Karena menyelamatkan pria yang terluka, kehidupan Aruna berubah, dan terjebak dunia mafia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dina Auliya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perang Dalam Hati Aluna
Malam terasa panjang bagi Aruna. Setelah Leonardo kembali dari medan perang kecil itu dengan tubuh berlumuran darah—bukan darahnya, tapi darah orang lain—Aruna tidak bisa tidur. Ia terbaring di ranjang besar, menatap langit-langit kamar yang gelap, sementara di sampingnya Leonardo terlelap dengan napas berat.
Cahaya bulan menembus tirai, membentuk bayangan samar di dinding. Bayangan itu bergerak-gerak setiap kali angin malam berembus, membuat kamar semakin mencekam.
Aruna memeluk dirinya sendiri. Ingatannya tentang kobaran api di kejauhan masih jelas. Ia tak bisa menghapus kilatan tatapan liar Leonardo, yang dengan bangga mengatakan: “Aku membakar dunia untukmu.”
Hatinya bergetar. Ada bagian dalam dirinya yang merasa… terharu. Karena di balik semua kekejaman itu, Leonardo memang mencintainya dengan cara yang brutal. Tapi ada bagian lain yang berteriak ketakutan: cinta macam apa yang harus diwarnai dengan darah dan kematian?
---
Aruna bangkit pelan, melangkah ke balkon kamar. Udara malam menusuk kulitnya, dingin namun menenangkan. Dari jauh, ia masih bisa melihat sisa asap yang menggantung di langit Roma.
Ia menggenggam pagar balkon, matanya kosong. “Apakah aku… masih diriku sendiri?” bisiknya lirih. “Atau aku sudah berubah, menjadi bagian dari dunia Leo yang penuh darah ini?”
Pikirannya bergejolak. Sejak ia bertemu Leonardo, hidupnya berubah drastis. Dari gadis biasa yang penuh mimpi sederhana, kini ia menjadi pusat perhatian King Mafia, wanita yang dicintai, dilindungi, sekaligus terpenjara oleh obsesinya.
Ia menutup mata, merasakan angin malam mengusap wajah. “Aku mencintainya… tapi aku juga takut padanya. Aku ingin bersamanya… tapi aku juga ingin bebas. Apakah mungkin aku bisa memiliki keduanya?”
---
Tiba-tiba suara berat terdengar di belakangnya. “Kenapa kau terjaga?”
Aruna tersentak. Leonardo berdiri di ambang pintu balkon, tubuh kekarnya diselimuti cahaya bulan. Matanya menatap tajam, tapi ada kelembutan tersembunyi di balik itu.
“Aku… tidak bisa tidur,” jawab Aruna pelan.
Leonardo melangkah mendekat, lalu memeluknya dari belakang. Dingin udara malam tergantikan oleh hangat tubuhnya yang menekan erat.
“Tidurlah, Aruna,” bisiknya. “Selama kau bersamaku, tidak ada yang bisa menyakitimu.”
Aruna menggigit bibir. “Tapi Leo… bagaimana jika yang menyakitiku adalah dunia yang kau bawa padaku?”
Leonardo terdiam. Pelukannya mengeras. “Apakah kau menyesal telah bersamaku?” tanyanya pelan, tapi dalam.
Aruna membeku. Pertanyaan itu seperti pisau tajam. Ia ingin menjawab jujur—bahwa ia memang merasa ketakutan, merasa terjebak. Tapi bagian lain dalam dirinya tak sanggup melukai pria yang begitu mencintainya.
“Aku… aku hanya takut,” akhirnya ia berbisik.
Leonardo membalik tubuhnya, menatap langsung ke matanya. “Takut padaku?”
Aruna menahan napas. Air matanya menggenang. “Takut kehilangan diriku sendiri.”
---
Tatapan Leonardo melembut. Ia mengusap pipi Aruna, lalu menunduk mencium keningnya. “Aruna… kau tidak akan kehilangan apa pun. Kau tidak akan pernah sendirian. Aku akan selalu ada di sampingmu.”
Namun bagi Aruna, kalimat itu justru terdengar seperti rantai yang semakin melilit. “Selalu ada di sampingmu…” terdengar indah, tapi juga menakutkan. Karena itu berarti tak ada ruang untuk kebebasan.
Aruna akhirnya kembali ke ranjang, berbaring di sisi Leonardo. Lelaki itu memeluknya erat, seolah ia adalah harta karun paling berharga yang tak boleh disentuh siapa pun.
Matanya perlahan terpejam, tapi pikirannya tetap bergejolak. “Aku terjebak di antara cinta dan ketakutan. Apakah aku benar-benar bisa mencintainya dengan tulus, atau hanya karena aku sudah terlalu jauh masuk ke dunianya?”
---
Keesokan paginya, mansion dipenuhi aktivitas. Marco dan anak buah Leonardo bersiap untuk langkah berikutnya dalam perang melawan Vittorio.
Aruna duduk di meja makan, tapi hampir tak menyentuh sarapannya. Ia hanya memainkan sendok di piring, pikirannya melayang.
Leonardo masuk dengan langkah mantap. Semua anak buah menunduk memberi hormat. Namun tatapannya hanya terfokus pada Aruna.
“Kau tidak makan?” tanyanya sambil duduk di sampingnya.
Aruna tersenyum tipis, memaksakan ketenangan. “Aku tidak lapar.”
Leonardo menyipitkan mata, lalu mengambil roti panggang dan menyuapkannya langsung ke bibir Aruna. “Makan. Kau harus kuat. Aku tidak akan membiarkanmu lemah di sampingku.”
Aruna terpaksa membuka mulut, menerima suapan itu. Di satu sisi, ia merasa tersentuh oleh perhatiannya. Tapi di sisi lain, ia merasa kendali atas dirinya semakin direnggut.
Marco memperhatikan dari jauh, wajahnya serius. Ia tahu obsesi Leonardo pada Aruna semakin dalam. Dan ia juga tahu—hal seperti ini bisa menjadi kelemahan fatal bagi King Mafia.
---
Siang harinya, Aruna menyendiri di taman belakang mansion. Ia duduk di bangku marmer, menatap bunga mawar merah yang bermekaran.
“Mawar…” gumamnya. “Indah, tapi penuh duri. Sama seperti cinta Leo.”
Ia menyentuh kelopak bunga itu dengan hati-hati. “Aku mencintainya… tapi cinta ini juga melukaimu, Aruna.”
Air matanya jatuh. Untuk pertama kalinya, ia berkata jujur pada dirinya sendiri: ia memang mencintai Leonardo, tapi cinta itu bercampur dengan ketakutan.
Dan perang dalam hatinya semakin tak terkendali.
---
Sore menjelang malam, Leonardo datang menghampiri. Ia berdiri di samping bangku, lalu duduk di sebelah Aruna.
“Apa yang kau pikirkan?” tanyanya.
Aruna terdiam lama sebelum menjawab. “Aku hanya… bertanya-tanya, Leo. Apakah mungkin ada cinta tanpa perang? Tanpa darah?”
Leonardo menghela napas, lalu menatap langit senja yang memerah. “Untuk orang lain, mungkin. Tapi tidak untukku. Hidupku selalu perang. Dan cintaku padamu… tidak akan pernah bisa dipisahkan dari itu.”
Aruna menoleh, menatapnya penuh air mata. “Jadi, jika aku ingin mencintaimu… aku harus menerima darah?”
Leonardo menatap balik dengan mata kelam. “Ya. Karena itu adalah bagian dariku. Jika kau menolak itu… kau menolak aku.”
Kalimat itu menusuk hati Aruna. Ia menunduk, menahan tangis.
“Apakah aku sanggup… hidup selamanya dalam dunia yang penuh darah ini? Atau suatu hari nanti, aku akan hancur karenanya?”
---
Malam itu, perang dalam hati Aruna semakin membara. Ia tahu, cintanya pada Leonardo nyata. Tapi ia juga tahu, semakin ia bertahan, semakin ia kehilangan dirinya sendiri.
Dan jauh di lubuk hatinya, suara kecil berbisik: “Cinta ini akan menjadi penyelamatmu… atau kehancuranmu.”