cerita ini aku ambil dari kisah aku sendiri
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agnura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps # putusnya hubungan aku sama Jen
Malam itu langit mendung, tapi bukan cuma awan yang berat—hatiku juga. Aku duduk di tepi kasur, lampu kamar redup, cuma menyisakan cahaya kekuningan. Jemariku gemetar waktu kugenggam ponsel, menatap nama “Jen ” di layar. Perutku rasanya mual, bukan karena lapar, tapi karena gelisah yang menumpuk. seakan dunia ini terasa runtuh
Sudah seharian kepalaku penuh dengan satu hal yaitu—foto itu. Foto yang kuterima dari gio,Jen, pacarku, sedang boncengan naik motor bersama perempuan dengan senyum yang terlalu manis untuk disebut “teman biasa.” Aku berusaha menepis pikiran buruk, mencoba percaya. Tapi setiap kali aku menutup mata, wajah perempuan itu muncul lagi.
Akhirnya, tanpa pikir panjang, aku tekan tombol panggil. Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum suaranya menjawab, datar, tanpa nada hangat seperti biasanya.
“Halo, kenapa malam-malam nelpon?” suaranya terdengar malas, seperti aku ini cuma gangguan kecil di tengah dunianya yang sibuk.
“Jen, aku mau tanya soal foto itu,” kataku pelan, mencoba menahan diri agar tidak langsung meledak.
“Foto apa lagi sih?” katanya ketus.
“Jangan pura-pura nggak tahu. Foto kamu lagi boncengan motor sama cewek itu. Aku cuma mau penjelasan, Jen. Satu kali aja, jujur sama aku.”
Tapi yang keluar dari mulutnya malah tawa kecil yang nyaring dan menusuk. “Kamu tuh lebay banget, tau nggak? Ngatur-ngatur banget, kayak aku milik kamu aja.”
Aku terdiam. Dadaku sesak. “Jadi itu bener, Jen? Kamu selingkuhi aku ?”
Tiba-tiba suaranya berubah, jadi tajam, kasar, dan menusuk seperti pisau.
“Kamu pikir kamu siapa, hah? Aku tuh capek sama kamu! Terlalu nempel, terlalu curiga. Makanya cowok lain aja lebih enak diajak ngobrol!”
Kata-katanya seperti dan yang menusuk dadaku. Aku bisa dengar nafasku sendiri yang berat. Dunia mendadak hening, tapi kepalaku penuh suara berisik—campuran marah, kecewa, dan sedih yang berputar tanpa arah.
“Jadi semua ini cuma permainan buat kamu, ya?” tanyaku dengan nada lirih.
Dia tertawa lagi. “Mungkin iya. Lagian, kamu pikir kamu cukup buat aku?”
Detik itu juga, aku tahu, nggak ada yang bisa diselamatkan. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan sisa keberanian.
“Baiklah, Jen. Aku capek. Kalau kamu bahagia tanpa aku, silakan. hubungan kita cukup sampai di sini,Kita
putus, dari detik ini sampai seterusnya kita tidak lagi punya hubungan ”
“Ya udah, bagus, apa cantiknya kamu, badan kamu tuh gendut nggak ada langsing-langsingnya, katanya keluarga kamu tuh kayak tapi kok kamu bawa motor butut terus sih, nggak ada yang bisa aku banggain dari diri kamu, kalau kita mau putus ya udah putus aja " dengan gampangnya dia bicara, seolah memutuskan hubungan kami itu sama gampangnya seperti mengganti lagu di playlist.
Telepon terputus. Suara “tut-tut-tut” bergema di telingaku, lama banget, sampai aku sadar tanganku
memegang HP yang sudah tidak ada suaranya,
aku terkejut bukan karena putus hubungan sama dia, melainkan kata-kata dia yang dilontarkan tadi, terdengar sakit di telingaku dan sesak di dadaku, aku masih nggak menyangka dengan kata-kata dia, yang bisa segampang itu menghina diri aku bahkan menghina fisik aku secara terang-terangan, apakah masih pantas dia disebut laki-laki, yang sudah menghancurkan pikiran aku bahkan mental aku
sambil tergulai lemas di atas kasur