sebuah cerita sederhana seorang melati wanita sebatang kara yang memilih menjadi janda ketimbang mempertahankan rumah tangga.
jangan lupa like dan komentar
salam autor
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
jm 12
“Tentu saja aku akan merestui Mawar,” ucap Ibu Mega, tersenyum puas. Kurang apa Mawar coba: cantik, modis, dan yang terpenting berpendidikan tinggi.
“Terus bagaimana dengan Melati?” tanya Risma.
“Buang saja… oh, tidak, jangan dibuang. Jadikan saja dia pembantu, dengan status istri agar tidak usah mengeluarkan biaya,” ucap Ibu Mega.
“Bagaimana, Mawar, kamu mau nggak dipoligami?” tanya Risma. Sekarang dia lagi dapat proyek comblang dari Mawar.
“Sebenarnya agak berat, tapi kalau memang Arga masih mencintai Melati, tak masalah aku dipoligami,” jawab Mawar seolah bijaksana. Padahal hatinya dongkol, tapi dia juga nggak mau direpotkan dengan urusan rumah seperti membersihkan rumah, cuci piring, apalagi masak. Ide untuk menjadikan Melati sepertinya jalan terbaik. Aneh sih, padahal Mawar sedang program doktoral, tapi rasa kemanusiaannya tidak lebih tinggi dari jenjang pendidikannya.
“Eh, Risma,” ucap Kartika keluar setelah sebelumnya mengintip dari lubang kunci kalau Risma membawa beberapa paper bag berisi makanan.
“Di rumah aja, Ka?” tanya Risma.
“Ya, di rumah aja.”
“Di rumah kerjanya molor, makeup molor lagi,” ketus Ibu Mega.
“Ibu kok gitu sih, Bu. Aku tinggi-tinggi sekolah bukan untuk jadi babu. Akan merendahkan gelar sarjanaku kalau aku ketahuan cuci piring,” sanggah Kartika kesal.
“Sudahlah, jangan berantem,” ucap Risma menghentikan pertengkaran yang akan terjadi.
“Bu, keluarga Mawar ini orang dekatnya keluarga Sukmana. Kalau Mawar menikah dengan Arga, perusahaan suamiku akan lebih maju, karena selama ini tender besar dari keluarga Sukmana,” ucap Risma. Tidak ada yang gratis di dunia ini, termasuk upaya Risma menjodohkan Mawar dengan Arga, kakaknya. Itu demi usaha suaminya.
“Oh, jadi Mawar dan Arga akan menikah,” ucap Kartika dalam hati. “Tidak akan aku biarkan. Arga adalah milikku. Setelah Melati tersingkir, aku akan mendapatkan Arga.” Tekad hati Kartika, tekad seorang kakak ipar mengincar adik ipar.
.,,
,,
Hari berganti hari. Empat hari sudah Melati dirawat di rumah sakit, dan selama itu Arga sama sekali tidak pernah menjenguknya lagi.
Rini melepaskan selang infus. Selama dirawat, mereka banyak mengobrol. Beruntung sekali Melati, walau dari keluarga suaminya tidak ada yang peduli, tapi Rini memberikan perhatian lebih pada Melati.
“Terima kasih, Kak Rini,” ucap Melati tersenyum, walau dalam hati sedang kalut. Ia ingin sekali seperti orang-orang: pulang dijemput keluarga.
“Tidak masalah. Kamu sudah save nomorku kan? Kalau ada apa-apa hubungi aku ya, jangan sungkan. Semua administrasi dan obat sudah aku urus, kamu tinggal pulang saja,” ucap Rini, sudah menganggap Melati seperti adiknya sendiri.
“Terima kasih banyak, Kak,” ucap Melati.
“Ok, maaf nggak bisa antar. Banyak sekali pasien hari ini. Oke, tinggal dulu ya,” ucap Rini tersenyum dan pergi meninggalkan Melati.
Melati keluar ruang perawatan VIP, badannya sudah pulih. Kurang makan, kurang tidur, kurang istirahat menjadi penyebab utama badan Melati drop. Saran dokter agar Melati banyak istirahat. Melati hanya tersenyum getir mengingat nasihat dokter. Istirahat sepertinya tidak mungkin ia dapatkan saat sudah sampai di rumah ibu mertuanya.
Melati menyusuri koridor rumah sakit hingga sampailah ia di klinik dokter kandungan. Ada wajah yang ia kenal.
“Irma,” gumam Melati setelah meneliti dengan jelas kalau wanita yang duduk di bangku tunggu klinik bersalin adalah adik iparnya.
“Ngapain dia di klinik bersalin? Apa magang? Masa mahasiswa bisnis magang di klinik dokter kandungan? Memeriksa kehamilan? Irma bahkan belum menikah.”
Pikiran Melati terus berputar-putar mencari jawaban kenapa Irma ada di klinik dokter kandungan. Melati akan menghampiri Irma, namun nama Irma keburu dipanggil.
“Bunda Irma, silakan masuk,” terdengar perawat memanggil Irma.
“Irma konsultasi ke dokter kandungan. Dia tidak sedang magang. Apa Irma hamil?”
“Ah, bukan urusanku,” gumam Melati. Walau kepo, tapi dipikir-pikir ngapain juga ngurusin Irma, toh Irma saja suka menjatuhkan dia.
Melati terus berjalan keluar rumah sakit. Melihat orang lalu-lalang dijemput keluarga, Melati sedikit terenyuh. Ia mengeluarkan ponselnya lalu memesan taksi online.
Sebuah mobil Xenia putih datang.
“Alamat sesuai aplikasi?” tanya driver.
Melati menganggukkan kepala lalu masuk ke mobil.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Melati hanya diam, tidak bicara.
“Macet lagi, macet lagi,” ucap sopir kesal.
“Kenapa macet ya, Pak? Bukankah jalan ini jarang macet?” sahut Melati.
“Itu ada resto baru lagi viral. Tidak punya parkiran luas, akhirnya mobil berjejer,” ucap driver.
Melati tidak melanjutkan obrolan dengan sopir. Pandangannya tertuju pada mobil suaminya.
Melati membuka jendela ingin melihat lebih jelas. Terlihat Arga sedang tertawa di kursi pengemudi, dan yang membuat dada Melati panas adalah Arga sedang berduaan dengan seorang perempuan. Perempuan itu tampak menyenderkan kepalanya di bahu Arga.
Melati ingin turun, tapi mobil melaju. Ingin berhenti pasti akan menyebabkan kemacetan. Melati hanya bisa menghela napas berat.
“Mudah-mudahan itu hanya teman kerjanya,” gumam Melati. Dadanya terasa sesak, mencoba berpikiran positif, tapi tetap tidak bisa. Posisinya mereka terlalu intim untuk sekadar teman kerj
… Melati sampai di depan rumah Ibu Mega.
Ia keluar dari mobil setelah membayar ongkos, lalu menyeret kakinya menuju rumah. Sampai di teras, Ibu Mega sudah berdiri dengan bertolak pinggang. Melati menghela napas berat, berusaha menguatkan mentalnya.
“Enak banget ya kamu naik taksi online. Pasti itu uang dari suami kamu, bukan?” hardik Ibu Mega. Mulutnya manyun, wajahnya seram seperti monster.
“Memangnya kenapa, Bu? Aku pakai uang Mas Arga. Mas Arga kan suamiku. Harusnya malah Mas Arga yang menjemputku,” jawab Melati tenang. Melihat Arga berduaan dengan wanita lain, ia sudah berancang-ancang mengambil keputusan—bertahan atau bubar. Namun, semuanya harus jelas dulu. Melati tidak mau terburu-buru. Bagaimanapun, bercerai tidak pernah ada dalam agenda hidupnya.
“Kamu itu ya, menantu tidak berguna. Bisanya hanya ngabisin uang suami. Sudah bodoh, miskin, boros, nyusahin lagi!” cerocos Ibu Mega tanpa jeda.
Sakit sekali hati Melati mendengar ucapan itu. Dalam hatinya ia berharap bisa disambut dengan senyuman oleh ibu mertuanya. Apalagi, ia baru sembuh setelah dirawat di rumah sakit.
“Sudah cukup, Bu?” tanya Melati tenang.
“Apanya yang sudah?” geram Ibu Mega.
“Ngomelnya sudah belum? Kalau sudah, aku mau ke kamar,” ucap Melati datar.
“Enak saja mau istirahat. Tunggu di luar. Sebentar lagi Risma akan datang, kamu harus duluan ke rumah Risma,” perintah Ibu Mega.
Melati terdiam. Ia tahu, dirinya akan dijadikan pembantu. Namun, sepertinya tidak buruk juga kalau ia ke rumah Risma. Kalau masuk kamar, pikirannya pasti akan hanyut dalam hal-hal buruk.
“Baiklah, Bu,” lirih Melati sambil duduk di kursi teras.
Tak lama kemudian, Irma datang dengan naik ojek online.
“Ternyata wanita tadi benar-benar Irma. Pakaiannya masih sama seperti di klinik tadi,” ucap Melati dalam hati.
“Dari mana saja kamu?” tegur Ibu Mega.
Tidak ada jawaban dari Irma. Ia langsung masuk ke rumah sambil menutup mulutnya, seakan-akan menahan muntah.
“Kenapa Irma seperti orang hamil?” gumam Melati, menatap penuh curiga.