"Aku hanya minta satu tahun, Jingga. Setelah melahirkan anak Langit, kau bebas pergi. Tapi jangan pernah berharap cinta darinya, karena hatinya hanya milikku.” – Nesya.
_______
Di balik senyumnya yang manis, tersimpan rahasia dan ambisi yang tak pernah ku duga. Suamiku terikat janji, dan aku hanyalah madu pilihan istrinya—bukan untuk dicinta, tapi untuk memenuhi kehendak dan keturunan.
Setiap hari adalah permainan hati, setiap kata adalah ujian kesetiaan. Aku belajar bahwa cinta tidak selalu adil, dan kebahagiaan bisa datang dari pilihan yang salah.
Apakah aku akan tetap menanggung belenggu ini… atau memberontak demi kebebasan hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuna Nellys, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6. Bara yang tak di sadari
...0o0__0o0...
...Langit semakin mempertipis jarak dengan istri kecilnya. Jingga gelisah, matanya memelas, berharap Langit peka, namun hati pria itu sedang mendidih....
...“Kak, aku bisa jelaskan. Tolong… jangan seperti ini di hadapan teman ku,” ucap Jingga lirih....
...Ikbal, yang sejak tadi memperhatikan, akhirnya bersuara....
...“Maaf, Dok. Bisa jaga jarak dari Jingga ? Dia jelas tidak nyaman. Jingga bukan tipe gadis yang suka berdekatan dengan yang bukan mahramnya.” Suaranya tegas....
...Sejenak, Langit terdiam. Ia memutar tubuh, menatap pemuda seusia istrinya itu dengan tatapan dingin....
...“Siapa kamu ? Kenapa terdengar begitu mengenal Jingga ?”...
...“Saya Ikbal, teman kuliah Jingga.” jawabnya tenang....
...Ikbal memilih tak menyebut masa lalu mereka. Lagipula, ia bahkan tak tahu siapa sebenarnya dokter di hadapan-nya ini....
...“Em… Ikbal, maaf. Aku harus segera ke ruangan Dokter Langit untuk membahas kondisi ayahku,” potong Jingga tiba-tiba, mencoba meredakan suasana....
...“Baiklah. Tapi… bolehkah aku jenguk ayah mu dulu sebelum pulang ?” tanya Ikbal....
...Jingga mendongak, mencari restu dari suaminya. Namun yang ia dapat hanya tatapan dingin, tajam, seolah lebih mengerikan dari pada setan....
...Glek…! ...
...Jingga menelan ludah kasar. “Kenapa wajahnya horor banget sih,” gumamnya sambil menunduk....
...“Em, Ikbal… sepertinya tidak bisa. Ayahku masih belum sadar, aku juga belum tahu apakah boleh di jenguk atau tidak. Lagi pula aku tak bisa menemani mu lebih lama.” Suaranya hati-hati....
...“Kenapa harus di temani ? Dia bukan bocah TK,” celetuk Langit, dingin....
...Jingga spontan melotot ke arahnya. Ingin rasanya meremas wajah suaminya yang tenang tanpa ekspresi itu....
...“Jingga, kenapa terus menatap dokter itu ? Turunkan pandangan mu, dia bukan mahram mu,” tegur Ikbal lagi....
...Wajah Jingga memanas, lidahnya kelu. "Andai ada kantong Doraemon, aku pasti sudah bersembunyi di dalamnya."...
...“Astaghfirullah, Ikbal… aku harus segera masuk, menyelesaikan urusan ku,” katanya gugup, mencari alasan untuk kabur dari situasi yang makin canggung....
...Langit hanya menatap tajam, semakin panas melihat Jingga yang terus saja merespon pemuda itu....
...“Baiklah, kapan-kapan aku ke sini lagi. Jangan lupa kabari kalau ayahmu sudah bisa di jenguk. Assalamualaikum,” pamit Ikbal....
...“Waalaikumsalam,” jawab Jingga kaku....
...Begitu Ikbal pergi, Jingga langsung menghembuskan napas panjang....
...“Huft…!”...
...Ia menoleh ke suaminya dengan wajah masam. “Kenapa kamu nggak peka sih, Kak ? Aku nggak mau pernikahan kita di ketahui orang lain dan menimbulkan masalah di kemudian hari.”...
...Langit tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap tajam, wajahnya datar tapi penuh amarah yang di tahan. Detik itu, Jingga bisa merasakan hawa dingin sekaligus panas di sekelilingnya....
..."Kenapa tatapan itu terasa lebih menusuk daripada kata-kata ?"...
...Langit maju selangkah, mendekat tanpa suara. Senyumnya tipis, tapi justru membuat Jingga bergidik....
...“Masalahnya, Jingga…” bisiknya pelan. “…aku lebih tidak suka kalau kamu terlalu ramah pada laki-laki lain.”...
...Jingga terdiam. Tubuhnya kaku, jantungnya berdegup tak karuan. Ia menelan ludah, mencoba mengalihkan pandangan, tapi genggaman dingin Langit di pergelangan tangannya menahannya....
...“Kak… lepasin. Kita di rumah sakit, jangan begini,” ucapnya bergetar....
...Langit tidak bergeming. Matanya menyorot tajam, seolah ingin menguliti setiap alasan yang keluar dari mulut istrinya....
...“Kalau kamu sungguh-sungguh peduli pada pernikahan kita, buktikan dengan sikap mu.”...
...Jingga membelalak. Ia ingin membantah, tapi kata-kata suaminya terasa menjerat, membuat lidahnya kelu....
...Tiba-tiba, suara suster terdengar dari Luar. “Mohon maaf, Dokter Langit… pasien sudah siap di periksa.”...
...Keduanya refleks melepaskan diri. Namun ketegangan yang baru saja terjadi, masih menggantung di udara....
..."Pergilah lebih dulu, saya akan segera kesan." Uajar Langit dingin. Suster langsung pergi setelah berpamitan....
...Jingga menunduk, pura-pura sibuk merapikan kerudungnya, mencoba kabur dari sorot mata suaminya. Namun Langit tidak mengalihkan pandangan-nya sedikit pun....
...“Kamu terlalu sering menatap pemuda itu, Jingga.” Suaranya berat, dingin. “Apa semua teman kuliah mu seperti dia ? Atau hanya dia yang spesial sampai membuat mu gelagapan begitu ?”...
...Jingga tersentak. “Kak, jangan bicara sembarangan! Aku sama sekali tidak—”...
...“Diam.” Langit memotong cepat....
...“Kalau kamu tidak ada hubungan istimewa dengannya, kenapa kamu terlihat begitu… panik ? Seakan ingin melindungi dia.”...
...Jingga mendongak, matanya berkaca. “Aku hanya nggak mau kamu salah paham. Aku takut pernikahan kita jadi bahan gunjingan. Itu saja.”...
...Langit mendekat setapak, wajahnya tanpa ekspresi, tapi rahangnya mengeras menahan emosi....
...“Gun…jingan ? Yang aku lihat barusan, justru kamu lebih takut kehilangan kepercayaan-nya dari pada menjaga pandangan ku sebagai suami.”...
...Jingga membelalak, dadanya terasa sesak. Ia ingin membantah, tapi bibirnya terkunci....
...Langit menghela napas panjang, namun itu bukan napas tenang—melainkan napas seseorang yang berusaha meredam gejolak dalam dirinya....
...“Aneh. Kenapa aku marah sekali melihat mu bicara dengan dia…” gumamnya lirih, lebih kepada dirinya sendiri....
...Mata Jingga melebar. Ia sadar, Langit sedang terbakar api cemburu—tapi pria itu sendiri belum menyadari-nya....
...“Mulai sekarang, aku tidak mau lihat kamu terlalu dekat dengan laki-laki itu lagi.” Suaranya tegas, penuh tekanan....
...Jingga terperangah. “Kak, dia temanku! Kami satu kelas, tugas pun sering bareng. Mana mungkin aku bisa menghindar begitu saja?”...
...Langit mengeraskan rahangnya. “Kalau ada tugas, cari teman lain. Aku tidak peduli. Asal bukan dia.”...
...Jingga tercengang. “Kak, kamu keterlaluan! Seolah-olah aku—”...
...“Cukup, Jingga.” Tatapan-nya bergetar meski wajahnya tetap datar....
...“Aku tidak tahu kenapa, tapi aku tidak suka melihat mu berbicara dengan'nya. Bahkan mendengar namanya saja… membuat kepalaku panas.”...
...Jingga hanya bisa menggigit bibirnya, menahan segala emosi yang berputar dalam dadanya. Perasaan bingung, kesal, tapi juga… ada secuil rasa hangat karena sikap posesif Langit barusan....
...Langit berbalik, melangkah menuju ruang pasien dengan langkah panjang....
...“Cepat ikut. Kita masih punya urusan dengan ayahmu. Jangan bikin aku ulangi perkataan ku.”...
...Jingga mendesah pelan, lalu menyusul di belakangnya. Namun dalam hatinya, ia tahu: api kecil yang bernama cemburu itu sudah mulai menyala… dan cepat atau lambat, akan menjadi bara yang sulit di padamkan....
...0o0__0o0...
...Ruang rawat VIP terasa hening. Jingga duduk di samping brangkar ayahnya yang masih belum sadarkan diri. Wajahnya sendu, jemarinya menggenggam tangan ayahnya dengan erat....
...Seorang perawat laki-laki tengah memeriksa infus....
...“Semua dalam kondisi stabil, Dek. Untuk lebih pastinya kita tunggu dokter Langit memeriksa.”...
...Jingga mengangguk sopan. “Terima kasih,” ujarnya lirih sambil menunduk....
...Perawat itu tersenyum tipis. Namun matanya tak bisa berhenti menatap wajah Jingga. Ada kagum, ada decak takjub yang nyaris tak di sembunyikan....
...Ceklek!...
...Pintu terbuka....
...Dokter Langit masuk dengan wajah datar. Namun tatapannya langsung menajam, menusuk ke arah istrinya—dan ke arah lelaki yang berani menatapnya begitu terang-terangan....
...Jingga mendengus kecil....
...“Oh, come on. Tatapan itu seakan mau menelan ku hidup-hidup,” gumamnya sambil menggeleng pelan....
...“Ah, ruangan ini terasa jadi horor, ya ?” ujarnya lagi, mencoba mencairkan suasana....
...Perawat itu ikut menimpali dengan senyum, “Adek bisa saja bercandanya. Siang-siang mana ada horornya.”...
...Jingga tersentak, buru-buru menunduk. “Maaf, saya hanya bercanda,” ujarnya kikuk, melirik ke arah suaminya. Tatapan Langit sudah seperti pisau, dingin dan tajam....
...Langit berusaha fokus memeriksa pasien, tapi darahnya mendidih melihat lelaki lain terang-terangan mengagumi istrinya....
...“Jangan lupa ganti cairan infus sebelum jam istirahat. Perketat penjagaan pasien.” Suaranya datar....
...Tapi perawat itu tidak menjawab. Pandangan-nya masih terpaku pada Jingga....
...Langit menoleh cepat. “Kamu tidak dengar perintah saya ?” suaranya naik setingkat....
...Perawat itu tersentak. “I-iya, Dok. Maaf. Hanya saja… Adek Jingga sangat cantik. Saya… saya tidak bisa berpaling.”...
...Langit membeku sesaat. Rahangnya mengeras, nadinya berdenyut cepat. “Jadi kamu menikmati kecantikan-nya sedari tadi ?” suaranya rendah tapi menekan....
...“I-iya, Dok… saya mengagumi beliau. Selain cantik, juga sopan dan—”...
...“Cukup!” potong Langit dingin....
...Glek..! ...
...Jingga menelan ludah kasar, tubuhnya menegang....
...Tiba-tiba, Langit melangkah cepat. Dengan satu tarikan, pinggang Jingga di tarik hingga tubuhnya menempel erat ke dada bidangnya....
...“Kak! Apa yang kamu lakukan ?! Lepaskan aku!” Jingga meronta panik, wajahnya merah padam....
...Langit tak bergeming. Matanya membara, napasnya memburu....
...“Dengar baik-baik,” bisiknya tajam di telinga Jingga, namun cukup keras untuk perawat itu dengar. “Dia ini istriku. Satu-satunya milik ku. Dan aku tidak akan pernah membiarkan mata lelaki lain mengotorinya, meski hanya dengan tatapan.”...
...Perawat itu pucat pasi, tak berani angkat kepala....
...Langit makin mendekap Jingga, tangannya mencengkeram pinggang mungil istrinya....
...“Keluar sekarang. Sebelum kesabaran ku benar-benar habis.”...
...Perawat itu buru-buru menunduk dalam-dalam, lalu keluar tergesa. ...
...Pintu menutup....
...Namun Langit tidak melepas istrinya. Ia justru menunduk lebih dekat, suaranya bergetar menahan emosi....
...“Jangan pernah tersenyum, jangan pernah bercanda dengan laki-laki lain di hadapan ku lagi. Kau mengerti, Jingga ?”...
...Jingga terdiam. Jantungnya berdetak tak karuan, tubuhnya panas karena amarah dan malu bercampur jadi satu....
...0o0__0o0...
baca cerita poli²an tuh suka bikin gemes tp mau gk dibaca penasaran bgt 😂