Kiran adalah seorang gadis berusia 34 tahun yang sudah menyandang gelar perawan tua dihadapkan pada 2 pilihan, menikah dengan Aslan yang sudah memiliki istri atau tetap menjadi simpanan mantan kekasihnya yang sudah lebih dulu menikah.
Antara cinta dan hidupnya sendiri, mana yang akan Kiran perjuangkan?
✍🏻 revisi typo dan pemberian judul bab 💕
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lunoxs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13
Jam 10 malam, semua acara sudah selesai. Para tamu undangan pun sudah tak tersisa satupun. Hanya tinggal beberapa pekerja Wedding Organizer (WO) yang sedang membereskan beberapa dekorasi.
Umi, Abi dan Maya pun sudah pulang ke rumah mereka. Menyisahkan aku, Aslan, mas Fahmi dan Mbak Tika di ruang keluarga ini.
Aku masih mengenakan kebaya, Aslan pun masih menggunkan setelan jas lengkap. Kami duduk bersebelahan, mendengar petuah yang akan Mas Fahmi berikan.
"Ran." Ucapnya pelan, aku tau mas Fahmi pasti hanya ingin memarahi aku. Entahlah, dimatanya aku memang selalu salah.
"Selamat ya, sekarang kamu sudah menikah. Sudah menjadi seorang istri ..."
Aku mengangkat wajahku yang sedari tadi menunduk
Deg! Dadaku langsung sesak dengan nafas yang tercekak, ku lihat mas Fahmi menangis, air matanya mengalir meski tanpa suara isakan.
Melihat itu, mendadak aku jadi sangat sedih. Lebih baik aku dimarahi saja daripada harus melihat mas Fahmi menangis seperti itu.
Aku meremat kedua tanganku diatas pangkuan.
"Maafkan aku, aku sadar, selama ini aku tidak memperlakukanmu dengan baik. Sebagai seorang kakak, aku selalu menyalahkanmu ..."
Tak sanggup, aku menggigit bibir bawahku kuat. Sementara air mataku berjatuhan tanpa permisi.
Aku mencoba menutupi tangis ini dengan kembali menunduk.
"Aslan, aku mohon. Jaga, lindungi dan bahagiakan Kiran, sesuatu yang tidak pernah bisa aku berikan pada adik ku."
Tidak! Aku menggeleng pelan dengan air mata yang semakin deras mengalir hingga jatuh ke pangkuan.
Bukan seperti itu Mas, bukan!
Perlahan, kurasakan genggaman tanganku diraih oleh Aslan. Dibukanya genggamanku yang tertutup rapat, lalu ditautkannya jemari kami.
Aku tersentuh, entah kenapa aku tak merasa terganggu atas tindakannya itu.
Mungkin, karena kini aku memang butuh ditenangkan.
"Insya Allah, Mas, Insya Allah saya akan menjaga, melindungi dan membahagiakan Kiran. Dia sekarang adalah istri saya, tanggung jawab saya." jawab Aslan yakin.
Mendengar itu hatiku menghangat, kegundahan ku mendadak hilang entah kemana.
"Ya sudah, masuklah, istirahat." titah mas Fahmi, ia menghapus air matanya sendiri dengan kasar, sementara mbak Tika tersenyum kecil seraya terus mengelus punggung mas Fahmi dengan lembut.
Melihat itu, aku melepas genggaman Aslan dan bangkit dari duduk. Aku bersimpuh dikaki mas Fahmi, menangis dengan air mata yang tumpah ruah.
"Maafkan aku Mas ...," lirihku dengan sesenggukan.
"Maafkan aku ...."
"Maafkan aku ...."
"Mas juga minta maaf Ran," balas mas Fahmi, ia juga memelukku tak kalah erat. Baru kali ini kami saling berpelukan. Seingatku, dulu kami terakhir berpelukan adalah saat bapak dan ibu meninggal.
Perlahan, ku rasakan mas Fahmi melepaskan pelukan kami. Aku mendongak dan menatap matanya yang basah.
"Aku mohon, terimalah Aslan sebagai suamimu yang sesungguhnya." ucapnya lirih penuh permohonan, aku tau mas Fahmi tak ingin aku hanya menjadikan pernikahan ini sebagai cara untuk melupakan mas Alfath.
Aku mengangguk pelan sebagai jawaban dan ku lihat mas Fahmi tersenyum kecil.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Dan disinilah aku kini berada, di kamar ku yang sudah dihias menjadi kamar pengantin.
"Masuklah Lan." kataku saat ku lihat Aslan hanya berdiri diambang pintu, memperhatikan tiap sudut ruangan ini.
Aslan tak langsung menjawab, ia menatapku seraya tersenyum kecil.
Aneh!
"Ran, mulai sekarang panggil aku Mas, jangan lupa, aku ini suamimu," ucapnya setelah ia masuk dan berdiri tepat dihadapanku.
Aku mencebik, memalingkan wajah, tak sudi menatap wajahnya. Wajah muda yang berlagak sudah dewasa.
"Daripada cemberut seperti itu, lebih baik lepas bajumu, cuci muka dan istirahat." jelas Aslan, setelah itu ia berlalu menuju koper kecilnya yang sudah ia bawa sedari tadi pagi.
Ku perhatikan pergerakannya, ia berjongkok dan mulai membuka koper itu jadi 2 bagian. Ia membolak balikkan baju berulang seolah sedang mencari sesuatu.
Huh! aku menghela napas, kenapa melihatnya seperti itu malah membuat ku tak tega, bodohnya aku malah ingin mengurus keperluannya.
Ah sial!
Harusnya aku tidak usah peduli pada orang ini.
Perlahan, aku mendakti Aslan, berdiri tepat disampingnya.
"Apa yang kamu cari?" tanyaku sambil melipat kedua tangan didepan dada.
Ia mendongak dan menatap kearahku, "Handuk." Jawabnya singkat lalu kembali memperhatian seisi koper kecil itu.
"Sepertinya aku lupa bawa handuk, padahal aku ingin mandi. Apa aku boleh pinjam handuk mu?" tanyanya setelah bicara panjang kali lebar.
Lagi, aku menghela napas dan mengangguk.
"Mandilah lebih dulu, aku tidak mandi, hanya cuci muka saja nanti." jawabku ketus, lalu beranjak ke meja hias.
Melepas hijab dan menghapus semua riasan.
Hingga ku dengar pintu kamar mandi yang dibuka dan ditutup.
Ku lirik kopernya yang masih berserak di dekat nakas.
Ah! kenapa aku harus peduli.
Aku kembali melanjutkan niatku, melepas hijab dan menghapus semua riasan. Rambut ku ikat tinggi-tinggi.
Selesai dengan wajah, aku menuju lemari pakaian, memilih baju tidur yang akan aku gunakan malam ini, celana panjang dan baju pendek.
Mendengar kamar mandi yang masih berisik dengan air, aku buru-buru mengganti baju.
"Alhamdulilah, selesai," desisku ketika aku sudah selesai mengganti baju.
Aku duduk disi ranjang, kembali memperhatikan koper menyebalkan itu.
Bodoh.
Aku bangkit dan mulai berjongkok, mengeluarkan semua pakaiannya dan memindahkannya ke dalam lemari pakaian yang sama denganku. Aku juga sudah menyiapkan satu stel baju tidur diatas nakas untuk pria bodoh itu.
"Katanya di rumah ini seminggu, masa iya dia seminggu disini bajunya dikoper terus. Harusnya ngomong dong, Ran tolong beresin bajuku, gitu. Bukannya hanya diam, buat seolah-olah aku ini orang jahat." Aku terus menggerutu, dengan kasar aku kembali menutup koper ini.
"Mulut tidak berguna ya seperti itu."
Aku menarik koper dan ingin meletakkannya diatas lemari.
"Ini hanya koper kecil kenapa berat banget, ih! susah lagi ...."
"Nggak koper nggak orangnya sama-sama bikin repot!"
"Ini gimana sih! susah banget!"
Aku bahkan sampai berjinjit tapi koper ini tetap juga tak terangkat.
"Sudah tahu tidak bisa, kenapa dipaksa." Ucap Aslan tepat ditelinga, dadanya yang basah menempel tepat di punggungku.
Dengan sekali gerakan, ia meletakkan koper itu diatas lemari.
"Astagfirulahalazim Aslan! bersuara dong! biar nggak ngagetin orang!" kesalku sambil berbalik.
Deg! Seketika itu juga ada gelenyar aneh yang merasuki tubuhku, melihatnya tak memakai baju seperti itu membuat ku ingin memukul dadanya keras.
Bug!
"Pakai baju! tidak sopan!" ketusku, setelah mengatakan itu aku berlalu menuju kamar mandi dengan mulut yang lagi-lagi menggerutu.
"Dasar tidak sopan! tidak tahu malu ..."
"Kalaupum tidak punya malu harusnya hargai aku, tanya, apa aku sudi melihat tubuhnya atau tidak ..."
Ku tatap wajahku yang terasa panas, di dalam cermin westafel.
Seketika itu juga aku tercenung, menatap tak percaya pada pantulan diriku.
"Kenapa pipiku merona?"
adanya iya meranaaa