Hati Nadia pecah berkeping-keping mendengar Asri, sang ibu mertua menyuruh Arkan untuk menikah lagi didepan matanya.
"Kamu kan, juga butuh penerus untuk usahamu. Kalau Bilqis kan, beda. tetap saja bukan darah dagingmu, keponakanmu ya selamanya begitu."
Percakapan di meja makan tiga minggu lalu itu masih jelas terpatri di benak Nadia.
Meski sang suami selalu membela dengan berkata bahwa pernikahan itu bukan tentang ada dan tidaknya keturunan didalamnya, melainkan tentang komitmen dua orang untuk selalu bersama dalam suka dan duka.
Hingga suatu malam Nadia menemukan sesuatu di dalam telepon genggam Arkan. Sesuatu yang membuat dunia Nadia runtuh seketika.
Apa yang Nadia temukan? Lalu bagaimana Nadia menyikapinya?
Lalu bagaimana dengan Dio, yang muncul tiba-tiba dengan segudang rahasia gelap dari masa lalu nya? Mungkinkah mereka saling menabur racun diatas hama? Atau justru saling jatuh cinta?
Ikuti kisah mereka, dalam Kau Berikan Madu, Maka Ku Berikan Racun. 🔥🔥🔥
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jee Ulya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nadia, Perempuan Gila.
"Mama, Mama. Kok Papa ngga pulang lagi, ya?" Bibir mungil Bilqis manyun sedih.
"Papa masih banyak kerjaan, sayang," Nadia menghibur sang putri.
Pagi itu di meja makan. Tidak seperti biasa, suasananya sedikit tenang. Nadia menyiapkan sarapan untuk putrinya, lalu duduk mengambil toast dan memakannya dalam diam.
"Nad, obat Mama sudah kamu siapin, kan?" tanya Asri di sela ia memotong telur rebus.
"Kemarin udah Nadia pisah-pisah, Ma. Di tempat biasa. Mama tau, kan? Udah Nadia kasih tulisan juga," ujar Nadia santai.
"Harusnya kamu siapin aja satu persatu sebelum Mama minum, biar nggak pusing Mama nyarinya," ketusnya, sengaja mencari-cari kesalahan Nadia.
"Ada Mba yang bantuin, Ma. Kalau nggak paham panggil Mba aja di belakang," Nadia tidak terpancing.
"Kamu ini, gimana sih. Jadi menantu kok nggak ada gunanya sama sekali. Sekedar nyiapin obat aja nggak sempurna, apalagi jadi istri." Asri masih memancing keributan.
"Lalu, siapa yang nganterin Eyang ke rumah sakit pas sakit? Yang nyuapin Eyang pas nggak bisa makan?" ucap Bilqis membela sang ibu.
"Sayang, anak kecil harus apa?" tangan Nadia terulur untuk mengelus rambut putrinya, "Harus... Harus hormat sama yang lebih tua, ya?"
"Tapi kan, emang. Cuma Mama satu-satunya anak yang mau ngurusin, Eyang?" sahutnya tidak terima.
"Ya, karena anakku tak lagi ada, karena kelahiran seseorang." Asri melirik tajam pada sang cucu. Bibirnya menipis, suaranya penuh tekanan.
"Ma?!" Suara Nadia naik satu oktaf, tangannya beralih menutup kedua telinga putrinya.
Suasana mendadak panas, meja itu kembali seperti biasanya. Hawa tidak tenang menyelimuti ketiganya. Aroma butter yang semenjak tadi menguar, kini menjadi hambar. Tangannya gemetar memeluk sang putri.
"Mama boleh hina aku sepuas, Mama. Tapi tidak dengan Bilqis." suara Nadia rendah namun menusuk. Bilqis menangis ketakutan melihat Asri, ia menunduk seperti melihat monster di film kartun kesukaannya.
"Terserah!" Asri menggebrak meja, "kalian berdua sama saja!" suara denting sendok berhenti, seiring tegangnya Asri meletakkannya diatas piring, "pantas, Arkan tidak betah berada dirumah!"
"Bukan kami yang membuat Mas Arkan tidak betah..." Nadia menggantung kalimatnya, "tetapi Mama yang menciptakan neraka dirumah ini."
Nadia bergegas pergi tanpa menyelesaikan sarapannya. Menggendong putrinya menjauh dari perempuan tua penuh drama itu.
Sementara jauh dari ruangan itu, ada ruang makan lain yang sama tegangnya.
"Mau kemana?" Arkan sedikit bingung melihat sekretarisnya itu sembarang memasukkan pakaian pada koper kecilnya.
"Mau kemana lagi, pulang ke kabupaten. Mencari dukun yang bisa gugurin anak ini!" tanpa menoleh, suara Ayu cukup membuat lawan bicaranya menghampiri.
"Maksudmu?" Arkan menghentikan gerak tangan Ayu.
"Ya, mau apalagi? Saya harus melahirkan anak ini tanpa ayah? Jangan gila, Pak!" Ayu melepas kasar lengannya, "Bapak nggak mau anak ini, kan?"
Arkan memicing, "kapan, saya bilang begitu?" suaranya dingin, menegaskan dominasi.
"Mau bagaimana lagi, Pak. Sudah lebih dari sebulan lalu. Saya hamil..." Ayu berapi-api, "Dan apa reaksi Bapak?" nada suaranya menurun, matanya kosong menatap secangkir kopi di ujung meja.
Arkan memeluk Ayu pelan.
"Saya nggak bisa lahirin anak ini tanpa ayah, Pak." lirihnya dalam pelukan.
...****************...
'Nad, maafin aku, ya'
'Maafin, semua kesalahan-kesalahan ku'
Dua bubble pesan itu terpampang di layar handphone Nadia.
'Mas, kamu dimana?' Balasnya tanpa banyak kata pada suaminya itu.
'Aku dirumah Ayu. Ayu hamil'
'Malam ini aku akad nikah'
Deg. Tangan nadia bergetar hebat. Handphone itu meluncur jatuh ke lantai. Ia tidak menangis, kosong. Seolah jiwanya ditarik paksa.
Ia tahu, itu pasti akan terjadi padanya, cepat atau lambat. Ia tahu suaminya pasti bahagia, akhirnya keturunan yang ia idam-idamkan selama sebelas tahun akhirnya bisa dimiliki.
Meskipun dari rahim orang lain.
Siang yang mendung diluar sana sperti mendadak lebih gelap, seakan semesta ikut berempati padanya,
Badan rampingnya mengigil.
"Bu, bu. Ibu kenapa?" seorang staf memegangi lengan Nadia saat melihatnya hampir luruh ke lantai.
Bersamaan dengan itu, Dio berlari masuk ke dalam Noir, mengibaskan pakaiannya yang hampir basah oleh hujan, yang terpenting baginya adalah selembar amplop coklat ditangan.
Dio menatap Nadia yang sepenuhnya terduduk di lantai, matanya yang kosong menatap pada layar handphone yang retak.
"Dia... Nikah."
Dio mengangguk, seakan mengerti tanpa perlu dijelaskan.
Ia maju selangkah, mengikis jarak. Lalu memeluk Nadia lembut. Itu kali pertama Nadia tidak menolak pada sentuhan lelaki lain. Dia tak bergerak, membiarkan semuanya menghancurkannya sampai tak tersisa.
"Gapapa. Ada aku... Menangislah sepuas yang kamu mau, aku akan dengerin," tepuk Dio pelan pada punggung rapuh itu.
Maaf, Pak..." staff tadi menunjuk pada para pelanggan lain yang seperti sengaja memanjangkan leher, penasaran terhadap keduanya.
Dio yang paham cekatan membopong tubuh ringan Nadia kedalam ruang kerja perempuan itu. Masih sama diamnya dengan sebelumnya.
Dio mendudukkannya pada Kursi empuk dekan jendela, mata kosong Nadia menatap keluar, hujan yang deras itu melambangkan kekacauan hidupnya.
"Kenapa..." lirihnya pada diri sendiri.
"Tak apa, aku disini." tatap Dio lembut.
"Ayu..." Nadia menyeringai remeh, "bahkan aku sendiri yang memasukkannya dalam rumahku. Ha, hahaha, hahaha..." Nadia seperti orang kesurupan, tawa kencangnya seolah tanpa beban, namun matanya tetaplah sama. Kosong.
Secangkir cokelat yang tersaji di atas meja kecil, pelan-pelan Nadia sesap dalam diam. Rasa manis bercampur sedikit pahit itu mengalir hangat di tenggorokannya.
Setelah puas tertawa, seolah mendapat kekuatan yang entah darimana asalnya. Ia bangkit,
"Ah... ternyata seperti ini ya, rasanya," Nadia menghembuskan napas panjang.
Seolah melepaskan beban,
"nggak gitu buruk," di sela senyuman, sebulir air mata jatuh mengenai ujung jilbab sifonnya.
Dio menatap lega. Diam-diam rasa hangat tumbuh seiring langkah Nadia keluar meninggalkan Dio di ruangan itu.
"Ah benar, akan aku harus traktir kamu, sepotong salted caramel kesukaanmu!" tunjuk Nadia sebelum benar-benar keluar, sungguh seperti tanpa beban.
Dio tersenyum kecil menatapnya, "dasar perempuan gila!" gumamnya lirih.
Dio memperhatikan sekitar, sisa hujan diluar meninggalkan genangan pada paving yang sedikit tertekan bekas parkir kendaraan, riak lembut yang kadang muncul memberikan efek tenang pada siapapun yang memandangnya.
Nadia kembali masuk, membawa senampan kue cantik dengan teh earl grey yang mengepul pelan di sebelahnya.
Mereka menikmati perpaduan rasa manis asin itu dalam diam. Sisa aroma hujan berpadu dengan wangi mawar lembut, mengantar mereka pada angan masing-masing.
Entah sejak kapan mereka menjadi sedekat itu.
"Ah, bukankah jam istirahat mu sudah habis?" Nadia menyadarkan keduanya.
Dio menilik arloji mahal di pergelangan tangannya, "ah, kamu hafal ya?"
"Kamu selalu datang antara jam 12.05 sampai 30 menit kedepan," jabar Nadia.
"Haha, betul. Aku hanya perlu melihat keponakan lucu ku," kilah Dio.
"Dan keponakan lucu mu itu, sekarang masih berada di tempat les," Nadia mengifokan kegiatan putrinya itu.
"Kentara sekali ya, basa-basi yang beneran basi ini," Dio tersenyum lembut. Mengulurkan selembar amplop coklat yang basah diujungnya.
'Serenity Maternity Center'
"Tumbuhlah lebih kuat, layaknya mawar. Supaya terus bisa membayangi lavender disana, agar ia tak leluasa bergerak," tatapan Dio melembut, tepat ke arah manik mata lawannya.
"Jadi..."
jangnlah dulu di matiin itu si ayunya Thor..Lom terkuak Lo itu kebusukan dia ..biar tmbh kejang2 itu si asri sama Arkan kalo tau belang ayu..
dengan itu sudah membuktikan..kalo ternyata ayu bukan hamil anak arkah..hahahahahahahaha..sakno Kowe..