Seharusnya, dengan seorang Kakak Kaisar sebagai pendukung dan empat suami yang melayani, Chunhua menjadi pemenang dalam hidup. Namun, kenyataannya berbanding terbalik.
Tubuh barunya ini telah dirusak oleh racun sejak bertahun-tahun lalu dan telah ditakdirkan mati di bawah pedang salah satu suaminya, An Changyi.
Mati lagi?
Tidak, terima kasih!
Dia sudah pernah mati dua kali dan tidak ingin mati lagi!
Tapi, oh!
Kenapa An Changyi ini memiliki penampilan yang sama dengan orang yang membunuhnya di kehidupan lalu?!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon miaomiao26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Godaan Ringan
Menjelang siang, Ibu kota Daliang masih penuh dengan hiruk pikuk khas hari pasar.
Jalanan utama dipenuhi deretan pedagang yang menjajakan kain sutra berwarna-warni, pernak-pernik perak yang berkilau di bawah sinar matahari, serta aroma kacang panggang bercampur dengan asap dupa dari kuil terdekat.
Suara kuda yang menarik kereta bangsawan bercampur dengan riuh rendah teriakan pedagang, menjadikan suasana ibu kota seperti aliran sungai yang tak pernah berhenti.
Setelah nostalgia singkat yang menyinggung hubungan keluarganya, ia hanya menggeleng samar. “Putri ini akan mengunjungi Bibi Chu, nanti,” tuturnya.
Bibirnya melengkung dengan senyum senyum lembut. “Kamu bisa melanjutkan urusanmu, Putri ini tidak akan menganggumu lebih lama.”
Li Qianqian, yang baru saja menunduk, mengangkat kepalanya sedikit. Wajahnya masih tampak gugup, tapi tatapan matanya mengandung rasa hormat tulus. “Terima kasih, Yang Mulia. Hamba mohon diri.” Ia lalu berjalan pergi, ditemani pelayanannya.
Chunhua memperhatikan langkah ringan gadis itu sejenak, lalu memalingkan pandangan.
Tubuhnya ini benar-benar sampah, dia hanya duduk dan berbicara, tetapi terasa seolah baru mengosongkan sebuah kota.
“Su Yin,” panggilnya ringan, “kita pergi ke restoran. Putri ini lelah.”
“Baik, Yang Mulia,” jawab Su Yin cepat, lalu memberi isyarat pada Mo Fei untuk mereservasi sebuah ruang pribadi untuk Sang Putri.
Di sisi lain, Li Qianqian berjalan bersama pelayannya yang masih tampak ragu.
Gadis itu tak bisa menahan diri untuk bergumam lirih, suaranya nyaris tertelan oleh keramaian jalan. “Apakah kamu melihatnya? Sang Putri benar-benar cantik… sesuai dengan julukannya sebagai wanita tercantik di Daliang.”
Pelayanannya mengernyit. “Putri Agung memang cantik,” ucapnya ragu. “Tapi… perilakunya… sedikit tidak pantas.”
Li Qianqian berhenti sebentar, menatap pelayannya. Ia tahu yang dimaksud pelayannya itu.
Akan tetapi, bukannya setuju, bibirnya justru mengerucut kesal. “Hati-hati dengan lidahmu. Dinding pun punya telinga. Lagi pula…” Ia menoleh ke arah jalanan yang padat, matanya berkaca sedikit nakal. “…apa itu tabu? Bukankah dunia ini hanya keras kepada mereka yang lemah? Jika seorang wanita bisa menundukkan banyak pria, bukankah itu justru kekuatan?”
Pelayannya tertegun, lalu buru-buru menunduk. “Hamba mengingat perintah.”
Li Qianqian kembali melangkah, masih menyimpan rasa kagum terhadap sosok sepupunya itu.
Dalam hati, ia justru merasa bersemangat, sosok Putri Fangsu yang begitu berani adalah sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan akan ia kagumi dalam hidup barunya ini.
Tak lama setelah Chunhua dan rombongannya pergi, dari ruang dalam toko kain, An Changyi melangkah keluar. Di sampingnya, sahabatnya sejak kecil, Liu Yuan, ikut berjalan sambil mengunyah sesuatu dengan santai.
Suasana toko baru saja tenang kembali setelah drama kecil Li bersaudara tadi. Namun, Liu Yuan masih sibuk menoleh ke belakang. “Kau lihat, Changyi? Jika bukan karena reputasinya, mungkin ambang pintu istana Putri Fangsu sudah roboh dihantam para mak comblang.”
An Changyi tidak menjawab segera. Wajahnya tenang, matanya lurus ke depan, tetapi ada seberkas cahaya dalam sorotannya—seperti seseorang yang baru saja menemukan sesuatu yang menarik.
Liu Yuan meliriknya, lalu menambahkan dengan nada heran, “menurutmu kapan pernikahannya di laksanakan?”
“Musim semi tahun depan,” jawab An Changyi sambil lalu.
Langkah Liu Yuan terhenti. “Hah? Dari mana kau tahu?”
An Changyi menoleh sedikit, bibirnya terangkat tipis. “Karena aku adalah pria sial yang kau maksud.”
Liu Yuan membeku, mulutnya terbuka tanpa suara. Ia bahkan lupa mengikuti sampai An Changyi sudah berjalan beberapa langkah di depan.
Baru setelah terkejutnya agak mereda, ia berlari kecil menyusul.
“Changyi! Kau jangan bercanda! Itu benar?”
An Changyi hanya menatap lurus ke depan, senyumnya tipis tapi tidak sampai ke matanya. “Aku pernah bercanda soal hal ini?”
Sementara itu, Chunhua sudah memasuki Restoran Yulan, salah satu restoran paling terkenal di ibu kota.
Bangunannya menjulang tiga tingkat, dengan pilar merah dihiasi ukiran rumit, genting hijau yang berkilau diterpa cahaya matahari, serta aroma sup kaldu yang harum tercium bahkan dari luar.
Begitu Chunhua naik ke lantai dua, pelayan restoran buru-buru membungkuk, menyambut dengan sikap penuh hormat. Su Yin sudah memesan ruang pribadi di sudut, dengan jendela besar yang menghadap langsung ke jalanan ramai. Dari sana, Chunhua bisa melihat hiruk-pikuk kota sambil bersandar santai.
Ruangan itu sendiri cukup megah—lantai kayu mengilap, meja bundar besar dengan taplak brokat merah dan lukisan bunga dan awan menghiasi dinding. Lentera gantung memancarkan cahaya lembut, memberi suasana hangat sekaligus elegan.
Chunhua duduk, menyandarkan tubuhnya dengan malas di kursi. Angin siang masuk dari jendela terbuka, membawa aroma kacang panggang dari jalanan bercampur wangi teh kualitas baik yang baru saja diseduh pelayan.
“Ah… Ibu kota memang tempat yang menyenangkan,” gumamnya pelan, bibirnya melengkung santai.
Su Yin berdiri tegak di samping, matanya sesekali melirik dengan penuh kewaspadaan. Ia tahu betul bahwa Putrinya selalu punya rencana tersembunyi di balik senyum lembut itu.
Sebelum secangkir teh, tepat di bawah restoran, dua sosok baru saja muncul.
An Changyi dan Liu Yuan, yang masih asyik berdebat soal pernikahan yang mengejutkan.
Chunhua yang tengah memainkan cawan tehnya mendadak terhenti. Dari jendela yang terbuka, matanya menangkap sosok tegap dengan wajah yang begitu familiar. Detik itu juga, pupilnya menyempit, seperti kucing yang menemukan mainan baru.
“Oh…” bisiknya pelan, senyum tipis terbentuk. “Bukankah itu calon suamiku?”
Ia mencondongkan tubuh, lalu dengan gerakan anggun menjatuhkan sapu tangannya ke bawah.
Kain putih bersulam benang emas itu melayang, berputar di udara, sebelum mendarat tepat di bahu An Changyi.
Suara Chunhua terdengar lembut dari atas, “Sapu tanganku jatuh. Bisakah Tuan Muda membawanya naik untukku?”
An Changyi mendongak. Dari balik tirai tipis di lantai dua, ia melihat Chunhua, duduk santai dengan senyum yang mematikan. Mata rubahnya yang berkilau menatap langsung ke arahnya, seolah-olah dialah satu-satunya orang di dunia ini.
Bibir An Changyi melengkung sopan, meski hatinya bergetar aneh. “Tentu saja. Bagaimana mungkin saya menolak?”
Liu Yuan di sampingnya tampak linglung. Ia tahu betul siapa yang sedang memanggil mereka, tapi sama sekali tidak menyangka cara Chunhua menyapa calon suaminya sendiri justru dengan menggoda terang-terangan.
“Changyi… kau yakin ini ide bagus?” bisiknya, merinding.
Akan tetapi, An Changyi sudah melangkah masuk ke restoran.
Pelayan restoran dengan cepat memandu keduanya ke ruang pribadi Chunhua. Begitu pintu dibuka, aroma harum teh harum bercampur dengan wangi anggur buah memenuhi ruangan.
“Silakan duduk,” kata Chunhua, suaranya lembut, seperti suara mengeong anak kucing.
An Changyi duduk dengan tenang, menyelipkan sapu tangan putih itu di meja. Tatapannya meneliti Chunhua sejenak, seolah mencoba menyingkap apa yang tersembunyi di balik senyum wanita itu.
Chunhua, di sisi lain, menyandarkan dagunya di telapak tangan. Matanya mengamati An Changyi tanpa sungkan.
"Benar-benar mirip," batinnya. Mirip dengan Sang Pemburu yang membunuhku.
Ia tidak menyimpan dendam, dia yakin itu.
Dalam akhir dunia, hukum rimba berlaku. Yang kalah mati dan yang menang bertahan hidup.
Akan tetapi, tidak dendam bukan berarti ia tidak bisa bersenang-senang sedikit, kan?
“Boleh aku tahu nama kedua Tuan Muda ini?” tanya Chunhua, senyumnya tak berubah.
Liu Yuan tercekat. Ia melirik An Changyi, lalu menunduk buru-buru.
"Bagaimana mungkin calon istri tidak mengenali calon suaminya?" batinnya.
Perasaan tidak enak merambati tubuh Liu Yuan. Apalagi tatapan An Changyi yang tersenyum, tetapi dingin membuat bulu kuduknya meremang.
Di balik senyum sopannya, dia merasa ada badai yang perlahan terbentuk.