NovelToon NovelToon
Cinta Mulia

Cinta Mulia

Status: tamat
Genre:Kehidupan di Kantor / Pernikahan Kilat / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama / Berondong / Tamat
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: Serena Muna

Mulia adalah seorang wanita sukses dalam karir bekerja di sebuah perusahaan swasta milik sahabatnya, Satria. Mulia diam-diam menaruh hati pada Satria namun sayang ia tak pernah berani mengungkapkan perasaannya. Tiba-tiba Mulia mengetahui bahwa ia sudah dijodohkan dengan Ikhsan, pria yang juga teman saat SMA-nya dulu. Kartika, ibu dari Ikhsan sudah membantu membiayai biaya pengobatan Dewi, ibu dari Mulia hingga Mulia merasa berutang budi dan setuju untuk menerima perjodohan ini.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Lolongan Mengerikan

Dokter Surya terkejut. Ia tidak sempat menghindar. Bu Hanim menyerangnya, memukul dada dokter itu dengan tinju terkepal. Ketika Dokter Surya terhuyung, Bu Hanim mencakar wajahnya dengan kuku panjang yang tajam.

"Aaargh!" Dokter Surya meringis kesakitan, darah segera menetes dari luka cakaran di pipinya.

Para perawat segera bertindak, menerjang Bu Hanim, berusaha menjauhkannya dari Dokter Surya. Namun, Bu Hanim melawan dengan kerasukan. Ia menendang dan meronta, tubuhnya dipenuhi energi histeria yang mengerikan.

"Lepaskan aku! Aku harus membalas! Aku harus menghancurkannya!"

Butuh tiga petugas keamanan dan perawat untuk menjatuhkan Bu Hanim. Ia diikat di ranjang, tubuhnya bergetar hebat. Dokter Surya, meskipun terluka, segera mengambil tindakan.

"Segera berikan penenang dosis penuh!" perintah Dokter Surya, sambil menekan luka di pipinya dengan saputangan. "Dia tidak boleh dibiarkan berkeliaran!"

Saat obat penenang disuntikkan, Bu Hanim merasakan tubuhnya mulai berat, tetapi pikirannya masih berputar kencang. Ia tahu dia kalah secara fisik, tetapi jiwanya menolak menyerah.

Ia meraung dan melolong buas, bukan seperti tangisan manusia, melainkan seperti suara binatang yang terperangkap dan terluka parah. Jeritan itu memenuhi kamar isolasi.

"Mulia! Aku akan menghantuimu! Aku akan menghantuimu dalam mimpimu!"

Ia menatap langit-langit dengan mata yang dipenuhi air mata, darah, dan kebencian.

"Lihat aku, Mulia! Aku di sini! Aku di neraka! Dan kamu yang membawaku ke sini!"

Bu Hanim mencoba berbicara, suaranya tercekat dan serak, tetapi kata-katanya penuh ancaman yang mengerikan.

"Aku akan membalas... bukan dengan uang... bukan dengan pengacara... tapi dengan cara yang sadis!" Bu Hanim megap-megap, mencoba mengatur napasnya yang terengah-engah.

"Aku akan membunuh setiap orang yang kamu cintai! Aku akan mencabik-cabik hati Ikhsan di depan matamu! Aku akan membuatmu memohon untuk mati! Dan ketika kamu sudah hancur, aku akan tertawa! Aku akan tertawa membahana!"

Saat obat penenang mulai menguasai sistem sarafnya, tubuh Bu Hanim yang meronta perlahan melemas. Namun, mulutnya terus bergerak, mengeluarkan sumpah serapah terakhir yang dingin dan menakutkan.

Bu Hanim, dengan mata setengah tertutup, mulai tertawa membahana. Tawa itu terdengar serak, parau, dan sangat gila—tawa kemenangan yang ia ciptakan sendiri dalam kegilaannya. Tawa itu perlahan memudar seiring kesadarannya menghilang.

****

Dokter Surya membersihkan lukanya. Ia menatap Bu Hanim yang kini terbaring tak sadarkan diri, dipenuhi penenang dan kekejaman.

"Dia bukan lagi pasien kriminal biasa. Dia adalah bahaya laten," bisik Dokter Surya kepada perawatnya. "Kebenciannya sudah mendarah daging. Selama dia hidup, dia akan selalu mencari cara untuk memenuhi sumpah balas dendamnya."

Dokter Surya tahu, bahkan penjara kejiwaan pun mungkin tidak cukup untuk mengendalikan kebencian yang telah mengambil alih jiwa Bu Hanim. Ancaman yang ia lontarkan, meskipun dari seorang wanita gila, terdengar nyata dan menakutkan.

Di luar rumah sakit jiwa, Mulia dan Ikhsan mungkin berpikir mereka sudah aman, bahwa kebenaran telah menang. Tetapi di balik dinding tebal itu, Bu Hanim telah membuat janji terakhirnya: janji balas dendam yang sadis dan abadi, yang siap meledak lagi kapan pun ia menemukan celah untuk kembali.

Pertarungan Mulia kini bukan lagi melawan pengadilan atau uang. Ia melawan kegilaan yang terobsesi untuk menghancurkannya.

****

Suara tawa membahana yang melengking menusuk telinga Mulia, tawa yang bukan milik manusia, melainkan milik iblis yang baru saja memenangkan jiwa.

Mulia merasa terikat, gaun pengantinnya yang indah kini terasa seberat rantai besi. Ia berdiri di altar, tangan Ikhsan yang dingin menggenggamnya. Di hadapan mereka, bukan penghulu yang tersenyum, melainkan Bu Hanim yang berdiri tegak. Wajah Bu Hanim dilukis oleh kebencian, matanya merah menyala seperti bara api neraka, dan senyumnya lebar, penuh kenikmatan akan kejahatan.

"Selamat datang di nerakamu, Mulia!" teriak Bu Hanim.

"Bu Hanim, pergilah! Ini hari pernikahan kami!" raung Ikhsan, mencoba melindungi Mulia.

Namun, Bu Hanim bergerak secepat kilat. Di tangannya, sebilah pisau panjang berkilauan. Dengan gerakan brutal, ia menghujamkan pisau itu ke dada Ikhsan.

Darah muncrat, membasahi gaun putih Mulia. Ikhsan tersentak, tatapannya teralih pada Mulia, penuh cinta, namun juga penuh penderitaan.

"Lia... lari..." bisik Ikhsan, suaranya tercekat.

"Tidak ada yang lari dariku!" Bu Hanim tertawa, tawa yang kini terdengar seperti lolongan buas. Ia menarik pisaunya dan menusuk Ikhsan lagi, dan lagi.

Mulia menjerit, menjerit dengan segenap tenaga, tetapi suaranya tidak keluar. Ia mencoba meraih Ikhsan, tetapi tangannya hanya menembus udara. Wajah Bu Hanim, yang kini berlumuran darah Ikhsan, mendekat ke wajah Mulia.

"Kamu pantas melihat ini, Mulia! Ini hadiah pernikahanmu!" Bu Hanim menyeringai, wajahnya yang brutal terlihat nyata, setiap kerutan kebencian begitu jelas. "Kamu akan hidup, tapi kamu akan kesepian selamanya! Kamu tidak akan pernah bahagia!"

Bu Hanim kembali tertawa, tawa yang tak terhentikan, bergema di seluruh ruangan—tawa brutal yang penuh kemenangan.

****

"AAAAARGH!"

Mulia tersentak, tubuhnya terlonjak dari kasur. Napasnya terengah-engah, dadanya naik turun dengan cepat. Ia merasakan keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya.

Ia membuka mata lebar-lebar. Kamar itu gelap, tetapi ia segera mengenali tempatnya: apartemen amannya. Tidak ada altar, tidak ada gaun berdarah, dan yang paling utama, Ikhsan tidak ada di sebelahnya—ia sedang berada di apartemen.

Mulia segera menyalakan lampu samping. Ia menatap telapak tangannya, yang terasa dingin dan gemetar, seolah baru saja menyentuh darah.

"Hanya mimpi. Hanya mimpi," bisik Mulia, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Namun, mimpi itu terlalu nyata. Wajah Bu Hanim bak iblis yang menyukai kejahatan brutal itu terpahat jelas di benaknya. Tawa brutal itu masih menggema di telinganya, begitu keras dan memuakkan, seolah Bu Hanim berada di kamar itu bersamanya.

Mulia menggeser selimut. Ia tidak bisa diam di kamar. Rasa takut dan trauma yang terpendam kembali menyeruak, menguasai kesadarannya. Ia harus menenangkan diri.

Mulia bangkit dari tempat tidur. Ia berjalan ke luar kamar, melewati ruang tamu yang sunyi. Kakinya terasa dingin di lantai marmer. Ia berjalan menuju jendela besar, menatap gemerlap lampu kota yang tak pernah tidur.

Ia duduk di sofa sendirian, memeluk lututnya.

"Kenapa? Kenapa mimpi itu harus sejelas ini?" Mulia bergumam.

****

Mulia menutup matanya, berusaha menghapus bayangan pisau dan darah Ikhsan. Ia ingat bagaimana brutalnya serangan Bu Hanim di pernikahan yang gagal itu, dan bagaimana Dinda menyerangnya di rumah sakit. Kegilaan itu nyata, dan itu membuat mimpinya terasa seperti prediksi yang mengerikan.

Ia mencoba menarik napas dalam-dalam, menerapkan teknik menenangkan diri yang diajarkan Kartika. Tarik napas. Buang napas. Kamu aman. Bu Hanim sudah di rumah sakit jiwa.

Namun, logikanya berbenturan dengan emosinya.

"Dia bersumpah akan membalas dendam," Mulia berbisik, suaranya bergetar. "Dia bersumpah akan melakukannya dengan cara yang sadis. Mimpi itu... itu adalah caranya memberitahuku."

Rasa takut Mulia bukanlah takut pada palu hukum, melainkan takut pada kegilaan murni yang kebal terhadap hukum dan logika. Bu Hanim dan Dinda—dua wanita yang kini terkunci—telah meninggalkan warisan dendam yang jauh lebih berbahaya daripada uang atau posisi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!