Bagi Aditya, Reina bukan sekadar kekasihnya tapi ia adalah rumahnya.
Namun dunia tak mengizinkan mereka bersama.
Tekanan keluarga, perjodohan yang sudah ditentukan, dan kehormatan keluarga besar membuat Aditya terjebak di antara tanggung jawab dan juga cinta.
Dalam keputusasaan, Aditya mengambil keputusan yang mengubah segalanya. Ia nekat menodai Reina berkali kali demi bisa membuatnya hamil serta mendapatkan restu dari orang tuanya.
Cinta yang seharusnya suci, kini ternodai oleh ketakutan dan ambisi. Mampukah Aditya dan Reina mengatasi masalah yang menghalang cinta mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Gadis itu tidak menjawab. Ia hanya diam dan menatap lurus ke depan.
Aditya menghela napas berat. Ia ingin membujuk Reina untuk makan, ingin meminta maaf dan memperbaiki keadaan. Namun, ia tahu, waktu tak berpihak padanya. Ia harus segera pergi, sebelum ayahnya mencegah kepergian mereka.
Dengan cepat, Aditya beranjak menuju lemari pakaian Reina dan menarik pintunya. Ia mulai mengambil satu per satu pakaian gadis itu untuk ia masukkan ke dalam koper besar yang telah ia siapkan. Suara gesekan koper dan pakaian itu membuat Reina terkejut. Ia menatap Aditya dengan bingung, yang membuat keningnya berkerut.
“Apa yang kau lakukan, Aditya?” tanya Reina akhirnya.
“Bersiaplah,” jawab Aditya tanpa menoleh. Tangannya terus bergerak cepat mengemasi semua pakaian dan barang barang Reina, seolah dikejar waktu. “Kita akan pergi dari sini.” ucap Aditya yang membuat Reina memandangnya tak percaya.
“Pergi? Ke mana?”
“Ke luar negeri,” jawab Aditya mantap sembari menutup koper pertama dan membuka koper yang kedua. “Aku sudah memutuskan. Kita akan hidup di sana, jauh dari semua ini. Jauh dari orang tuaku, dari masalah, dari segala tekanan yang membuat kita menderita.”
Reina berdiri perlahan, tubuhnya masih gemetar. Ia menatap punggung Aditya dengan mata berkaca-kaca.
“Dan kau pikir itu akan menyelesaikan segalanya?” ucap Reina yang membuat Aditya berhenti.
“Setidaknya, itu satu-satunya cara agar kita bisa tetap bersama.”
“Bersama?” ucap Reina lirih, nada suaranya mengandung kegetiran. “Setelah semua yang kau lakukan padaku, Aditya? Kau masih punya keberanian untuk mengatakan hal itu?”
Suara Reina bergetar, tapi tegas. Ia berjalan mendekat, lalu menarik pakaian-pakaiannya dari koper dan melemparkannya kembali ke dalam lemari.
“Aku tidak akan ikut denganmu. Tidak sekarang, tidak besok, dan akan tidak pernah,” katanya sembari menatap Aditya lurus-lurus.
“Reina—”
“Cukup!” potong Reina tajam, matanya kini tampak berkaca-kaca. “Kau sudah menghancurkan segalanya. Aku tidak peduli ke mana kau pergi, tapi jangan libatkan aku lagi dalam hidupmu. Aku tidak mau meninggalkan rumah ini, dan aku tidak sudi hidup bersamamu di mana pun!”
Kata-kata Reina terasa seperti pisau yang menancap dalam ke dada Aditya. Pria itu membeku di tempat, matanya menunduk. Sekilas, rahangnya tampak mengeras menahan emosi.
“Reina...” panggil Aditya yang suaranya bergetar halus, nyaris tak terdengar. “Kau tidak mengerti. Aku melakukan ini untuk kita. Aku hanya ingin memperbaiki semuanya.”
“Tidak ada yang bisa kau perbaiki, Aditya!” teriak Reina lirih. “Tidak setelah apa yang kau lakukan padaku!”
Suasana hening menelan ruangan itu. Suara jam dinding berdetak lambat, seolah ikut menegaskan betapa berat udara yang menggantung di antara mereka. Aditya menutup matanya sejenak dan menahan napas panjang. Dalam dadanya, ada rasa bersalah yang bergolak hebat, bercampur dengan ketakutan akan kehilangan. Ia berjalan mendekat, langkahnya terlihat berat tapi mantap.
“Reina,” ucap Aditya akhirnya sembari menatap gadis itu dengan sorot mata dalam. “Aku tidak bisa membiarkanmu pergi. Aku tidak akan membiarkan siapa pun memisahkan mu dariku, bahkan termasuk dirimu sendiri.”
Reina menggeleng cepat.
“Kau tidak berhak mengatakan itu! Cinta tidak berarti memaksa seseorang, Aditya! Kau hanya ingin melarikan diri dari kesalahanmu sendiri!”
Seketika rahang Aditya mengeras. Tangannya terangkat dan mencengkeram lembut sisi wajah Reina, bukan dengan kasar, tapi dengan campuran frustrasi dan ketakutan.
“Dengarkan aku, Reina,” katanya pelan, namun nadanya mengandung tekanan. “Aku tahu aku telah berbuat kesalahan, aku tahu aku membuatmu terluka, tapi aku tidak bisa kehilanganmu. Kau satu-satunya hal yang membuatku tetap waras. Jadi, meskipun kau membenciku, aku tidak punya pilihan selain membawamu pergi bersamaku.”
Reina menatap Aditya cukup lama. Ada air mata yang menetes perlahan dari sudut matanya. Ia berusaha melepaskan cengkeraman Aditya, namun kekuatan pria itu terlalu besar.
“Aditya, lepaskan aku...” teriak Reina dengan suaranya yang lirih dan memohon. “Jangan perlakukan aku seperti ini.”
Aditya tidak menjawab. Matanya menerawang jauh, seolah menatap sesuatu yang tak bisa dijangkau. Ada luka, ada penyesalan, tapi juga keteguhan yang aneh di sana.
Perlahan, cengkeramannya melonggar. Ia menunduk, kemudian berbalik tanpa berkata apa-apa lagi. Dengan langkah cepat, ia kembali memasukkan pakaian Reina ke dalam koper dan menutupnya rapat.
Reina hanya bisa memandang, tubuhnya bergetar hebat antara marah dan takut. Ia tahu, Aditya bukan lagi pria yang dulu ia kenal. Cinta mereka telah berubah menjadi sesuatu yang menyesakkan, sebuah cinta yang dibungkus oleh keputusasaan dan keegoisan.
Ketika Dika kembali membawa tiket di tangannya, Aditya menyambutnya tanpa banyak bicara.
“Semuanya sudah siap, Tuan,” kata Dika lirih. Tapi tatapannya sempat beralih ke Reina yang berdiri di pojok ruangan, wajahnya pucat dan matanya bengkak. Ia tahu, sesuatu yang besar dan salah sedang terjadi, tapi bukan posisinya untuk ikut campur.
Aditya menatap Reina sekali lagi.
“Kita berangkat dua jam lagi,” katanya pelan. “Kau mungkin membenciku sekarang, tapi suatu hari nanti, kau akan mengerti kenapa aku melakukan semua ini.”
Reina tak menjawab. Ia hanya menunduk, dengan air matanya yang jatuh satu per satu membasahi lantai.
Bagi Aditya, keputusan sudah dibuat. Ia memilih jalan yang keras, jalan yang penuh risiko dan dosa. Tapi bagi Reina, sejak pagi itu, segalanya telah berubah. Rasa cintanya yang dulu tulus terhadap Aditya kini terkubur oleh ketakutan dan luka yang terlalu dalam untuk disembuhkan dengan kata-kata.
Dan di luar rumah kecil itu, dua mobil hitam berhenti tidak jauh dari sana. Dari kejauhan, beberapa pria berpakaian serba hitam yang tak lain utusan dari Pak Arman, memperhatikan gerak-gerik Aditya dan Reina dengan tatapan tajam.
"Sepertinya tuan Aditya dan juga wanita itu akan pergi sebentar lagi, aku harus memberitahu hal ini kepada tuan Arman." Ucap pengawal itu yang kemudian menghubungi pak Arman melalui sambungan telepon.
Setelah beberapa saat menunggu, telepon pun akhirnya dijawab.
"lapor pak, saya sudah berada di rumah nona Reina dan mendapati tuan Aditya disini. Dari hasil pantauan saya, sepertinya tuan Aditya akan membawa nona Reina pergi bersamanya tak lama lagi." Lapor pengawal itu yang membuat pak Arman menghela napas panjang.
"Bagus, tetap awasi mereka dan jangan biarkan mereka pergi meninggalkan rumah gadis miskin itu. Aku akan segera pergi kesana." Ucap pak Arman dengan tegas.
"Baik pak."
Setelah mengakhiri panggilan teleponnya, pak Arman segera memanggil sopir pribadinya untuk mau mengantarnya pergi ke rumah Reina. Sebenarnya pak Arman tidak Sudi membuang waktu berharganya untuk menginjakkan kakinya ke rumah gadis yang telah membutakan hati putranya itu, namun karena desakan istrinya yang menginginkan putranya kembali, pak Arman akhirnya mau tidak mau harus pergi ke rumah Reina untuk membawa Aditya kembali ke rumah.
/Speechless//Speechless//Speechless//Speechless/