Kanaya terkejut saat bosnya yang terkenal playboy kelas kakap tiba-tiba mengajaknya menikah. Padahal ia hanya seorang office girl dan mereka tak pernah bertatap muka sebelumnya. Apa alasan pria itu menikahinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arandiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedatangan mama
Arjuna menatap ponsel yang terus bergetar itu, lalu berganti menatap Kanaya yang terbaring lemas di ranjang. Situasi ini benar-benar kacau balau.
Dia mengumpat pelan, mengusap wajahnya dengan kasar. Gairah yang beberapa saat lalu sempat membuatnya panas dingin kini lenyap seketika. Panik mengambil alih. Dia tidak mungkin membiarkan mamanya melihat Kanaya dalam kondisi begini. Pingsan. Dan... nyaris telanjang di ranjangnya.
"Halo, Ma?" sapanya, berusaha keras menjaga suaranya agar tetap tenang.
"Mama sudah di depan unit kamu, Arjuna. Kenapa lama sekali baru diangkat? Bukakan pintunya."
Suara Ratih terdengar tajam dan dingin dari seberang. Tidak ada basa-basi sama sekali.
"Sial!" desis Arjuna pelan begitu sambungan telepon terputus.
Dia buru-buru lari keluar kamar, menutup pintunya rapat-rapat. Dia berharap pintu itu bisa menyembunyikan masalah di dalamnya. Dia setengah berlari melintasi ruang keluarga dan membuka pintu depan, tepat saat Ratih mengangkat tangan hendak menekan bel.
Wanita paruh baya itu berdiri kaku dengan setelan blazer krem yang mahal. Rambutnya disanggul rapi, tanpa ada satu helai rambut pun yang berantakan. Mata tajamnya menatap Arjuna dari atas ke bawah, menilai penampilan putranya yang sedikit acak-acakan.
"Mama?" sapa Arjuna, napasnya sedikit terengah.
"Kenapa kamu buru-buru begitu? Seperti habis dikejar setan saja," cibir Ratih. Dia melangkah masuk begitu saja tanpa menunggu dipersilakan. Matanya langsung memindai seisi apartemen mewah itu. "Kamu menyembunyikan sesuatu?"
"Enggak, Ma. Tadi... aku lagi di kamar mandi," bohong Arjuna, sambil menutup pintu. "Mama duduk dulu."
Ratih tidak langsung duduk. Dia berjalan ke tengah ruang tamu, meletakkan tas tangannya yang bermerek di atas meja kaca. "Napasmu tidak teratur, Arjuna. Jangan mulai membohongi Mama."
Arjuna menelan ludah. "Ada apa Mama tiba-tiba ke sini? Tumben tidak bilang dulu?"
Ratih akhirnya duduk di sofa, menyilangkan kakinya dengan anggun. Tatapannya menusuk lurus ke mata putranya. "Mama ke sini tidak mau buang waktu, Arjuna. Seperti yang Mama bilang di pesan tadi, Mama mau jawaban."
Dia menatap berkeliling. "Jadi, langsung saja. Di mana istrimu? Di mana gadis kampung itu?"
Arjuna bisa merasakan rahangnya mengeras saat mendengar sebutan itu. "Namanya Kanaya, Ma."
"Mama tidak peduli namanya," desis Ratih. "Di mana dia? Sembunyi di kamar karena takut ketemu Mama?"
Arjuna menarik napas panjang. Dia harus mengendalikan situasi ini. "Naya lagi sakit, Ma. Dia sedang istirahat di kamar."
Alis Ratih terangkat sebelah. "Sakit?" Dia mendengus sinis. "Bagus sekali waktunya. Dia sakit pas sekali Mama datang. Drama apa lagi yang sedang dia mainkan?"
"Dia tidak main drama. Dia pingsan tadi. Badannya demam tinggi," bela Arjuna, dan dia kaget sendiri kenapa dia membela perempuan itu.
"Arjuna, Arjuna..." Ratih menggelengkan kepalanya, suaranya penuh kekecewaan. "Kamu tidak usah menutupi apa pun dari Mama. Mama tahu kamu tidak cinta sama dia. Mama bisa lihat dari caramu menghindar setiap kali Mama bahas pernikahan konyol ini."
Wanita itu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. "Jangan bohongi dirimu sendiri. Jangan permalukan keluarga kita lebih lama lagi. Ceraikan dia secepatnya."
Arjuna diam, menatap mamanya dengan pandangan yang sulit dibaca.
Melihat putranya hanya diam, Ratih melanjutkan. "Apa kamu terlalu sibuk di kantor? Perlu Mama bantu urus perceraian itu? Mama bisa panggil pengacara terbaik kita untuk bereskan ini diam-diam."
"Cukup, Ma!" Suara Arjuna akhirnya naik, terdengar tegas dan dingin. "Mama tidak perlu ikut campur urusan rumah tangga ku."
"Rumah tangga?" Ratih tertawa pelan, tapi terdengar sangat mengejek. "Kamu sebut ini rumah tangga? Sejak kapan seorang Arjuna menikah dengan office girl rendahan?"
"Aku tidak akan menceraikan Naya," kata Arjuna, setiap katanya penuh penekanan.
Mata Ratih menyipit, menatap tajam putranya yang keras kepala itu.
‘Tidak untuk saat ini,’ lanjut Arjuna dalam hati. ‘Tidak sampai aku memenangkan taruhan itu. Dia adalah aset berhargaku saat ini.’
Kemarahan kini terlihat jelas di wajah Ratih yang biasanya selalu tenang. "Kamu benar-benar sudah berubah! Apa yang perempuan itu berikan padamu sampai kamu berani melawan Mama?"
"Ini keputusanku," jawab Arjuna singkat.
Ratih berdiri dengan gerakan cepat, wajahnya memerah karena marah. "Baik! Kalau itu maumu. Tapi dengar ini baik-baik, Arjuna," katanya, menunjuk putranya.
"Jangan pernah kamu bawa perempuan itu menginjakkan kaki di rumah Mama. Dan jangan harap Mama mau mengakuinya sebagai menantu!"
Dia menyambar tasnya. "Satu lagi, jangan sampai ada orang yang tahu soal pernikahan memalukan ini. Mama tidak mau reputasi keluarga kita hancur karena kebodohanmu!"
Tanpa pamit, Ratih berbalik dan berjalan keluar apartemen. Dia membanting pintu begitu keras hingga suaranya menggema di ruangan yang sunyi itu.
Arjuna masih duduk di sofa, membiarkan keheningan menyelimutinya. Dia memijat pelipisnya yang mulai sakit. Ancaman mamanya adalah masalah besar, tapi ada masalah yang lebih mendesak di kamar tidur.
Tiba-tiba, perutnya berbunyi. Dia baru sadar belum makan malam. Dia bangkit, melonggarkan dasinya, dan berjalan ke dapur. Dia membuka kulkas, berniat mencari makanan sisa. Tapi matanya melihat beberapa butir telur dan sekotak beras.
Dia mendengus. Sebenarnya dia malas sekali memasak. Tapi bayangan wajah pucat Kanaya melintas di kepalanya. Perempuan itu pingsan. Dia demam. Dia pasti butuh makan.
"Sial," umpatnya lagi. Kenapa dia jadi peduli?
Tapi pikiran bahwa perempuan itu terbaring sakit di kamarnya—di ranjangnya—membuatnya tidak tenang. Dia benci hal-hal yang tidak beres. Dan Kanaya yang sakit jelas merupakan masalah.
Sambil menggerutu, dia mengeluarkan panci. Dia akan membuat bubur. Bukan karena dia peduli. Tentu saja bukan. Dia hanya perlu perempuan itu sehat lagi secepatnya agar sandiwara mereka bisa jalan terus dan mamanya berhenti mengomel.
Dia lalu ingat Naya dan memutuskan membuatkan bubur juga untuk istrinya. Dia mencuci beras dengan gerakan cepat, pikirannya masih kacau. Dia juga menyiapkan obat penurun demam dari kotak obat dan segelas air putih. Meskipun dia merasa enggan memperlakukan Naya dengan baik, ini adalah hal yang paling masuk akal untuk dilakukan sekarang.
Setelah bubur ayam sederhana itu matang—dia memakai sedikit suwiran ayam sisa di kulkas—dia menaruhnya di mangkuk di atas nampan, lengkap dengan obat dan air.
Dia makan malam sendirian dengan cepat di meja bar dapur, hanya beberapa sendok bubur untuk mengisi perut. Pikirannya masih berputar antara pertengkarannya dengan Mama dan... kejadian di kamar tadi.
Selesai makan, dia membawa nampan itu ke kamar tidur.
Dia membuka pintu pelan-pelan. Kamar itu agak gelap, hanya diterangi lampu tidur di meja samping ranjang. Kanaya masih terbaring di posisi yang sama, terbungkus selimut.
Arjuna meletakkan nampan di meja nakas. Dia berdiri diam sejenak, mengamati Kanaya.
Napas wanita itu terdengar agak berat. Wajahnya masih pucat, tapi pipinya kini memerah karena demam. Keringat membasahi pelipisnya, membuat beberapa helai rambutnya lengket di kulit.
Tanpa sadar, Arjuna teringat kejadian tadi.
Pikirannya memutar ulang saat jari-jarinya kaku membuka kancing baju Kanaya. Saat dia menarik rok wanita itu ke bawah. Dan bagaimana tubuh di balik seragam longgar itu... benar-benar membangkitkan naluri lelakinya.
Dia ingat kulit mulus itu, pinggang yang ramping, dan lekuk pinggul yang... padat. Dia ingat matanya terpaku pada dua gundukan kenyal di balik kaus dalam tipis itu.
Tenggorokannya tiba-tiba terasa kering. Rasa panas yang tadi hilang kini mulai menjalar lagi di tubuh bagian bawahnya. Dia harus menahan diri. Dia tidak boleh...
"Nnggh..."
Suara lenguhan pelan Kanaya membuyarkan lamunan mesumnya.
Arjuna kaget. Dia melihat mata Kanaya mengerjap pelan, mencoba fokus di ruangan yang remang-remang itu.
"Mas...?" Suara Kanaya terdengar serak dan lemah. Dia kelihatan sangat bingung. Matanya menatap Arjuna, lalu ke sekeliling kamar. "Ke... kenapa aku di sini? Di ranjang Mas?"
"Kamu pingsan," jawab Arjuna datar. Dia berusaha menyembunyikan kekacauan di pikirannya tadi. "Aku menemukanmu tergeletak di lantai ruang tamu."
Kanaya kaget. "Pingsan?"
"Kenapa kamu bisa sakit?" tanya Arjuna, nadanya lebih tajam dari yang dia maksud. "Kenapa tidak bilang kalau badanmu tidak enak? Kamu bikin semuanya jadi rumit."
Kanaya menunduk, wajahnya terlihat bersalah. "Maaf, Mas. Tadi pagi... cuma sedikit pusing. Saya pikir cuma kelelahan biasa. Saya tidak menyangka bakal..."
"Ya, sudahlah," potong Arjuna, tidak mau mendengar keluhan. "Mama tadi ke sini."
Mata Kanaya langsung membelalak ngeri. "Mama Ratih? Terus...?"
"Sudah pergi. Aku bilang kamu sakit." Arjuna mengambil mangkuk bubur. "Sekarang makan. Terus minum obatmu."
Kanaya berusaha bangkit, mencoba duduk bersandar di kepala ranjang. Tapi baru mengangkat kepala sedikit, dia meringis kesakitan dan langsung berbaring lagi. "Aduh..."
Arjuna menghela napas kasar. Merepotkan sekali.
Dia menatap bubur di tangannya, lalu menatap Kanaya yang memejamkan mata menahan pusing.
"Terpaksa," gumamnya pelan.
Dengan ragu-ragu dan wajah yang terasa agak panas—entah karena kesal atau malu—Arjuna duduk di pinggir ranjang. Dia menjaga jarak, merasa sangat canggung.
Dia menyendok sedikit bubur, meniupnya pelan-pelan. "Makan."
Kanaya membuka matanya. Dia menatap sendok yang terulur di depannya dengan pandangan tidak percaya. "Mas... mau menyuapi saya?"
"Jangan banyak tanya. Cepat, buka!" perintah Arjuna. Suaranya sengaja digalakkan untuk menutupi rasa canggungnya yang luar biasa.
Kanaya masih terdiam, menatap Arjuna dengan bingung. Bibirnya yang kering sedikit terbuka karena kaget.
"Buka... apa, Mas?"
biar stres semoga Naya pergi jauh ke kampung biar tambah edan
udah akua hapus dari daftar favorit kemarin