Judul: Suamiku Tak Pernah Kenyang
Genre: Drama Rumah Tangga | Realistis | Emosional
Laila Andini tak pernah membayangkan bahwa kehidupan rumah tangganya akan menjadi penjara tanpa pintu keluar. Menikah dengan Arfan Nugraha, pria mapan dan tampak bertanggung jawab di mata orang luar, ternyata justru menyeretnya ke dalam pusaran lelah yang tak berkesudahan.
Arfan bukan suami biasa. Ia memiliki hasrat yang tak terkendali—seakan Laila hanyalah tubuh, bukan hati, bukan jiwa, bukan manusia. Tiap malam adalah medan perang, bukan pelukan cinta. Tiap pagi dimulai dengan luka yang tak terlihat. Laila mencoba bertahan, karena “istri harus melayani suami,” begitu kata orang-orang.
Tapi sampai kapan perempuan harus diam demi mempertahankan rumah tangga yang hanya menguras
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Euis Setiawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
empati yang salah arti
hari demi hari berlalu, dan kehadiran Bi Ratmi di rumah mulai terasa lebih dari sekadar pembantu rumah tangga. Sejak pagi, sebelum matahari terbit, ia sudah sibuk di dapur. Memasak sarapan, menyiapkan baju kerja Arfan, bahkan terkadang menyetrika ulang kemeja suaminya hanya karena kerahnya dianggap kurang rapi.
Laila memperhatikan semua itu dalam diam. Ia tidak langsung menegur, tidak pula mengkritik. Tapi setiap gerakan Bi Ratmi semakin menekan hatinya yang selama ini berusaha kuat. Bukan tentang pekerjaan Bi Ratmi, melainkan niat di balik semua itu yang membuatnya gelisah.
Hari itu, seperti biasa, Bi Ratmi masuk ke kamar Arfan setelah ia mandi. Ia membawa handuk bersih, menyiapkan kopi hitam kesukaan Arfan, dan bahkan menggosokkan balsem ke bahu Arfan yang katanya pegal. Arfan tak menolak. Bahkan, ia menganggap semua itu biasa saja hal yang memang seharusnya dilakukan pembantu.
Namun, bagi Laila, semua itu adalah tugasnya. Tugas istri. Tapi entah kenapa, sejak kehadiran Bi Ratmi, peran itu seolah-olah dicabut darinya.
Saat hendak menyiapkan sarapan untuk Arfan, Laila justru mendapati meja makan sudah penuh dengan hidangan lengkap. Telur dadar, sup ayam, dan roti panggang yang disajikan rapi. Di samping piring, ada gelas jus segar dan vitamin.
“Bu, saya sudah siapkan semua. Biar Bapak langsung makan saja,” ucap Bi Ratmi sambil tersenyum.
Laila hanya menangguk. “Iya, terima kasih.”
Tapi dalam hatinya, Laila seperti dihantam angin dingin. Ia merasa seperti tamu di rumah sendiri. Tak diberi ruang untuk menyentuh apa pun milik suaminya.
Sementara itu, di sisi lain...
Arfan, yang semula tak terlalu peduli dengan kehadiran Bi Ratmi, mulai merasa nyaman. Wanita itu perhatian, tidak banyak bicara, tahu waktu, dan tahu keinginan Arfan bahkan sebelum ia mengucap.
Di balik itu semua, Bi Ratmi menyimpan empati yang tumbuh perlahan. Ia sering mendengar Laila dan Arfan berdebat diam-diam di malam hari. Ia tahu, Arfan menyimpan hasrat untuk memiliki anak, tapi selalu tertekan oleh kondisi rumah yang penuh tekanan dan ketegangan.
Sebagai wanita yang sudah lama menjanda, Bi Ratmi merasakan sesuatu yang tak bisa ia cegah. Ia bersimpati, lalu simpati itu berubah menjadi perhatian, dan perhatian itu perlahan berubah menjadi perasaan.
Ia mulai memperhatikan penampilan. Memakai bedak tipis, menata rambut, dan memakai pakaian seragam dengan cara yang lebih... menarik perhatian.
Tentu saja, semua itu ia bungkus rapi dengan label: profesionalitas sebagai pembantu.
Beberapa minggu terakhir, Arfan memang pulang larut malam. Pekerjaan di kantor sedang padat. Namun, bukan hanya itu alasan keterlambatannya. Ia merasa malas pulang cepat. Suasana rumah yang tegang, istri yang sering diam dan tidak mengerti melayani hasrat nya yang tidak cukup hanya sekali semalam.membuatnya lebih nyaman berlama-lama di luar.
Dan saat pulang... yang menyambutnya justru bukan istrinya.
Melainkan Bi Ratmi.
“Selamat malam, Pak,” ucapnya sambil membuka pintu depan dengan senyum manis.
“Bu Laila sudah tidur?” tanya Arfan sambil melepas sepatu.
“Sepertinya sudah, Pak. Tadi saya lihat lampu kamar sudah mati.”
Arfan menghela napas. “Oh... ya sudah.”
Bi Ratmi mengambil tas kerja Arfan, lalu mengarah ke dapur.
“Saya sudah siapkan air hangat untuk mandi, dan ada roti isi di meja makan. Kalau masih lapar, saya bisa gorengkan mi atau nasi goreng, Pak.”
Arfan terdiam sebentar. Rasa lelahnya seolah dibungkus kenyamanan. Ia duduk di kursi ruang tengah, memandangi dapur yang terang, dan punggung Bi Ratmi yang sedang sibuk menyiapkan makanan kecil.
Tak lama kemudian, Bi Ratmi datang membawa nampan kecil berisi segelas teh manis hangat dan dua potong roti keju.
“Silakan, Pak. Ini bisa bantu sedikit sebelum tidur,” katanya sambil meletakkan nampan.
“Terima kasih, Bi,” jawab Arfan, pelan.
Lalu mereka terdiam.
Hanya suara detak jam dinding dan suara sendok bertemu cangkir yang mengisi ruangan itu.
Dan tanpa mereka sadari, ada sepasang mata yang melihat dari balik celah pintu kamar.
Laila.
Pagi harinya, Laila merasa kepalanya penuh. Ia tidak bisa tidur semalaman. Bukan karena cemburu, bukan karena cemas. Tapi karena marah. Marah pada dirinya sendiri yang membiarkan semuanya mengalir terlalu lama.
Ia masuk ke dapur pagi-pagi, sebelum Bi Ratmi turun tangan. Ia ingin menunjukkan bahwa rumah ini masih miliknya. Bahwa ia masih istri.
Namun saat hendak menyiapkan sarapan, ia melihat sayur sudah direbus, nasi sudah matang, dan semua bahan di kulkas sudah diolah.
Laila duduk di kursi makan, menatap meja kosong.
Sampai akhirnya Arfan keluar kamar.
“Mas,” ucap Laila, “apa Mas merasa Bi Ratmi terlalu... banyak ambil peran?”
Arfan diam. Lalu mengangkat bahu. “Ya baguslah. Aku jadi gak repot. Kamu juga gak kecapean.”
“Itu dia masalahnya,” kata Laila, matanya menatap suaminya dalam.
“Mas jadi nyaman, aku jadi kehilangan.”
Arfan mengerutkan dahi. “Maksud kamu?”
“Mas, Bi Ratmi itu pembantu. Tapi dia sudah ambil semua yang harusnya aku kerjakan. Aku ini istri, bukan patung di rumah.”
“Loh, jadi kamu gak senang dia bantu?” nada Arfan mulai meninggi.
“Bukan itu. Tapi kamu gak lihat? Dia terlalu... perhatian. Terlalu dekat. Terlalu ada di setiap waktumu.”
Arfan berdiri. “Kamu cemburu?”
Laila diam.
“Kalau kamu cemburu, itu artinya kamu insecure. Kamu tahu aku gak bakal ngelirik dia.”
“Benar, Mas?” Laila menatap dalam, sorot matanya penuh luka.
Arfan mengalihkan pandangan.
Di balik dapur, Bi Ratmi berdiri diam. Ia mendengar semuanya.
Dan di wajahnya... hanya ada senyum tipis. Sulit ditebak apa maknanya.