Gendis baru saja melahirkan, tetapi bayinya tak kunjung diberikan usai lelahnya mempertaruhkan nyawa. Jangankan melihat wajahnya, bahkan dia tidak tahu jenis kelamin bayi yang sudah dilahirkan. Tim medis justru mengatakan bahwa bayinya tidak selamat.
Di tengah rasa frustrasinya, Gendis kembali bertemu dengan Hiro. Seorang kolega bisnis di masa lalu. Dia meminta bantuan Gendis untuk menjadi ibu susu putrinya.
Awalnya Gendis menolak, tetapi naluri seorang ibu mendorongnya untuk menyusui Reina, putri Hiro. Berawal dari menyusui, mulai timbul rasa nyaman dan bergantung pada kehadiran Hiro. Akankah rasa cinta itu terus berkembang, ataukah harus berganti kecewa karena rahasia Hiro yang terungkap seiring berjalannya waktu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12. Mencari Tahu
Hiro tertunduk dengan rasa panas yang tertinggal pada pipinya. Matanya melebar dengan bibir terbuka. Perlahan Hiro mengangkat tangan untuk mengusap pipi.
Kepala Hiro kembali bergerak, kini tatapan lelaki itu tertuju pada Gendis yang sedang menatapnya tajam. Dada perempuan tersebut kembang kempis dengan bahu bergetar.
"Apa kamu lelaki yang malam itu tidur denganku?" tanya Gendis dengan suara bergetar.
Mata Gendis berkabut. Jemari mengepal kuat di samping badan. Dadanya naik turun seakan habis lari maraton.
"Sepertinya kamu salah paham, Ndis. Aku ...." Belum sempat Hiro melanjutkan ucapan, Gendis kembali membuka lebar kemeja lelaki tersebut.
Kini ujung telunjuk Gendis menempel pada tanda berwarna kecoklatan yang ada pada dada bidang Hiro. Lelaki tersebut menunduk, mengikuti arah telunjuk Gendis. Jakunnya naik turun dengan cepat.
"Aku masih mengingatnya! Lelaki yang sudah mengambil keperawananku itu memiliki tanda yang sama denganmu! Dan Reina ...." Gendis menarik tangannya dari dada Hiro, lantas menarik napas dalam-dalam.
"Reina juga memiliki tanda yang sama denganmu! Tanda lahir berbentuk sama pada dadanya!" Suara Gendis bergetar, bercampur dengan tangis yang pecah.
Hiro menggenggam lengan atas Gendis. Akan tetapi, perempuan tersebut terus berontak dan menjerit histeris. Mau tak mau Hiro memeluknya erat.
Awalnya Gendis meronta dan menolak pelukan dari lelaki tersebut. Namun, perlahan gerakannya melemah seiring tangis yang semakin pecah. Hiro mengusap punggung Gendis lembut.
"Aku tidak tahu apa yang sebenarnya kamu alami, Ndis. Sebelumnya kita hanya partner kerja untuk proyek perumahan perusahaan Wisesa. Aku tidak pernah tahu apa yang menimpamu setelahnya." Hiro menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan, penuh rasa putus asa.
"Sejak terakhir kali kita bertemu di Jepang, aku tidak pernah datang lagi ke sini. Aku baru datang setelah mendapatkan kabar kecelakaan yang menimpa kakakku. Maaf jika tanda lahir kami membuat trauma masa lalumu kembali muncul ke permukaan. Aku tidak bermaksud begitu."
Gendis masih tergugu dalam pelukan Hiro. Keduanya masih dalam posisi itu ketika Nana membuka pintu kamar mandi. Perempuan tersebut ragu untuk segera keluar.
Jadi, Nana memutuskan untuk sengaja membuka pintu kamar mandi dengan kasar untuk menimbulkan suara. Sontak Gendis mendorong tubuh Hiro. Kondisi Hiro dengan dada terbuka sudah bisa dipastikan akan membuat siapa pun salah paham.
Lelaki tersebut buru-buru membetulkan kancing kemejanya. Dia membuang muka, sementara Gendis menghapus air mata menggunakan telapak tangannya. Nana tersenyum simpul dan pura-pura tidak melihat apa yang terjadi sebelumnya.
"Reina sudah selesai mandi, Pak." Nana meletakkan Reina pada boks bayi dan mengembalikan peralatan mandi bayi tersebut di tempatnya.
"Biarkan Reina menyusu hingga kenyang. Setelah itu baru berangkat imunisasi." Hiro beranjak dari atas ranjang sebelum akhirnya melangkah ke arah pintu.
Gendis membuang muka ketika tak sengaja tatapannya bertemu dengan Hiro. Hiro berdeham sebelum akhirnya memutar tuas pintu. Lelaki tersebut membuka pintu di hadapannya, lantas keluar dari ruangan tersebut.
Sementara itu, Nana mendekati Gendis. Dia memanggil nama Gendis sehingga membuat perempuan tersebut menoleh. Nana tersenyum lembut, sebelum akhirnya menatap Reina yang kini ada di boks bayi.
"Bu, sudah bisa menyusui Reina? Saya akan menyiapkan perlengkapan untuk dibawa ke rumah sakit. Saya permisi," pamit Nana sambil perlahan memutar tubuh, tetapi kembali menatap Gendis karena perempuan itu kembali bertanya.
"Apa aku boleh ikut ke rumah sakit?" tanya Gendis dengan mata yang kembali sebak.
"Justru sebaiknya Bu Gendis ikut. Saya rasa Reina akan merasa nyaman jika dia bersama Anda."
Nana kembali tersenyum tipis dan mengangguk pelan sebagai tanda pamit. Sementara perempuan itu menyiapkan semua, Gendis berjalan perlahan mendekati boks bayi. Reina terlihat memiringkan tubuh dan mulai memasukkan jemari ke mulut sembari menyesapnya.
Gendis akhirnya mengangkat tubuh mungil Reina. Dia duduk di tepi ranjang dan mulai mengeluarkan sumber ASI. Perlahan Reina menyesap bagian tubuh Gendis tersebut.
Gendis memandang wajah mungil Reina yang sedang menempel di dadanya. Isapan lembut terdengar seperti alunan lagu pengantar tidur. Setiap tegukan yang Reina ambil terasa seperti merenggut sisa lelah, menggantinya dengan rasa hangat yang membuat Gendis ingin menangis.
"Bagaimana ini? Kenapa aku semakin tidak ingin kehilangan kamu, Rei. Aku sangat menyayangimu." Gendis menatap Reina sambil sesekali mengusap puncak kepala bayi tersebut.
Mata Reina perlahan terpejam, pipinya yang lembut menempel di kulit Gendis, dan tangan mungil bayi tersebut menggenggam baju seolah berkata kalau dia juga tidak ingin jauh dari sang ibu susu. Gendis menatapnya lama, dadanya terasa penuh—bukan hanya oleh air susu, tetapi juga cinta yang tak bisa diucapkan. Setelah kenyang, Reina mulai lelap dalam tidur.
Gendis meletakkannya kembali ke dalam boks. Sementara itu dia membersihkan diri untuk menghilangkan bau asam karena ASI yang terus menetes sepanjang malam. Bukti bahwa Tuhan begitu adil memberikan ASI berlimpah untuk Reina, sehingga Gendis bisa memberikan yang terbaik bagi bayi tersebut.
***
Tangis bayi terdengar dari ruang khusus vaksinasi. Reina sejak dari rumah masih terlelap dan sesekali menggeliat sehingga membuat wajahnya berubah kemerahan. Sementara menunggu, pikiran Gendis sedang mengalami pergolakan.
Perempuan tersebut terusik dengan tanda lahir antara Hiro dan Reina yang sama. Ingatannya tentang lelaki yang mungkin saja membuatnya mengandung perlahan mencuat ke permukaan. Dia tidak bisa mengingat dengan jelas.
Hanya terdengar samar suara desah napas lelaki asing itu, serta tanda lahir yang sama. Namun, Gendis tidak dapat memastikan warna dari tanda lahir itu karena suasana remang-remang hotel malam itu. Apakah merah muda seperti milik Reina, atau kecoklatan seperti Hiro.
"Bu," panggil Nana.
Gendis tersentak seketika. Dia menoleh ke arah Nana yang kini tersenyum. Gendis mengalihkan tatapan pada pintu ruang vaksinasi yang terbuka dengan seorang perawat berdiri di ambang pintu.
"Ananda Reina Yamamoto." Perawat itu sedikit memiringkan tubuh untuk memastikan pasien mendengar panggilannya.
Gendis pun berdiri. Dia ditemani Nana berjalan mendekat ke arah ruangan tersebut. Akan tetapi, ketika hampir masuk ke dalamnya, Gendis menyerahkan Reina kepada Nana.
"Nana, bisa tolong temani Reina dulu? Aku ada urusan penting. Sebentar saja, ya?"
Tanpa menunggu persetujuan Nana, Gendis langsung berlari setelah memastikan Reina aman dalam pelukan sang pengasuh. Kakinya melangkah cepat menyusuri koridor rumah sakit. Orang-orang memperhatikan perempuan tersebut dan sesekali saling berbisik karena dianggap menimbulkan kegaduhan.
Gendis berhenti tepat di depan ruang rekam medis. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Tangannya gemetar ketika naik ke udara dan mendarat pada bel yang ada pada loket.
Seorang petugas pun keluar dan tersenyum ramah. Bibir Gendis mulai terbuka dan sedikit gemetar. Suaranya seakan tertahan ketika hendak mengungkapkan maksud kedatangan ke loket tersebut.
"Ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanya perawat ramah dengan senyum manisnya.
"Bo-bolehkah saya ...."
Semua bersumber dari otak jahat Reiki