Luna punya segalanya, lalu kehilangan semuanya.
Orion punya segalanya, sampai hidup merenggutnya.
Mereka bertemu di saat terburuk,
tapi mungkin… itu cara semesta memberi harapan baru..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CHRESTEA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
New place
Luna berjalan pelan di lorong panjang, langkahnya ringan tapi pikirannya masih penuh bayangan dari pertemuan terakhir dengan Orion.
Setiap kata yang keluar dari pria itu seperti menggema di kepalanya dingin, tapi jujur.
Damian muncul dari ruang dokter dengan map di tangan. Wajahnya tampak lelah, tapi matanya langsung melembut saat melihat Luna.
“Sudah selesai?”
Luna mengangguk. “Iya. Sepertinya dia mulai mau bicara.”
Damian tersenyum kecil. “Serius? Biasanya dia cuma jawab tiga kata, lalu nyuruh orang keluar.”
“Untung aku belum disuruh.”
Damian tertawa pendek. “Berarti kamu lulus tahap pertama.”
Mereka berjalan bersama menuju lobi rumah sakit. Langit di luar mulai gelap, hujan ringan turun lagi, menyisakan aroma tanah basah di udara. Begitu sampai di depan pintu keluar, Damian berhenti dan menatap Luna ragu.
“Oh iya, tadi temen kamu bilang harus pergi dulu, katanya ada urusan penting di perusahaan."
"Oh,Iya. Tadi sebelum pergi, teman kamu juga titipin koper kamu. Eh, kamu mau pergi?" tanya Damian hati-hati.
Luna mengangguk kecil. "Tadinya aku pikir akan pulang ke Indonesia. Tapi, waktu perjalanan aku dapat pesan dari kak Dami."
"Ooh.. kamu pulang buat liburan?"
Luna menggeleng lembut. "Tabunganku tinggal sedikit, aku tidak punya penerjaan disini dan biaya tinggal di tempatku terlalu besar."
"Jadi? Kamu pindah tempat?"
"Iya.."
"Dimana?" tanya Damian.
Luna meremas jari-jarinya kuat. Dia terlalu malu untuk menceritakan kondisinya pada orang yang baru dia temui. Meskipun pria itu akan menjadi kakaknya.
Damian menatap Luna, gadis itu terlihat gelisah. Dia yakin jika Luna saat ini belum punya tempat tinggal. Anehnya ada perasaan ingin melindungi saat melihat Luna. Mungkin karena dia tahu gadis itu calon adiknya.
"Eh,aku bukannya mau gak sopan atau buat kamu gak nyaman. Mungkin kalah kamu mau, bisa tinggal di tempatku?" tawar Damian hati-hati.
Luna menolak cepat. “Jangan kak..aku tidak mau merepoti kakak."
Damian menatapnya beberapa detik, lalu berkata dengan nada lembut, “Gak repot kok. Lagi pula sebentar lagi kita akan jadi keluarga, gak ada salahnya saling bantu. Tempatnya juga dekat, cuma di belakang rumah sakit. Kamu bisa hemat banyak."
"Tapi kak.."
“Gini aja, anggap itu bonus tambahan dari aku. Karena kamu bantu ngadepin pasien paling keras kepala di rumah sakit ini. Itu udah jasa besar. Anggap gitu aja oke?.”
Luna tersenyum kecil. “Oke. Makasih banyak ya kak, udah mau bantu aku. Padahal kakak baru ketemu sama aku.”
Damian terkekeh. “Gak masalah. Lihat kamu itu ingetin aku sama adikku. Sepertinya dia jauh lebih tua dari kamu sekitar 2/3 tahun."
"Ohh.. jadi aku punya 2 kakak."
____
Hujan masih turun pelan waktu mereka sampai di rumah kontrakan Damian, rumah dua lantai kecil di belakang rumah sakit, dengan halaman mungil dan tanaman di pot berjejer rapi. Luna berdiri di depan pintu agak lama. Rumah itu sederhana, tapi terasa hangat.
“Silakan masuk,” kata Damian sambil menyalakan lampu.
Rumah itu tidak sebesar apartemennya, tapi semua terlihat rapi. Dapur kecilnya terlihat jelas saat membuka pintu, begitu juga dengan ruang makannya.
Damian membuka pintu kamar berwarna coklat.
“Kamar kamu di sini ya. Kalau kamar aku di lantai dua.Kalau butuh sesuatu, panggil aja.”
“Terima kasih, Kak Dami.”
Damian tersenyum. “Kamu kelihatan capek. Tidur aja dulu. Oh iya, kalau kamu mau makan atau apapun bisa cari di dapur. Kulkas itu selalu aku isi penuh."
"Baik kak.. sekali lagi terimakasih."
"Sama-sama."
Luna baru saja berbaring di tempat tidur saat ponselnya bergetar. Nama di layar- Kai.
“Halo, Kai,” suaranya pelan.
“Kamu di mana sekarang?” nada Kai terdengar cemas.
“Di rumah Kak Damian."
Hening sesaat di seberang.
“Aku jemput kamu ya. Kamu kirim alamtnya ke aku."
"Kai, gak usah. Aku sementara akan tinggal disini."
"Luna,kamu yakin itu aman?”
“Iya. Dia baik. Dan ini cuma sementara.”
“Aku cuma khawatir. Kamu baru kenal dia hari ini.”
Luna tersenyum kecil. “Aku tahu kamu khawatir, tapi aku nggak bisa terus bergantung sama kamu, Kai. Aku harus mulai mandiri."
Kai menarik napas berat dari seberang. “Baiklah. Tapi kalau ada apa-apa, kamu tahu harus hubungi siapa.”
“Iya.”
“Hati-hati, Luna.”
“Selalu.”
Malam itu Luna merasakan kembali yang namanya tidur dengan nyenyak.