Ketika Violetta Quinn, saudari kembar yang lembut dan penurut, ditemukan tak sadarkan diri akibat percobaan bunuh diri, Victoria Thompson tak bisa menerima kenyataan itu begitu saja. Tidak ada yang tahu alasan di balik keputusasaan Violetta, hanya satu kenangan samar dari sang ibu: malam sebelum tragedi, Violetta pulang kerja sambil menangis dan berkata bahwa ia 'Tidak sanggup lagi'.
Didorong rasa bersalah dan amarah, Victoria memutuskan untuk menyamar menggantikan Violetta di tempat kerjanya. Namun pencarian kebenaran itu justru membawanya ke dalam dunia gelap yang selama ini Victoria pimpin sendiri; Black Viper. Jaringan mafia yang terkenal kejam.
Di sanalah Victoria berhadapan dengan Julius Lemington, pemilik perusahaan yang ternyata klien tetap sindikat Victoria. Tapi ketika Julius mulai mencurigai identitas Victoria, permainan berbahaya pun dimulai.
Victoria masuk dalam obsesi Julius.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12. JANGGAL
Suara mesin infus berdetak pelan di sudut ruangan, setiap tetesnya terdengar seperti waktu yang menetes lambat, menahan setiap detik agar tak benar-benar berlalu. Bau antiseptik menusuk hidung, bercampur dengan samar aroma bunga mawar putih yang diletakkan di meja kecil di sisi tempat tidur.
Victoria berdiri diam di sisi ranjang itu. Tangannya menggenggam jemari Violetta yang dingin, pucat, namun masih terasa sedikit hangat. Adik kembarnya itu terbaring tanpa gerak, wajahnya tenang namun terlalu sunyi, seperti tengah bersembunyi di antara kabut mimpi yang dalam.
"Kenapa, Vio?" gumam Victoria lirih, matanya bergetar menahan perih. "Kenapa sampai sejauh ini?"
Ia menunduk, jari-jarinya mengelus rambut Violetta yang jatuh di dahi. Bayangan hari-hari mereka kecil dulu terlintas, Violetta yang selalu bersembunyi di balik punggungnya saat takut, yang selalu tersenyum bahkan ketika menangis diam-diam karena nilai ujiannya jelek.
Namun gadis itu kini diam, terlalu diam.
Suara langkah masuk ke ruangan, pelan memecah keheningan.
Aiden berdiri di ambang pintu, masih mengenakan jaket kulit hitam, rambutnya acak-acakan seperti baru keluar dari rapat panjang atau medan perkelahian. Wajahnya kaku, rahang mengeras.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Aiden pelan.
"Masih sama," jawab Victoria tanpa menoleh. "Dokter bilang kondisinya stabil, tapi belum sadar."
Aiden menghela napas panjang, menatap adik kembarnya yang terbaring. "Ini bukan Violetta yang aku kenal," gumamnya. "Dia bukan tipe orang yang menyerah. Bukan dia walau dia terkesan naif dan lemah."
Victoria mengangguk pelan. "Aku juga berpikir begitu. Aku tahu ada sesuatu yang lebih besar, Aiden. Bukan hanya karena pengkhianatan kekasihnya, bukan karena drama kantor itu. Ada hal lain. Aku bisa merasakannya."
Aiden berjalan mendekat, menatap layar monitor yang menampilkan denyut nadi Violetta. "Kau pikir ada yang menyakiti dia?"
"Mungkin." Suara Victoria merendah. "Atau mungkin ada seseorang yang membuatnya berpikir tidak ada jalan lain selain ... ini."
Aiden diam. Jemarinya mengetuk pelan pinggiran ranjang, matanya menatap kosong.
"Aku sudah mencoba menelusuri kontak terakhirnya. Telepon, pesan, e-mail. Semuanya bersih. Terlalu bersih, malah."
Victoria mengerutkan dahi. "Bersih bagaimana?"
"Seolah-olah ada seseorang yang sengaja menghapus semuanya sebelum kita sempat melihat," jawab Aiden.
Tatapan Victoria mengeras. "Seseorang dari kantor?"
"Mungkin." Aiden menatapnya. "Atau seseorang yang tidak ingin rahasia tertentu terbongkar. Aku pikir kita harus masuk lewat jalur lain."
Victoria mengangkat kepala, mulai memahami arah pembicaraan kakaknya. "CCTV dan jejak digital?"
Aiden mengangguk. "Kita punya Nero, bukan? Hacker kita di Black Viper. Dia bisa melacak aktivitas dari komputer kantor, ponsel, laptopnya Violetta, bahkan kalau sudah dihapus."
Nama itu membuat Victoria sedikit tersenyum. "Nero tidak akan menolak permintaan darurat. Aku akan hubungi dia malam ini."
Aiden menatap Victoria dengan ekspresi serius, nada suaranya lebih berat. "Kau tahu, Vivi ... kalau memang ada seseorang yang mendorong Violetta sejauh ini, aku tak akan diam."
Victoria menatap kakaknya lama, lalu berkata pelan, "Kita tidak bisa gegabah. Aku tahu kau marah, tapi kita butuh bukti dulu, Aiden."
Aiden mendengus, tapi ia tahu adiknya benar. "Baiklah. Tapi aku ingin tahu siapa bajingan yang membuat Violetta berpikir hidupnya tidak berharga."
Suasana kembali hening. Hanya suara mesin yang berdetak dan napas mereka yang teratur dalam ruang putih itu.
Setelah beberapa saat, Aiden menatap Victoria dengan sorot berbeda, ada tanya yang belum terucap. "Ngomong-ngomong ... aku dengar sesuatu tentang Julius."
Victoria mendadak menegakkan tubuhnya. "Julius?"
"Ya. Julius Lemington. Aku dengar dari Ayah kalau kau ... cukup sering berurusan dengannya belakangan ini."
Victoria mendecak pelan. "Bukan aku yang ingin berurusan dengannya. Dunia saja yang suka mempermainkanku."
Aiden menyipitkan mata. "Dunia? Atau dia?"
Victoria menatap lantai, lalu menghela napas panjang. "Kau tahu sifatnya, Aiden. Menyebalkan, sok misterius, dan kadang seperti tidak punya urat malu."
"Tapi?"
"Tapi dia juga menjagaku dengan baik, di kantor, bahkan saat ada pembegalan saat jalan pulang. Walau aku tidak menyangka dia begitu lihai dengan pistol dan tidak segan mengambil nyawa orang lain seolah sudah terbiasa," kata Victoria.
Aiden menatapnya lama, mencoba menebak sisanya. "Aku sudah dengar soal insiden itu. Dan bukan cuma aku. Ayah juga tahu. Tapi yang lebih mengejutkan, Vivi."
"Apa?" tanya Victoria.
Ia berhenti sejenak, lalu menatap Victoria dengan serius. "Kau tahu kenapa Julius dicap berbahaya oleh Black Viper?"
Victoria menggeleng pelan. "Aku hanya tahu dia pernah ada dalam daftar observasi, tapi tidak tahu alasannya."
Aiden menatap lurus ke arah jendela, suaranya berubah berat. "Karena dia membunuh dua pamannya. Dengan tangannya sendiri."
Victoria terpaku.
"Ya." Aiden mengangguk pelan. "Dan sekarang, kabarnya dia sedang mengincar paman tertuanya. Bahkan mungkin kakeknya sendiri."
Ruangan itu mendadak terasa dingin. Victoria mundur satu langkah tanpa sadar. "Kau ... kau bercanda, kan?"
"Sayangnya tidak." Aiden memasukkan kedua tangannya ke saku jaket. "Aku tahu kedengarannya gila, tapi aku punya catatan. Motifnya ... balas dendam."
"Balas dendam?"
"Ya." Aiden melanjutkan, suaranya kini datar namun tegas. "Karena keluarga Lemington-lah yang menghancurkan hidup kedua orang tuanya."
Victoria tak bergerak. Hanya matanya yang menatap lurus ke arah Aiden, berusaha memahami cerita yang terasa seperti dongeng kelam.
Aiden menarik napas dalam-dalam. "Dulu ayah Julius adalah anak kedua keluarga Lemington. Ia jatuh cinta dengan seorang perempuan biasa, ibu Julius. Mereka menikah diam-diam, tapi ketika kakeknya tahu, semuanya berubah. Ia marah besar. Menyebut pernikahan itu aib keluarga. Ia menyingkirkan ayah Julius dari silsilah keluarga dan memerintahkan semua koneksi Lemington memblokir nama mereka di seluruh bidang pekerjaan. Ayah Julius tidak bisa bekerja, ibunya tidak bisa berobat karena rumah sakit menolak pasien yang 'terkait' dengan keluarga Lemington."
"Oh God," bisik Victoria, matanya membulat.
"Dan ketika ibunya sakit keras, kakeknya memerintahkan agar tidak ada rumah sakit di bawah jaringan Lemington yang menerima pasien itu. Ibu Julius meninggal karena tidak sempat dirawat. Ayah Julius marah. Sangat marah. Ia datang ke rumah besar Lemington dengan pistol. Tapi sebelum sempat menembak sang kakek, ia ditembak mati oleh paman tertua Julius." Aiden berhenti, suaranya menurun.
Victoria menutup mulutnya, tak percaya.
"Julius masih kecil waktu itu. Tapi dia melihat semuanya," lanjut Aiden pelan. "Kau bisa bayangkan bagaimana trauma itu menggerogotinya selama bertahun-tahun."
"Lalu ... bagaimana dia bisa kembali ke keluarga itu?" tanya Victoria.
"Kakeknya mengambilnya. Katanya demi menebus kesalahan masa lalu, tapi sebenarnya untuk mengendalikannya. Julius dipaksa belajar bisnis keluarga, dipersiapkan mengambil alih DeLuca Corp. Tapi ...," Aiden berhenti sebentar, menatap Victoria lurus. " ... kelak perusahaan itu akan diwariskan ke Leon, sepupu Julius. Anak emas keluarga. Pewaris sah."
"Leon, si brengsek itu?" Victoria berbisik. Nama itu terasa getir di bibirnya. Leon, kekasih Violetta.
"Ya. Karena menurut kakeknya Leon generasi termuda yang memiliki darah Lemington yang tidak ternodai oleh darah orang biasa. Pria tua gila," umpat Aiden di akhir kalimat.
Victoria menggenggam tepi ranjang lebih erat. "Jadi semua ini ... Julius membalas dendam karena keluarganya dihancurkan, dan karena perusahaan yang seharusnya miliknya malah diberikan ke Leon?"
Aiden mengangguk. "Dia ingin menghancurkan semuanya, Vivu. Semua garis keturunan Lemington, termasuk kakeknya sendiri, bahkan Leon."
Victoria menatap kosong ke arah Violetta yang masih tertidur. Rasanya dunia di sekitarnya berputar pelan. Pria yang selama ini menatapnya dengan sinis, yang menggoda dengan kalimat licik dan sering membuatnya kesal, ternyata membawa luka sebesar itu di dadanya.
Untuk pertama kalinya, Victoria merasa sesuatu yang berbeda ... empati yang menyakitkan.
"Dia hidup dengan bayang-bayang dendam," kata Aiden lagi. "Dan itu yang membuatnya berbahaya. Dia punya koneksi ke banyak tempat, bahkan ke instansi pemerintahan. Orang seperti dia bisa menekan tombol kehancuran kapan saja."
Victoria menatap kakaknya. "Tapi dia tidak terlihat seberbahaya itu ketika denganku."
Aiden menatap balik. "Kadang orang yang tenggelam dalam kegelapan masih punya sisa cahaya. Tapi itu tidak berarti kau harus mendekat."
Victoria tertawa pelan, tapi getir. "Sulit untuk tidak mendekat ketika kegelapan itu terus menarikmu."
"Jangan bermain dengan api, Vivi," Suara Aiden tajam kini. "Julius bukan pria yang bisa ditebak. Dia tidak mencintaimu seperti orang normal. Kalau dia terobsesi padamu, itu bisa berbahaya."
Victoria mengangkat dagunya sedikit. "Aku tahu cara menghadapi orang seperti dia."
"Benarkah?"
"Aku pernah menghadapi orang lebih gila dari dia. Kau pasti ingat kejadian dengan si bajingan Sean," kata Victoria penuh kebencian.
Aiden tersenyum miring. "Tapi tidak ada yang seberbahaya pria yang punya luka seumur hidup, Vivi. Mereka bisa mencintai dan menghancurkan dengan cara yang sama."
Victoria menunduk, menatap wajah Violetta lagi. Jemarinya menggenggam tangan adiknya lebih erat, seolah dengan begitu ia bisa memindahkan kekuatan.
"Mungkin," katanya pelan, "tapi aku tidak bisa menutup mata. Julius mungkin berbahaya, tapi dia juga bisa jadi kunci untuk membuka apa yang sebenarnya terjadi. Leon adalah bagian dari keluarganya, dan Leon adalah kekasih Violetta, dia pasti tahu sesuatu."
Aiden menatapnya tajam. "Kau pikir Julius tahu sesuatu?"
"Bisa jadi."
"Kau berencana mendekatinya?"
Victoria tersenyum samar. "Aku tidak perlu mendekat. Julius selalu datang sendiri."
Aiden menghela napas berat. "Kau keras kepala seperti biasanya."
"Kau juga," balas Victoria dengan senyum kecil.
Malam menjelang, langit di luar jendela rumah sakit berubah kelabu kebiruan. Victoria masih duduk di sisi ranjang, sementara Aiden menatap layar ponselnya. Ia baru saja mengirim pesan pada Nero, menyertakan data identitas Violetta dan tanggal kejadian.
"Dia bilang akan mulai sekarang," ujar Aiden. "Tapi mungkin butuh waktu beberapa jam."
"Bagus." Victoria bangkit, merapikan rambutnya yang terurai. "Aku akan kembali ke rumah. Ada beberapa dokumen yang mungkin berguna untuk Nero."
Aiden menatapnya khawatir. "Mau aku antar?"
Victoria menggeleng. "Tidak perlu. Aku bisa sendiri. Aku butuh sedikit waktu juga untuk berpikir."
Aiden mengangguk pelan. "Baiklah. Tapi hati-hati."
"Selalu," jawab Victoria, lalu menatap Violetta sekali lagi sebelum melangkah pergi.
Malam ini ia akan benar-benar mencari tahu dengan amar serius tentang Violetta yang tidak Victoria tahu. Karena ia yakin kalau hal ini bukan sekedar bully atau pengkhianatan.
makin seru Victoria luar biasa mendalami peran nya hehe
semoga rencana Julius dan Victoria berhasil
semangat juga thor 💪
Sean obsesi bgt ke Victoria
boleh nggak sih ku gempur itu retina si sean thooorr ??😡😡😡😡
badai pasti berlalu
semangat Vivi, pelan-pelan pasti kamu bisa .
Julius selalu bantu Vivi biar dia kuat dan bisa menghadapi semuanya