Anisa gadis yatim piatu bekerja sebagai pelayan. Demi keselamatan Sang Majikan dan di tengah rasa putus asa dengan hidupnya, dia terpaksa menikah dengan Pangeran Jin, yang tampan namun menyerupai monyet.
Akan tetapi siapa sangka setelah menikah dengan Pangeran Jin Monyet, dia justru bisa balas dendam pada orang orang yang telah menyengsarakan dirinya di masa lalu.
Bagaimana kisah Anisa yang menjadi istri jin dan ada misteri apa di masa lalu Anisa? Yukkk guys ikuti kisahnya...
ini lanjutan novel Digondol Jin ya guys ♥️♥️♥️♥️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 12.
Jantung Syahrul berdegup kencang, seolah hendak meloncat keluar dari dada nya. Keringat dingin menetes di pelipisnya. Ia sama sekali tidak menyangka jika di ruangan steril rumah sakit itu, di dekat tubuh Ndaru yang terbaring tak berdaya, berdiri sosok mengerikan: jin monyet putih dengan mata menyala merah seperti bara.
Udara mendadak terasa berat. Aroma obat dan alkohol rumah sakit kini bercampur dengan bau anyir dan amis tak wajar.
Syahrul menelan ludah, mencoba meneguhkan hati. Dalam diam, ia merapalkan doa-doa, memohon perlindungan dan pertolongan Allah dari makhluk yang tak kasatmata itu.
Langkah nya tetap mantap, meski lututnya bergetar. Ia menatap balik ke arah jin kera putih itu. Pandangan mereka bertemu. Dua mata merah menyala itu menatapnya tajam, melotot, seolah ingin menembus ke dalam jiwanya. Wajah makhluk itu semakin jelas... moncongnya panjang, giginya runcing dan kuning, bulunya putih keperakan memantulkan cahaya lampu ruangan hingga tampak berkilau menyeramkan.
“Pergi kamu dari sini... kembali ke alam-mu! Jangan ganggu temanku!”
ucap Syahrul dalam hati sambil menguatkan tatapannya.
Dokter di ruangan itu, yang tak melihat apa pun selain udara kosong, menatap Syahrul dengan heran. “Silakan lihat kondisi Mas Ndaru, Mas,” katanya dengan nada biasa, sama sekali tidak menyadari kehadiran makhluk dari dunia lain itu.
Syahrul melangkah lebih dekat ke tempat tidur Ndaru. Setiap langkah terasa berat, seperti menembus dinding tak terlihat. Jin kera putih itu diam saja, justru mulut besarnya mulai bergerak, dan dari sana keluar suara yang menggema, dalam dan serak seperti datang dari dasar sumur.
“Kau yang pergi dari sini, manusia... Aku hanya menjalankan titah dari Sang Ratu.”
Suara nya bergema, membuat udara di ruangan bergetar halus.
“Kalau kau tak pergi... aku akan membuatmu menderita... ha... ha... ha...”
Tawa makhluk itu meledak, memecah kesunyian. Suaranya berat dan panjang, menggema di seluruh ruangan. Bau busuk menyengat keluar dari mulutnya, seperti campuran belerang, bangkai, dan darah basi. Membuat Syahrul hampir mual.
“Kurang ajar...” desis Syahrul lirih. Tangannya bergerak masuk ke dalam saku celananya. Bukan untuk meraih keris kecil pusakanya, sebab ia tak membawanya.
Tangannya menggenggam sesuatu... benda sederhana, namun penuh makna. Dengan satu gerakan cepat, ia mengulurkan tangannya ke arah makhluk itu, tepat ke mulut besar yang masih menganga sambil tertawa.
“Enyah kamu!” ucapnya tegas, sambil menebarkan sesuatu dari genggamannya.
Ratusan butir kristal putih beterbangan di udara, berkilauan seperti serpihan cahaya. Mereka mengenai tubuh si kera putih raksasa .. dan seketika suara tawa itu terhenti. Berganti jeritan melengking.
“Aduuh... perih... perihhh!”
Makhluk itu meraung, suaranya menggetarkan kaca jendela. Tubuhnya menggeliat, tangan panjangnya yang dipenuhi bulu putih keperakan meraih ke arah Syahrul, berusaha mencekiknya.
Syahrul melangkah mundur, terus merapal doa-doa pelindung. Getaran di udara semakin kuat, lampu ruangan berkelap-kelip seperti hendak padam.
“Panas... panas... panas! Perihhh!”
Sosok kera putih itu kini mengusap-usap tubuhnya sendiri, seperti terbakar dari dalam. Sekejap kemudian byar! cahaya putih menyilaukan memenuhi ruangan. Ketika sinar itu mereda, sosok kera putih sudah lenyap.
Hanya aroma menyengat dan beberapa butiran garam yang berserakan di lantai menjadi saksi.
Dokter dan perawat yang ada di ruangan memandang Syahrul dengan bingung. Mereka melihatnya berdiri kaku, menaburkan garam di udara, lalu mundur beberapa langkah dengan wajah tegang.
Setelah memastikan makhluk itu benar-benar hilang, Syahrul menarik napas panjang dan mengucap pelan, “Alhamdulillah.”
Ia menatap dokter dan perawat, lalu berkata sopan, “Maaf, saya sudah mengotori ruangan ini.” Pandangannya jatuh ke lantai, sebagian garam memang menempel di sprei tempat tidur Ndaru.
“Tidak apa-apa, Mas,” jawab dokter, masih takjub. “Tapi... aneh. Kondisi Mas Ndaru sekarang malah membaik.” Ia menatap monitor medis yang menampilkan grafik stabil.
“Alhamdulillah,” ucap Syahrul lagi, lalu menyentuhkan tangannya ke dada Ndaru yang masih tertutup selimut, menyalurkan energi doa.
Dokter mengernyit. “Kalau boleh tahu, sebenarnya apa yang terjadi, Mas? Dari hasil medis, ada organisme asing yang tak bisa kami identifikasi. Tapi... dengan pengobatan spiritual, pasien ini malah pulih.”
Syahrul menatapnya tenang. “Dokter boleh percaya, boleh tidak. Tapi yang menyerang bukan organisme biasa... itu kiriman dari Ratu Jin. Tadi, saya melihat salah satu pengawalnya di ruangan ini, seekor jin monyet putih.”
Dokter menelan ludah. Meski sulit percaya, apa yang ia lihat barusan cukup membuatnya diam. “Saya... saya percaya, Mas. Sudah sering hal semacam ini terjadi.”
“Sekarang, tolong antar saya ke kamar Fatima,” ucap Syahrul, nada suaranya kembali tegas.
“Mari, Mas,” jawab sang perawat.
Mereka berjalan menyusuri koridor panjang yang sunyi, hanya terdengar suara langkah kaki dan dengung AC. Syahrul menaburkan garam spiritual di sekitar Fatima sambil berdoa. Ia sudah diberi pesan oleh Kakek Jin-nya sebelum datang ke rumah sakit, bahwa Ratu Jin tidak akan berhenti begitu saja.
Setelah ritual selesai, Syahrul menemui Bu Hasto di ruang tunggu.
“Terima kasih, ya, Mas,” ucap Bu Hasto dengan mata berkaca-kaca. “Ndaru dan Fatima... mereka membaik.”
“Sama-sama, Bu. Tapi biarlah mereka tetap di ruang ICU dulu,” jawab Syahrul hati-hati. Ia tahu, dari pesan gaib yang diterimanya, bahwa serangan berikutnya akan datang. Namun ia tak tega mengatakannya pada keluarga yang sedang cemas itu.
“Iya, Mas... saya akan menjenguk mereka,” ucap Bu Hasto pelan. Tubuhnya yang lemah berusaha berdiri, dibantu oleh pelayannya.
Syahrul berpamitan, lalu mengambil handphone dari saku jaketnya. Ia menekan nomor Pungki.
“Pung, kamu di mana? Ada hal penting yang harus aku sampaikan,” katanya begitu panggilan tersambung.
“Aku di kos Andien dan Ningrum, Mas. Bagaimana Ndaru dan Fatima?” suara Pungki terdengar cemas di seberang.
“Sementara membaik. Tunggu aku di sana,” jawab Syahrul, lalu menutup telepon.
🏡🏡🏡
Di Rumah Kos Tiga Gadis
Pagi menjelang siang . Di ruang tamu rumah kos, Pungki duduk di depan laptop milik Ningrum. Jemarinya sibuk menekan keyboard, sementara di pangkuannya, Windy tertidur pulas.
Dari arah dapur terdengar suara sendok beradu dengan cangkir.
“Pung, kopinya mau nambah nggak? Sekalian aku bikinin buat Mas Syahrul, dia tadi ngabarin mau ke sini. Katanya ada hal penting,” seru Ningrum
“Boleh, Ning. Sekalian roti bakar ya, aku masih lapar,” jawab Pungki tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop.
“Nasi goreng juga udah siap di meja makan. Kalau mau, langsung ambil aja,” kata Ningrum sambil tersenyum, lalu cepat-cepat menyiapkan dua gelas kopi hangat.
Beberapa menit kemudian, suara motor terdengar masuk ke halaman kos. Suara itu berhenti tepat di depan pintu.
“Itu Mas Syahrul datang,” ujar Ningrum sambil menaruh kopi dan roti di meja ruang tamu, lalu berjalan membuka pintu.
Begitu Syahrul masuk, wajahnya terlihat tegang. Pungki segera berdiri.
“Bagaimana, Mas?” tanya Pungki dengan nada khawatir.
“Repot, Pung,” jawab Syahrul berat. “Kita bakal bolak-balik untuk mengobati mereka. Sang Ratu marah besar... dia tahu Fatima hamil. Maka yang jadi sasaran utamanya adalah keluarga Hasto, lalu Andien. Kamu pun sebenarnya diserang, tapi ada kekuatan yang melindungimu.”
Ningrum yang duduk di sebelah Pungki ikut menimpali, suaranya lirih. “Andien yang bukan prioritas saja sampai begitu parah efeknya... apalagi Ndaru dan Fatima.”
Syahrul mengangguk. “Itu dia masalahnya. Kalau suatu saat aku dan kamu tidak bisa datang. Misalnya kamu sedang di kampus, nggak bisa izin keluar, serangan itu bisa fatal.”
Pungki menatapnya serius. “Mas Syahrul... sudah tanya ke Kakek Jin? Apa ada cara untuk menghentikan Sang Ratu?”
Syahrul menatap kedua nya dengan sorot mata dalam, rahangnya mengeras. Saat itu, hawa di rumah kos seakan ikut menebal, menandakan bahwa perang antara dunia manusia dan dunia jin... baru saja dimulai.
g di sana g di sini sama aja mbingumhi 🤣🤣🤣
tp nnti pennjelasan panheran yg masuk akal dpt meruntuhkan ego samg ibunda dan nnit mlh jd baik se lam jin jd muslim.🤣