Gyantara Abhiseva Wijaya, kini berusia 25 tahun. Yang artinya, 21 tahun telah berlalu sejak pertama kali ia berkumpul dengan keluarga sang papa. Saat ia berusia 5 tahun, sang ibu melahirkan dua adik kembar laki - laki, yang di beri nama Ganendra Abhinaya Wijaya, dan Gisendra Abhimanyu Wijaya. Selain dua adik kembarnya, Gyan juga mendapatkan sepupu laki-laki dari keluarga Richard. Yang di beri nama Raymond Orlando Wijaya. Gracia Aurora Wijaya menjadi satu-satunya gadis dalam keluarga mereka. Semua orang sangat menyayanginya, tak terkecuali Gyan. Kebersamaan yang mereka jalin sejak usia empat tahun, perlahan menumbuhkan rasa yang tak biasa di hati Gyan, yang ia sadari saat berusia 15 tahun. Gyan mencoba menepis rasa itu. Bagaimana pun juga, mereka masih berstatus sepupu ( keturunan ketiga ) keluarga Wijaya. Ia pun menyibukkan diri, mengalihkan pikiran dengan belajar. Mempersiapkan diri untuk menjadi pemimpin Wijaya Group. Namun, seiring berjalannya waktu. Gyan tidak bisa menghapus
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Tidak Mungkin Bersatu.
Senja mengerutkan keningnya ketika mobil Gyan berhenti di depan gang menuju rumah gadis itu.
Bagaimana bisa Gyan tau alamat rumahnya? Sedangkan selama di perjalanan tadi mereka tidak berbicara sepatah katapun?
Apakah Gyan seorang cenayang?
"Kenapa? Apa saya salah alamat?" Tanya Gyan karena sang sekretaris tak kunjung keluar dari dalam mobil itu.
"T-tidak. Tetapi, bagaimana bisa kak Gyan tau alamat rumah saya?" Tanya Senja kemudian.
Gyan mencebik pelan. "Saya mengikuti mobil Cia sampai disini. Saat kalian pergi ke mall berdua hingga malam hari."
Senja sudah mengetahui tentang perasaan Gyan terhadap Cia. Jadi tidak ada salahnya jika pria itu mengatakan hal yang sebenarnya terjadi.
"Jadi kak Gyan tau karena mengikuti kami? Saya kira kak Cia yang memberitahu." Gumam Senja.
"Hmm. Hubungan saya dan Cia sudah lama memburuk, Senja. Saya hanya bisa memantau dia dari jauh." Ucap Gyan lagi.
Senja mengangguk paham. "Sekali lagi, saya mengucapkan terima kasih banyak, karena kak Gyan sudah menolong saya." Ucap gadis itu kemudian.
"Hmm.." Gyan bergumam singkat.
Ia juga tidak tau kenapa dirinya bisa memutar arah saat melihat dua preman yang duduk di sebelah Senja.
Meski terkesan kaku, namun pria itu masih memiliki sisi kemanusiaan dalam dirinya.
Walaupun bukan Senja, Gyan pasti akan tetap menolong orang itu. Dia tidak mungkin membiarkan kejahatan terjadi di depan matanya.
Senja kemudian pamit pulang dan keluar dari mobil Gyan.
Gadis itu masih berdiri di ujung gang untuk melihat kepergian mobil Gyan.
"Kali ini kamu pulang dengan siapa, hah?"
Senja terjingkat ketika Bang Langit sudah berdiri di belakangnya sembari berdecak pinggang.
"Aku menumpang dengan bos ku, bang." Ucap Senja sambil berlalu.
"Alasan apa lagi yang ingin kamu katakan, Senja? Apa yang kamu lakukan bersama bos kamu, hingga semalam ini?" Bang Langit mengikuti langkah sang adik.
"Aku lembur, Bang. Saat menunggu bus tadi, aku di ganggu oleh dua orang preman. Untung ada pak Gyan yang menolong aku. Kalau tidak, entah apa yang terjadi padaku?" Senja menghentikan langkahnya.
"Kamu di ganggu preman?" Tanya Bang Langit tak percaya.
"Jika aku pulang terlambat, seharusnya Abang datang menjemputku. Setidaknya, aku bisa merasa aman." Mata Gadis itu kembali berkaca - kaca.
Ia sungguh merasa ketakutan dengan para preman tadi.
"Maafkan Abang, Senja." Ucap Bang Langit penuh sesal setelah melihat mata sang adik.
"Jika Abang tidak bisa menjadi kakak yang baik untuk aku. Setidaknya, jangan menuduhku men-jual diri. Aku bekerja juga untuk keluarga kita, Bang."
Setelah mengatakan kalimat itu, Senja kemudian melanjutkan langkahnya menuju rumah.
Tak perduli dengan Bang Langit yang terus mengikuti langkahnya.
Di tempat lain, Cia sedang berada di kamarnya, membereskan barang - barang yang sudah tidak terpakai.
Kemarin ia sudah mengepak dua kardus pakaian yang sudah tidak muat di tubuhnya. Rencananya akan ia berikan pada asisten rumah. Biasanya mereka akan memberikan pada anak - anak mereka dan para tetangganya.
Malam ini, Cia membereskan aksesoris, tas, dan buku - buku. Semuanya masih bagus, namun Cia merasa tidak membutuhkan lagi.
"Sepertinya ini ada sepasang." Ucap Cia saat melihat gantungan kunci rajutan berbetuk kepala kelinci berwarna merah muda.
Gadis itu berusaha mengingat, dimana ia meletakkan pasangan gantungan kunci itu.
Dulu ia mendapatkan gantungan kunci rajutan itu dari sang Oma yang kini menetap di Australia.
"Yang satunya berwarna biru 'kan? Tapi dimana?" Gadis itu kemudian memasang gantungan kunci itu pada tas tangan yang sering ia bawa ke kantor.
"Lucu juga, meski sudah berusia dua puluh tahun lebih."
Semenjak malam itu, hubungan Gyan dan Senja sedikit lebih santai. Tidak terlalu kaku seperti sebelumnya.
Suasana di dalam ruangan mereka pun menjadi lebih nyaman, tak lagi menegangkan.
"Senja. Apa menurut kamu, rasa yang saya miliki terhadap Cia itu salah?" Tanya Gyan pada sang sekretaris di sela - sela pekerjaan mereka.
Hari ini tidak terlalu sibuk. Di selingi sedikit obrolan tidak akan mengganggu pekerjaan mereka.
Senja yang sedang membaca sebuah dokumen pun mengangkat kepalanya, melempar tatapan ke arah Gyan yang kini tengah menatapnya.
"Kenapa kak Gyan menganggapnya salah?" Gadis itu berbalik melempar tanya. Ia belum mengerti maksud pertanyaan pria itu.
"Saya tidak pernah menganggapnya salah, Senja. Tetapi, Cia. Dia mengatakan kalau yang saya rasakan hanya sebuah kesalahan. Bahkan dia mengatakan jika saya hanya terobsesi padanya." Jelas Gyan sembari menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.
Sepertinya ia memang butuh teman untuk berbagi cerita. Dan bertukar pikiran dengan Senja ternyata tidak begitu buruk. Gadis itu bisa menjaga rahasia.
"Terobsesi?" Ulang Senja.
"Saya merasa tidak salah mencintai saudara sepupu sendiri. Hanya saja, masalahnya ada pada keluarga kami. Mereka tidak mungkin membiarkan pernikahan sesama anggota keluarga. Saya yakin Cia menolak saya karena alasan itu." Jelas Gyan lagi.
"Lalu apa yang akan kak Gyan lakukan? Kalian tidak mungkin bersatu 'kan?" Senja mengulum bibir setelah bertanya. Sebab Gyan menatapnya dengan tajam.
"Kalau kami tidak bisa bersatu, maka kami pun tidak boleh bersama orang lain." Ucap Gyan dengan dingin.
'*Nah, itulah yang namanya obsesi, tuan Gyan yang terhormat. Jika memang benar cinta, seharusnya kak Gyan membiarkan kak Cia bersama pria lain. Apalagi kak Cia tidak memiliki rasa yang sama dengan kak Gyan*.'
Ingin rasanya Senja menjawab seperti itu. Namun ia tidak memiliki keberanian untuk bicara.
Gyan sepertinya sudah dibutakan oleh obsesi. Sehingga tidak menyadari jika yang ia rasakan itu hanya sebuah kesalahan.
...\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*...
cepet Lapor sama papi mu gadis bodoh...
gyan memang kelewatan. gak ada tanggung jawab nya.