Malam bahagia bagi Dila dan Arga adalah malam penuh luka bagi Lara, perempuan yang harus menelan kenyataan bahwa suami yang dicintainya kini menjadi milik adiknya sendiri.
Dalam rumah yang dulu penuh doa, Lara kehilangan arah dan bertanya pada Tuhan, di mana letak kebahagiaan untuk orang yang selalu mengalah?
Pada akhirnya, Lara pergi, meninggalkan tanah kelahirannya, meninggalkan nama, kenangan, dan cinta yang telah mati.
Tiga tahun berlalu, di antara musim dingin Prancis yang sunyi, ia belajar berdamai dengan takdir.
Dan di sanalah, di kota yang asing namun lembut, Lara bertemu Liam, pria berdarah Indonesia-Prancis yang datang seperti cahaya senja, tenang, tidak terburu-buru, dan perlahan menuntunnya kembali mengenal arti mencintai tanpa luka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab: 31
Musim dingin telah berlalu, digantikan oleh musim semi yang hangat. Bunga-bunga liar bermekaran di sepanjang jalan Annecy, mewarnai kota kecil itu dengan lembutnya merah muda dan kuning. Angin yang dulu menggigit kini berembus ringan, membawa aroma lembut dari danau.
Di sela jam istirahat kafe, Bella hampir menjatuhkan nampan dari tangannya saat mendengar kabar yang dibawa Liam dan Lara.
“Apa kalian akan menikah di musim semi ini?!” serunya, begitu terkejut hingga napasnya tersendat.
Lara tersipu, mengusap tengkuknya yang tiba-tiba terasa panas.
“Ya… kalau tidak ada halangan.”
Liam menambahkan dengan nada serius namun lembut,
“Pekerjaanku di sini sudah selesai. Dan aku harus kembali ke London, aku tidak ingin meninggalkan Lara. Satu-satunya cara agar aku bisa tetap bersamanya adalah dengan menikahinya.”
Bella langsung memelototi Lara.
“Jadi kamu benar-benar akan pergi dari Annecy? Meninggalkan aku, dan Adrian?”
Raut wajahnya begitu cemberut sampai-sampai Lara hampir tertawa.
Lara menggeleng sambil tersenyum lembut.
“Ya, aku akan pergi, tapi aku tidak akan pernah melupakan kalian berdua. Dan tidak akan melupakan Annecy.”
Dia sungguh tidak akan melupakan kota itu, kota yang menyembuhkan luka masa lalunya, tempat dia menemukan kedamaian setelah kehancuran, dan tempat di mana Tuhan menitipkan dua sahabat kocak yang membuat hari-harinya kembali penuh warna, dan tempat dimana dia bertemu dengan pria yang bisa kembali membuka pintu hatinya.
Bella mendengus dramatis.
“Liam, kamu jahat sekali. Kamu mencuri Lara kami.”
Liam hanya tersenyum, matanya melirik Lara yang berdiri di sampingnya.
“Mau bagaimana lagi? Lara kalian terlalu berharga untuk dilepaskan.”
Bella mendesis pura-pura marah.
“Cinta musim semi…” gumam Adrian sambil menatap ke jendela dengan gaya penyair gagal.
Lara dan Bella saling pandang, sudah siap dengan segala keanehan Adrian.
Adrian menghela napas panjang, dramatis sekali. “Musim bunga adalah musim jatuh cinta, musim di mana hati yang beku mencair, musim di mana… seseorang seperti aku harus mulai berlatih tersenyum saat menghadiri pernikahan orang lain.” Ia menatap langit-langit, sedih-sedih lucu. “Dan seperti biasa… masih tanpa pasangan.”
Bella menepuk bahunya. “Tenang, suatu hari nanti kamu juga akan menikah.”
Adrian mengangguk bangga. “Tentu saja. Dan saat itu terjadi, kalian semua harus siap, karena pernikahanku pasti yang paling heboh. Aku akan masuk dengan tarian. Begitu musik nyala, aku langsung du-dun-du-dun...”
“Tidak ada yang mau melihat kamu goyang di altar, Adrian,” potong Bella cepat.
“Hey! Jangan meremehkan talentaku. Aku ini paket lengkap, tampan, lucu, dan tidak alergi gluten. Itu nilai plus, tahu?” Adrian menunjuk dirinya sendiri.
Liam memutar bola mata. “Hubungannya apa sama gluten?”
“Banyak! Kamu tidak tahu betapa banyak hati yang hancur karena tak bisa makan croissant bersama pasangan. Ini serius.” Adrian menepuk dada, bangga sekali. “Aku bisa makan baguette, croissant, pasta, pizza… semuanya. Ini membuatku calon suami ideal.”
Lara tertawa kecil. “Jadi kamu menganggap dirimu laki-laki idaman hanya karena bisa makan roti?”
“Tentu!” jawab Adrian mantap. “Kalau seseorang mencintaiku, dia tidak perlu merasa bersalah kalau bikin pancake tengah malam. Aku akan selalu siap.”
Bella menutup wajahnya sambil tertawa. “Astaga… aku menyesel bertanya.”
Suasana hangat itu terus berlangsung dengan ocehan Adrian yang tanpa henti.
❄️❄️❄️
Hari pernikahan pun tiba, hari yang rasanya masih seperti mimpi bagi Lara. Musim semi menyelimuti Annecy dengan hangatnya, bunga-bunga bermekaran di sepanjang tepi danau, dan udara dipenuhi aroma manis dedaunan yang baru tumbuh. Namun semua itu seakan memudar ketika Lara berdiri di depan cermin, mengenakan kebaya putih lembut yang membingkai tubuhnya dengan anggun. Kebaya itu sederhana, namun justru kesederhanaannya yang membuat Lara tampak begitu memesona.
Bella yang berdiri di belakangnya sampai tertegun.
“Kalau cantiknya begini terus, Liam pasti lupa cara bernapas,” gumamnya, membuat Lara tersenyum gugup.
Adrian muncul membawa buket bunga yang sempat ia rawat sendiri.
“Ini… untuk pengantin tercantik hari ini,” katanya dramatis. “Dan percaya atau tidak, aku merangkainya tanpa meneteskan air mata. Itu sebuah prestasi.”
Lara tertawa kecil, tawa yang menghapus cemas yang sedari tadi menggantung di dadanya.
Ketika waktu akad tiba, semuanya berlangsung lebih cepat dari yang ia bayangkan. Di ruang kecil yang disulap menjadi tempat akad sederhana, Liam duduk dengan wajah serius namun matanya berbinar, mata indah yang sama seperti milik ibunya.
Lara mengambil tempat di samping Bella dan Adrian. Tangannya gemetar tanpa ia sadari.
Penghulu memeriksa persiapan terakhir, lalu mempersilakan Liam maju. Pria itu duduk bersila di depan penghulu, mengenakan setelan putih yang membuat sosoknya tampak semakin kharismatik. Ia menarik napas panjang, dan ketika mengucapkan ijab kabul, suaranya tegas, jelas, tanpa ragu sedikit pun.
“Aku terima nikahnya Alara Dewi… dengan maskawin tersebut, tunai.”
Seketika ruangan itu dipenuhi suara saksi-saksi yang mengesahkan. Bella langsung menutup mulutnya sambil terisak kecil, sementara Adrian mengusap sudut matanya sambil berbisik, “Bunga-bungaku saja tidak seindah momen ini.”
Lara, yang sejak tadi menunduk, akhirnya mengangkat wajah. Matanya bertemu dengan mata Liam.
Dan seketika dunia hening.
Liam tersenyum, senyum yang hangat, pasti, dan penuh rasa memiliki.
Senyum yang membuat Lara merasa bertahun-tahun kesedihannya seolah ditarik keluar dari dalam dada.
Ketika Liam menghampirinya untuk menyalaminya, jemari mereka saling menyentuh, dan Lara merasakan sesuatu yang tak pernah ia rasakan sejak lama, keyakinan.
Keyakinan bahwa untuk pertama kalinya setelah masa lalu yang kelam, ia melangkah bukan sendirian.
Dan kini, ia melangkah bersama pria yang mencintainya dengan kesabaran, ketegasan, dan ketulusan yang tak pernah memaksa.
Hari itu, di bawah langit musim semi Annecy, Lara resmi menjadi istri Liam, dan untuk pertama kalinya, masa depan tidak lagi menakutkan.
Ia tersenyum.
Senyum yang sepenuhnya milik seorang wanita yang akhirnya kembali berani mencintai.
jd malas bacanya