Satu tahun penuh kebahagiaan adalah janji yang ditepati oleh pernikahan Anita dan Aidan. Rumah tangga mereka sehangat aroma tiramisu di toko kue milik Anita; manis, lembut, dan sempurna. Terlebih lagi, Anita berhasil merebut hati Kevin, putra tunggal Aidan, menjadikannya ibu sambung yang dicintai.
Namun, dunia mereka runtuh saat Kevin, 5 tahun, tewas seketika setelah menyeberang jalan.
Musibah itu merenggut segalanya.
Aidan, yang hancur karena kehilangan sisa peninggalan dari mendiang istri pertamanya, menunjuk Anita sebagai target kebencian. Suami yang dulu mencintai kini menjadi pelaku kekerasan. Pukulan fisik dan mental ia terima hampir setiap hari, tetapi luka yang paling dalam adalah ketika Anita harus berpura-pura baik-baik saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali ke Sangkar Emas
Anita keluar dari taksi, menjatuhkan dirinya di perempatan komplek. Ia tidak berani meminta taksi mengantar sampai ke depan rumah. Rasa sakit di perutnya menyentak saat ia berjalan cepat di atas paving block menuju gerbang rumahnya. Jantungnya berdebar kencang, menyaingi nyeri pasca-operasi.
Ia melirik jam tangannya: Pukul 16.25. Ia harus ada di dalam.
Setelah berhasil masuk, ia segera naik ke atas, melempar tasnya ke kamar, dan berbaring di tempat tidur. Ia meminum obat pereda nyeri terkuatnya, berharap efeknya bekerja cepat. Ia harus menyiapkan alibi terbaik: terlihat lelah, bukan sakit, dan siap menghadapi pertanyaan Aidan tentang uang.
Tepat pukul 16.40, suara mobil Aidan terdengar memasuki garasi. Lampu mobilnya menembus jendela kamar. Anita memejamkan mata, membiarkan dirinya terlihat seperti tertidur karena kelelahan.
Pintu kamar Anita dibuka tanpa diketuk, membuat Anita terkesiap. Aidan berdiri di ambang pintu, ekspresinya dingin dan penuh perhitungan. Ia tidak tampak marah, tetapi tatapan matanya penuh kecurigaan.
"Kamu sudah pulang," kata Aidan, suaranya datar. "Jam empat sore. Tidak biasanya. Bukankah kamu bilang kamu bosan di rumah?"
Anita memaksa dirinya membuka mata. Ia berbisik serak, pura-pura terkejut. "Mas Aidan? Aku... aku ketiduran. Aku sangat lelah hari ini. Toko sangat ramai."
Aidan melangkah mendekat, mengabaikan kebohongan Anita tentang kelelahan. Ia langsung menuju inti masalah, menunjuk ke laporan keuangan di tas Anita yang tergeletak di lantai.
"Aku telepon Supervisor Keuanganmu tadi pagi," ujar Aidan, nada suaranya berubah tajam. "Dia bilang kamu ada di sana, tapi kamu tidak membalas pesanku. Kenapa kamu tidak segera mengirim setoran bulanan ke rekening holding-ku?"
Aidan kini berdiri di samping tempat tidur. Ia tidak memukul; ia menyerang dengan kata-kata, menggunakan legalitas dan uang sebagai cambuknya.
"Aku tahu kamu sakit," desis Aidan, menatap lurus ke mata Anita. "Tapi itu bukan urusanku. Yang jadi urusanku adalah uangku."
Aidan membungkuk sedikit, suaranya rendah dan mengancam. "Jangan lupa, Anita. Toko itu, Senyum Tiramisu, didirikan dengan modal yang kuberikan. Itu adalah asetku. Kamu hanya pengelolanya."
"Aku membiarkanmu mengelola omsetnya sendiri, tapi itu tidak berarti kamu berhak menahan hakku," lanjut Aidan. "Aku sudah memutus nafkah bulananmu karena kamu sudah punya tiga toko yang kamu kelola sendiri. Kamu menafkahi dirimu sendiri, jadi kamu juga menafkahi aku melalui toko itu."
Anita menahan napas, rasa sakit di perutnya seperti ditusuk. Ia tidak bisa membantah. Di matanya, Aidan tidak menafkahinya, tetapi membiarkannya dieksploitasi habis-habisan. Ia harus membayar semua biaya hidup Aidan, biaya orang tua Aidan, dan sekarang biaya medisnya sendiri, semuanya dari hasil kerja kerasnya sendiri.
"Uang bulanan untuk Mamaku, cleaning service, bahkan makanan yang kamu siapkan itu, semua seharusnya dari omset toko. Dan sekarang kamu menahannya," Aidan menuduh.
"Aku... aku akan transfer segera," bisik Anita, terengah. "Ada sedikit masalah dengan likuiditas, tapi akan kuberikan besok pagi."
Aidan tersenyum dingin, kemenangan telah diraih. "Begitu? Begitu sulitkah untuk mentransfer uangku, sementara kamu bisa menghamburkan uangmu untuk obat-obatan yang tidak berguna itu?"
Aidan menyentuh kening Anita. Sentuhan itu bukan kehangatan, melainkan uji coba.
"Kamu masih sedikit hangat," kata Aidan. "Dengar baik-baik. Aku tidak peduli kamu demam atau tidak. Tapi pastikan besok pagi, uang itu sudah ada di rekeningku. Jangan berani-berani kamu mencoba menguasai asetku."
Aidan berdiri tegak. "Jangan ganggu aku lagi. Aku tidak mau berurusan denganmu saat kamu sakit. Dan jangan harap Sela atau siapa pun datang ke sini untuk melindungi mu. Mereka tahu, kamu sudah cukup menderita karena kecerobohanmu membunuh Kevin."
Aidan kemudian berbalik, mengambil ponselnya, dan meninggalkan ruangan tanpa menutup pintu.
Anita terbaring kembali. Ia berhasil lolos dari kecurigaan tentang keberadaannya, tetapi ia hancur secara finansial dan emosional. Ia baru saja menjalani operasi untuk menyelamatkan nyawanya, tetapi ia harus segera kembali bekerja untuk memenuhi tuntutan Aidan.
Ia memejamkan mata. Ia harus hidup. Ia harus bertahan. Jika ia berhenti bekerja, Aidan akan mengambil alih toko, dan ia akan kehilangan satu-satunya sumber daya untuk melindungi orang tuanya dari kemiskinan dan Sela dari amukan Aidan.