dia bahkan nggak nanya kabar Naya duluan. Padahal biasanya kepo. Gue nggak suka firasat ini, Nu. Kayaknya... ada sesuatu yang nggak beres."
"Entahlah" Danu bersandar, menatap langit malam, sebelum ia menatap layar ponselnya lalu buru-buru mengetik dan menekan tombol panggil.
"Gue telpon Nadia dulu,," ucapnya sambil menunggu nada sambung.
Galang hanya mengangguk, masih memegang kaleng minuman di tangan nya.
Tak butuh waktu lama, panggilan langsung dijawab.
"Dimana Nad?" tanya Danu, langsung.
Namun yang terdengar di ujung sana malah suara centil adiknya.
“Mas Danu kangen ya?”
Danu dan Galang saling pandang, alis mereka terangkat hampir bersamaan.
"Apa sih Nad? Mas tanya kamu dimana? Mama nyariin," sahut Danu, nadanya datar tapi raut mukanya menyiratkan bingung dan curiga.
"Lima detik lagi sampe, Mas," jawab Nadia dengan nada tenang tapi penuh arti.
Belum sempat Danu merespons, suara mesin motor mulai terdengar dari arah gerbang. Lampu depan sepeda motor menyala terang menembus pekatnya halaman.
Galang refleks berdiri. "Eh... suara motor?"
Danu ikut berdiri, menoleh ke arah pagar. Dan benar saja, deru empat motor matic masuk ke halaman. Salah satu motor dinaiki dua orang. Lima gadis turun satu per satu, dan di barisan depan, Nadia sendiri, melangkah santai seperti bintang utama dalam drama.
"Lah…" Danu melongo. "Nadia…?"
Galang terkekeh pelan, menahan tawa. "Gokil. Ini beneran kayak reality show."
Nadia melangkah ke arah mereka, masih dengan senyum penuh usil, matanya jelas-jelas mengamati reaksi sang kakak. Di belakangnya, keempat temannya langsung terdiam, seolah mulut mereka terkunci otomatis begitu melihat pemandangan dua cowok di teras rumah. Salah satunya... jelas, cowok tampan yang pagi tadi bikin heboh di sekolah.
"Mas Danu," sapa Nadia sambil menoleh ke teman-temannya. "Kenalin, ini teman-teman Nadia."
Danu yang tadi sempat gagap, hanya bisa menyahut singkat. "Oh... iya... halo."
Galang, masih tersenyum geli, ikut menyapa. "Selamat malam. Silakan duduk kalau mau ngobrol."
Teman-teman Nadia? Reaksinya macam-macam. Ada yang langsung senyum lebar, ada yang nunduk-nunduk malu, ada yang nekat nyengir tanpa sebab. Tapi satu kesamaan... semua curi-curi pandang ke Danu. Dan cowok itu, meskipun wajahnya berusaha tetap kalem, jelas gugup.
Satu dari mereka sempat berbisik pelan, cukup terdengar oleh Galang.
"Gila, cowoknya ganteng semua... malam ini rejeki nomplok nih"
Galang tertawa kecil lagi, lalu berbisik ke Danu, "Bisa jadi, besok rumah lo jadi tempat ziarah hati, Nu"
Danu melirik tajam, namun pada kenyataan nya dia tetap kalah talak malam ini. Dan Nadia tahu itu.
Setelah kehebohan singkat tadi, mereka semua kini duduk di teras rumah. Empat gadis teman Nadia duduk berjejer di kursi panjang dan beberapa kursi tambahan, sementara Nadia sendiri duduk di sandaran kursi sebelah Danu, tampak puas dengan reaksi kakaknya yang kikuk tapi berusaha cool.
Danu sendiri mencoba tetap tenang, meski sesekali melirik ke arah para tamu mendadak itu. Suasana sebenarnya agak canggung… untuknya. Tapi dia sadar, kalau dia bersikap kaku, Nadia bisa kehilangan muka di depan teman-temannya.
Maka dia berdiri, lalu menoleh ke Galang yang masih dengan senyum jahilnya, santai di kursi.
"Lang, ikut gue ke dalam," ucap Danu, datar.
Galang menaikkan alis. "Lho? Ngapain? Lagi asik ini," bisiknya pelan, menatap ke arah para gadis.
"Udah ikut aja," tegas Danu.
Galang mencibir pelan, "Ciee… ngelindungin adek atau diri sendiri, sih?"
Namun akhirnya ia bangkit juga, dan mengikuti Danu ke dalam rumah. Mereka melangkah ke dapur, dan tanpa banyak kata, Danu mulai mengambil beberapa cemilan dari lemari dan minuman kaleng dari kulkas. Galang, yang sejak tadi ngikik sendiri, akhirnya buka suara sambil mengangkat alis.
"Tumben lo gak ngomel dikerubungi cewek-cewek, Nu. Biasanya kan lo paling anti?"
Danu mendesah sambil membuka bungkus keripik. "Gue gak pengen temen-temennya Nadia ngerasa gak nyaman. Kalo gue pasang muka jutek kayak biasanya, nanti dikira sombong."
Galang menyandarkan punggung ke meja dapur sambil nyengir penuh arti.
"Apa jangan-jangan karena temen-temen adek lo seksi semua ya? Ngaku lo!"
Danu melempar bungkusan keripik ke arah Galang, dan mendarat di dada nya. "Cabul! Gue cuman gak pengen adek gue gak punya temen kalo gue berlaku seperti biasanya."
"Uhuy... pembelaan dari seorang kakak idealis," ejek Galang dengan tawa pelan.
Danu mengambil nampan, menaruh semua cemilan dan minuman di atasnya. "Udah, bawa ini ke luar. Biar gak keliatan kita ngumpet."
Galang mengangkat dua jempol. "Siap, Mas Danu si Kakak Idaman."
Mereka berdua kembali ke teras. Teman-teman Nadia langsung menoleh bersamaan. Danu meletakkan nampan di meja dengan hati-hati, diikuti Galang yang malah dengan gaya sok pahlawan mempersembahkan minuman ke arah para gadis.
Begitu cemilan dan minuman tersaji di meja, suasana makin mencair. Salah satu teman Nadia, yang berambut panjang dan memakai sweater crop top, langsung berkomentar setengah bercanda tapi terdengar serius di telinga Danu.
"Omaygat Nad, pacar lo perhatian banget sih. Paket lengkap ya! Ganteng, kalem, care lagi..."
Seketika Danu membeku di tempat. Ia menoleh cepat ke arah cewek yang bicara, lalu langsung menatap Galang. Galang menoleh balik, menahan ketawa setengah mati.
Keduanya bertukar tatapan penuh arti. Danu panik, Galang puas.
"Pa-pacar?" gumam Danu, pelan tapi jelas terdengar.
Galang menahan tawa, bibirnya bergerak kecil namun bersuara, "Sabar, Nu."
Nadia yang sedari tadi duduk manis langsung tertawa kecil. "Astaga, kalian ini cepet banget simpulannya..."
Tapi bukannya mengoreksi, Nadia malah tersenyum makin lebar. Ia hanya menatap kakaknya yang kini wajahnya mulai berubah warna, antara bingung dan keki.
Gadis yang tadi nyeletuk malah makin semangat, "Lah beneran bukan? Duh Nad, aku sampe tadi siang masih percaya lo jomblo! Fix hati cowok-cowok yang suka sama lo langsung patah denger ini!"
"Fix sih," sahut temannya yang lain. "Gak ada saingan yang sekelas. Yang ini... spek model banget."
Danu hanya bisa menghela napas pelan, lalu melirik Nadia tajam.
Nadia? Senyum manis. Menikmati. Usil level dewa. Namun tak lama kemudian, ia akhirnya menyudahi permainan nya sendiri.
"Ehem. Sebelum asumsi kalian makin liar, mending kenalan dulu deh," katanya sambil menoleh ke arah dua cowok di samping nya"
"Yang ini..." katanya sambil menunjuk Galang yang langsung pasang gaya sok cool, "... Kak Galang, temen kuliah kakakku."
Galang mengangguk kecil, "Halo semuanya."
"Dan yang ini..." Nadia menoleh ke arah Danu, lalu senyumnya makin lebar. "...ini bukan pacar ku. Tapi dia cinta keduaku, setelah papa. Ya, dia kakak kandung ku, Mas Danu.”
Sejenak hening. Lalu terdengar suara:
"Hah?? Ka-kakak??"
"Bentar, bentar, bentar... jadi yang dari tadi kita kira pacar lo itu..."
"...adalah kakak lo sendiri???"
"YA AMPUN NAD!"
Nadia hanya mengangguk penuh kemenangan. "Tuh kan, seru banget liat ekspresi kalian."
Galang menambahkan dengan suara nyaris tak tertahan, "Biasa, mas-mas misterius gini emang suka disangka pacar..."
Danu menyentil lengan Galang tanpa ekspresi. "Lo diem."
Rani, yang tadi duduk paling depan, langsung menutupi wajahnya, malu setengah mati. "Aku tadi selalu manggil dia 'pangeran', Nad! Astaga malunyaaa..."
Shafa melirik ke Galang lalu kearah Danu. "Yaudah lah, daripada malu terus... mending kenalan beneran deh. Halo kak, kenalin namaku Shafa."
"Aku Rani."
"Nabila."
"Ayu," yang terakhir mengangguk sopan ke Galang, lalu mengalihkan pandangan ke Danu yang masih terlihat agak kikuk.
Setelah semua selesai memperkenalkan diri, Nadia pun menyambung,
"Ya, jadi sekarang udah kenal semua ya. Jangan salah paham lagi. Kakakku ini memang agak jutek tampangnya, tapi baik kok. Sumpah."
Galang nyeletuk pelan, "Kalau mood-nya lagi stabil..."
Danu hanya bisa menghela napas panjang. "Gue nyesel turun bawa cemilan."
Yang lain langsung tertawa. Suasana yang tadinya sempat tegang, jadi cair lagi. Danu duduk kembali di kursinya, meski kali ini dengan wajah lebih kalem dan senyum tipis yang terpaksa, setidaknya berusaha tak terlalu canggung.
Rani yang tadi sempat salah sangka, malah sekarang duduk lebih dekat ke arah Galang. Dan entah kenapa, Galang tampak lebih menikmati momen itu daripada Danu. Bahkan ia sempat melirik Danu dan mengangkat alis sambil berbisik, "Gue dapet jackpot, Nu. Makasih ya."
Danu menggeleng pelan. Malam itu, halaman rumah mereka berubah jadi semacam gathering kecil yang tak direncanakan. Tapi meskipun dadakan, suasananya hangat.
*****
Skip di pagi harinya,
Mentari baru saja menembus jendela dapur, sinarnya hangat memantul di permukaan meja makan yang sudah tertata rapi. Aroma nasi goreng buatan mama memenuhi ruangan, menyatu dengan wangi teh manis dan susu putih yang juga menghiasi meja makan.
Danu duduk di kursi paling pojok, memakai kemeja hitam lengan pendek dan celana jeans putih. Rambutnya setengah basah, sisa ritual keramas pagi ini. Di sebelahnya, Galang duduk dengan kaos oversize putih, celana jeans pudar, dan sebuah jaket tergantung di sandaran kursi, gaya santai seperti biasa, meski mata masih agak sipit karena ngantuk.
Di seberang mereka, duduklah Nadia. Gadis remaja itu tampak cerah, mengenakan blus lengan panjang berwarna putih susu dengan kerah renda kecil dan rok panjang krem yang jatuh lembut sampai mata kaki. Di atas blusnya, ia memakai rompi rajut warna pastel. Penampilannya sederhana tapi anggun, khas gadis SMA yang manis dan sopan. Rambut panjangnya dikuncir rapi ke samping, membuat wajahnya yang cerah semakin bersinar pagi itu.
"Nad, kamu bawa bekalnya kan? Jangan cuma andelin makanan dari sana, ya. Apalagi kalau di alam, siapa tahu cuaca berubah-ubah." tanya mama sambil menuangkan teh manis ke gelas.
"Iya, Ma. Ini bawa roti, air mineral, sama madu sachet. Kata kakak pembina, buat jaga stamina. Apalagi acaranya dua hari dua malam" jawab Nadia santai.
Danu langsung berhenti makan. Galang pun refleks menoleh ke Nadia, lalu berpaling ke Danu. Mereka saling pandang.
"Hah? Dua hari dua malam?"
Nadia tersenyum canggung, tapi cepat-cepat mengubah ekspresinya jadi manja. Ia menyandarkan dagu ke tangannya, menatap Danu dengan mata berbinar.
"Hehe... aku lupa bilang, maafin yaa... Tapi seru lho kak, di bukit, dekat air terjun. Camping beneran, nanti kami mendirikan tenda sendiri."
Danu memijit alisnya, kelihatan mau protes. "Kenapa baru bilang sekarang sih..."
Tapi Nadia langsung memelintir senjatanya. Wajah memohon, bibir sedikit manyun, dan suara lembut yang selalu jadi kelemahan Danu.
"Pleaaase.... Mas Danu antarin, ya. Aku nggak nyaman kalau bukan sama Mas Danu. Nanti aku traktir cilok pas pulang, deh... dua bungkus!"
"Kalah, Danu. Kalah telak," celetuk Galang sambil meneguk tehnya.
Danu hanya bisa mendengus pelan, lalu mengangguk, ekspresinya seolah kalah sebelum bertanding.
"Yaudah, yaudah... Tapi kau beneran harus jaga diri. Jangan bikin masalah disana"
Mama Danu yang dari tadi memperhatikan, hanya tersenyum simpul. Papa pun ikut tersenyum dari balik koran, lalu merogoh dompet, mengambil beberapa lembar uang, lalu meletakkannya di atas meja.
"Nih, buat tambahan pegangan, Nu. Sekalian hadiah karena kalian bersedia jagain adik kalian."
"Wah, rejeki anak baik... Alhamdulillah." Danu langsung menyambar uang itu dan tersenyum penuh kemenangan.