NovelToon NovelToon
Secangkir Macchiato

Secangkir Macchiato

Status: sedang berlangsung
Genre:Single Mom / Hamil di luar nikah / Konflik etika / Kehidupan Tentara / Fantasi Wanita / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:6.1k
Nilai: 5
Nama Author: Aksara_dee

"Bang Akbar, aku hamil!" ucap Dea di sambungan telepon beberapa Minggu lalu.
Setelah hari pengakuan itu, Akbar menghilang bagai di telan bumi. Hingga Dea harus datang ke kesatuan kekasihnya untuk meminta pertanggungjawaban.
Bukannya mendapatkan perlindungan, Dea malah mendapatkan hal yang kurang menyenangkan.
"Kalau memang kamu perempuan baik-baik, sudah pasti tidak akan hamil di luar nikah, mba Dea," ucap Devan dengan nada mengejek.
Devan adalah Komandan Batalion di mana Akbar berdinas.
Semenjak itu, Kata-kata pedas Devan selalu terngiang di telinga Dea dan menjadi tamparan keras baginya. Kini ia percaya bahwa tidak ada cinta yang benar-benar menjadikannya 'rumah', ia hanyalah sebuah 'produk' yang harus diperbaiki.
Siapa sangka, orang yang pernah melontarkan hinaan dengan kata-kata pedas, kini sangat bergantung padanya. Devan terus mengejar cinta Dealova.
Akankah Dealova menerima cinta Devan dan hidup bahagia?
Ikuti perjalanan Cinta Dealova dan Devan hanya di NovelToon.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 12 : Kenangan Yang Berputar

Perasaan yang labil

Drrtt Drrtr Drrtt

Ponsel Devan bergetar saat ia baru saja akan membuka handle pintu kamar hotel. Bibirnya tersenyum saat di layar terpampang gadis tercintanya. Devan menggeser tombol hijau ...

"Hallo sayang... " sapa Devan.

"Hikks... Papa pembohong! Papa bilang mau buatin aku sushi seperti bekal Evelyn ... Zie tidak percaya papa lagi!" jerit Zivanna di sembarang sana.

"Zie, papa sedang ada peker—, baiklah papa pulang malam ini juga. Jangan menangis sayang... " janji Devan.

Segera ia mengganti bajunya yang sedikit lembab dengan pakaian baru. Mengambil tas yang masih tergeletak di atas kasur hotel lalu berjalan tergesa-gesa meninggalkan kamar. Ia melupakan sesuatu di atas tempat tidur hotel. Ponsel.

Ponsel yang menyimpan kontak barista kecil.

Devan segera mengembalikan access card kamar hotel lalu kembali ke Semarang malam itu juga.

Di tempat lain, Dea masih tersenyum menatap layar ponselnya, menatap chat terakhir dari Devan yang berjanji akan mengajaknya ke dunia fantasi dan pulang bersama ke Semarang.

Ceklek

Suara pintu di buka dan di tutup, tidak membuat Dea mengalihkan perhatiannya pada layar ponsel.

"Apa sih yang di lihat di sana?" tanya Laras sambil meletakkan dagunya di bahu Nilam, mengintip.

"Eh mba Laras! Kapan datang?!" Terkejut Dea dengan kemunculan Laras yang tiba-tiba.

"Sejak aku membuka pintu dan cukup banyak membaca isi chat kamu dari sini." Laras menunjuk tempatnya berdiri. "Yakin kamu mau pergi dengan bapak itu? Ke Dufan? Aku kok ngeri ya Dee ... Kamu sudah pastikan dia belum berkeluarga? Aku sangsi... " ucap Laras.

"Dia baik mba. Dan, aku lihat di jarinya tidak ada cincin pernikahan," ucap Dea seperti sangat yakin.

"Di usia sekitar 35an belum berkeluarga? Aku rada gimanaaaa gitu, Dee." Laras tidak ingin menjabarkan dengan detail.

"Besok akan aku pastikan dan menanyakannya langsung, mba."

"He'em, bagus! Jangan sampai kamu meletakkan cinta di hati yang salah. Jangan seperti aku. Hhh... " Laras menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Pikirannya melayang pada seseorang yang pernah singgah di hatinya.

"Dia dewasa mba, dia seperti papa," ujar Dea lalu menghempaskan tubuhnya di samping Laras.

"Semoga dia belum berkeluarga. Jika sudah, dia juga sosok yang dicintai putra putrinya, sama seperti kamu mencintai papamu, Dee. Jangan renggut kebahagian anak-anaknya." Laras membelai pucuk kepala Dea.

"Inggih mba," ucap Dea dengan lirih. Bibirnya mengkhianati hatinya sendiri. Dia terlanjur tertambat pada sosok Devan yang baru saja ia kenal. Ia masih ingin terus bersama Devan, minimal menghabiskan hari esok bersamanya.

Langit dipenuhi warna pastel antara jingga yang samar dan putih yang bercampur kelabu, sisa gelap semalam. Bagaikan kepak sayap kupu-kupu yang baru berkibar, pagi membuka hari dengan udara segar, aroma embun dan tanah basah yang samar.

Dea dan Laras sudah siap mengepak barang-barang sanggar yang akan dibawa kembali ke Semarang. Namun, kepulangannya ke Semarang Dea lebih bersemangat karena akan pulang bersama Devan sepulangnya dari Dufan.

"Mba gak apa-apa kan aku titip dua koperku dan tidak pulang bareng rombongan?" tanya Dea seraya memasukkan peralatan pentas.

"Tidak apa-apa Dea, kamu hati-hati ya di jalan. Kalau ada apa-apa kamu telepon mba." Laras mengecek kembali koper dan tas oleh-oleh yang akan dibawa turun ke lobi. "Jam berapa kamu berangkat ke Dufan, Dea?" tanya Laras dengan suara tinggi karena Dea sudah masuk kamar mandi.

"Jam delapan mba, sebentar lagi," teriak Dea dari dalam kamar mandi.

"Cepatlah, ini sudah jam tujuh lewat!" teriak Laras lagi.

Selesai bersiap dan mengurus administrasi penginapan, Dea membantu Laras memasukkan koper-koper dan tas oleh-oleh ke bagasi bus.

"Sudah sana tunggu di lobi, nanti bapak 'Tara' itu nyariin kamu," usir Laras

Dea tertawa geli mendengar julukan 'Tara' dari Laras untuk menyebut tentara, lalu melambaikan tangan ke Laras sebagai salam perpisahan. Ia berlari menuju lobi untuk menunggu Devan. Duduk di sofa ruang tunggu lobi hotel, wajahnya terus mengulas senyuman manis sambil menatap layar ponsel membaca ulang chatnya bersama Devan semalam.

Dua jam sudah Dea menunggu di lobi hotel, dari senyuman menghias wajahnya kini wajah itu terlihat pias dan gelisah. Beberapa kali ia melirik jam di pergelangan tangan, waktu menunjukkan pukul sepuluh lewat. Belasan chat ia kirim hanya centang satu. Telepon Devan pun hanya mendapat jawaban dari operator.

"Satu jam lagi tidak ada respon, aku harus pergi," gumam Dea untuk dirinya sendiri.

Kebersamaan Indah semalam tidak membuat 'Rasa' Devan menetap pada Dea. Keluarga tetaplah prioritasnya.

Dua jam berlalu lagi. Dea bangkit dari duduknya lalu berjalan keluar ruang tunggu, meninggalkan semua kenangan yang terbungkus rapi semalam. Langkahnya seakan membawa beban perasaan yang berat. Dea tidak membenci kegagalan pertemuan. Bagaimana kebencian bisa hadir, jika orang itu tinggal di kelopak matanya.

Secara kebetulan sebuah taksi berhenti di depannya. Seorang pria membawa tas besar keluar dari dalam taksi.

Dea menyetop taksi yang baru saja kosong, "Stasiun Gambir bisa pak?" ucapnya dengan suara lemah. Dea pun naik setelah sang supir mengiyakan.

Lelaki yang baru saja turun dari taksi memanggil namanya, namun tatapan Dea terlalu kosong. Lelaki itu kembali menyetop taksi di belakangnya. "Stasiun Gambir pak, ikuti taksi di depan!" perintahnya dengan tatapan mata terus mengawasi di balik kacamata hitamnya.

Perjalanan Kembali

Stasiun Gambir.

Setelah membeli tiket Dea duduk di ruang tunggu keberangkatan, kereta ke Semarang berangkat satu jam lagi.

Di sisi lain stasiun, seorang lelaki yang membawa tas besar tadi masih berdebat dengan petugas keamanan stasiun perihal tas yang ia bawa. Ia sudah menunjukkan kartu identitasnya sebagai TNI, namun petugas bersikeras memintanya untuk membuka tas yang ia bawa karena bentuknya yang mencurigakan.

Akhirnya Akbar mengizinkan tasnya di periksa. Sebuah tas kotak berukuran satu setengah meter dengan ketebalan lima puluh centi meter itu pun di buka di dalam ruang keamanan. Sebuah senjata sniper Barret M82 buatan Amerika Serikat lengkap dengan teropong malam terpampang di depan semua petugas keamanan.

Negosiasi terus berlangsung. Namun, Akbar bersikeras meminta duduk di kursi yang ia maksud. Sementara pihak stasiun tidak mengizinkan Akbar membawa senpi dan meminta duduk di gerbong penumpang umum.

Akbar menghela napas berat saat pihak keamanan mengabulkannya dengan syarat; tangan Akbar harus terborgol dengan tas senpi yang ia bawa dan melakukan lapor di setiap stasiun juga pengawalan pihak keamanan setiap stasiun. Terpaksa ia mengiyakan asalkan bisa duduk di sebelah gadis yang menarik perhatiannya sejak tadi.

Lima menit lagi kereta berangkat, Akbar baru bisa naik ke atas kereta dan duduk di samping gadis yang menjadi incarannya.

Dea masih terus menatap jendela, tatapannya jauh keluar jendela. Bayangan semalam saat bersama Devan terus menari di pelupuk matanya. Kereta melaju dengan kecepatan biasa, tubuhnya bergoyang-goyang di bangku kereta, pemandangan monas terlewati begitu saja seiring dengan berlalunya kereta.

Namun, pikiran Dea masih saja menetap di pucuk monas bersama kenangannya.

"Psstt ... mbak!" panggil Akbar dengan suara pelan. "Mbak!" panggilnya lagi. Dea menoleh pelan.

"Iya?" jawab Dea seraya mengernyitkan kening.

"Bisa minta tolong?" tanya Akbar dengan suara berbisik.

"Minta tolong apa?" tanya Dea ikut memelankan suaranya.

"Tolong ambilkan ponselku, tanganku di ... " Akbar menunjukkan tangannya yang terborgol dengan pegangan tas. Dea mengangguk, meski wajahnya berkerut, bingung.

"Ambilkan ponselku di kantong celana," Akbar menampilkan deretan giginya.

Dengan patuh Dea mengambil ponsel dengan lambang apel di gigit dari saku celana jeans Akbar.

"300695. Itu passwordnya," ucap Akbar. Dea mengetikkan angka touchscreen ponsel Akbar.

"Cari kontak 'Akbar kapan pulang'' di sana." Akbar menunjuk dengan dagunya lalu nyengir bagai kuda.

'Akbar kapan pulang' Dea menaikan pandangannya ke manik mata Akbar. Lalu menggeser tombol hijau. Suara nada memanggil terdengar.

"Anak nakal!! Mama papa sudah nunggu kamu di hotel berjam-jam, kamu kemana Akbar!!" jerit suara di seberang sana sebagai sambutan pertama terdengar nyaring hingga Dea melongo mendengarnya.

Akbar memberi kode agar ponsel di tempelkan di dekat telinganya. "Maaf mama, Akbar ada urusan mendadak. Harus kembali ke Semarang. Kalau mama papa kangen Akbar, bisa datang ke Semarang kan?!" jawab Akbar santai sambil terkekeh geli.

"Bocah gendeng! Baru pulang dari Rusia sudah kerja lagi!" suara seorang pria dewasa terdengar penuh emosi.

"Mama ngga percaya kamu ada pekerjaan, pasti kamu sedang main-main dengan perempuan saat ini kan?!!" teriak mama Akbar.

"Awas kamu Akbar jangan macam-macam! Kamu sudah—"

"Apa mam, suara mama putus-putus. Sudah ya mam, nanti Akbar lanjut lagi" sela Akbar dengan suara kencang. Lalu meminta Dea mematikan panggilan.

Dea seperti orang bodoh rela memegangi ponsel dan menempelkannya di telinga Akbar, dan sabar menunggu Akbar terus melakukan panggilan pada beberapa orang.

Panggilan ke sepuluh, Dea mulai kesal karena tangannya terasa pegal. "Pegang sendiri handphone kamu! Aku lihat kamu masih bisa pegang gelas kopi di tangan kiri!" maki Dea dengan wajah kesal.

"Oiya, aku lupa tangan kiriku nganggur. Terima kasih bantuannya mbak!" Dengan wajah malu karena ketahuan bohong, Akbar mengambil ponselnya dari tangan Dea.

Dea kembali menghadap jendela menatap pepohonan yang tertinggal ke belakang. Pikirannya masih berputar pada Devan yang tidak memenuhi janji hingga perjalanannya kembali ke Semarang tidak ada kabar sama sekali.

1
◌ᷟ⑅⃝ͩ●⍣క🎸BuNdAιиɑ͜͡✦●⑅⃝ᷟ◌ͩ
sesuai dugaan, devano adalah lelaki yang sangat menghargai wanita, tetapi Kasandra yang tak tau diri.
🌞Oma Yeni💝💞
saat hati terluka,, lanjutkan makan habiskan mienya sampai tuntas tak bersisa /Facepalm/
🌞Oma Yeni💝💞: paling males aku tuh, lagi asyik balas komen, ada tulisan muncul, komen anda terlalu cepat BLA BLA BLA BLA
Aksara_Dee: pedes ya sampe ke hidung
total 2 replies
🌞Oma Yeni💝💞
wadduhh, kamu kurang hati hati nih devan
Aksara_Dee: playboy amatir 😅
total 1 replies
🌞Oma Yeni💝💞
komandan nya udah tahu
Aksara_Dee: istrinya melangkah LBH dulu ka
total 1 replies
🌞Oma Yeni💝💞
cuma sesama wanita yang paham rasa itu, para pria belum tentu
Aksara_Dee: cowo mah bisanya bikin porak poranda hati cewe
total 1 replies
🌞Oma Yeni💝💞
bukan urusanmu nduukk
🌞Oma Yeni💝💞: sotoy banget /Facepalm/
Aksara_Dee: Kasandra sotoy yaa
total 2 replies
🌞Oma Yeni💝💞
bheuh,,, lagakmu cah ayuuu,, mertua di panggil nama
🌞Oma Yeni💝💞: iya, aneh Kasandra itu
Aksara_Dee: sakit hati sama siapa, mertuanya yg dihina
total 2 replies
🌞Oma Yeni💝💞
pencuri bukan di rayu tapi ditangkap pak devan
Aksara_Dee: di tangkap ke hatinya
total 1 replies
🌞Oma Yeni💝💞
dunia terbalik ini mah /Facepalm/
Aksara_Dee: ngerayu jalur ektrim ka
total 1 replies
🌞Oma Yeni💝💞
usir aja pak usir /Chuckle/
Dee
Ca deserve better! Jangan mau jadi second lead di hidup orang.
Kok Kasandra jadi side character di cerita cintanya Devan sama wallpaper 😭
Aksara_Dee: cara dia meminta maaf jg saah sih
total 1 replies
Dee
Delapan tahun bukan waktu yang sebentar, tapi dihancurkan begitu saja oleh kehadiran orang ketiga. Tapi, itu karena salahmu jg kan?!
Aksara_Dee: dia terlalu percaya diri Devan akan selamanya tunduk padanya
total 1 replies
Dee
Cakeepp...
Aksara_Dee: makjleb
total 1 replies
Dee
Ternyata Aca bisa tertarik jg ya, sama 'orang susah'
Aksara_Dee: bagi dia yg penting style
total 1 replies
Dee
GR deh... Akbar...
Aksara_Dee: tanpa rayuan dari Dea, Akbar udah tergoda
total 1 replies
Dee
Tuh kan bener, Akbar aja gemes😄
Aksara_Dee: nanti ada di episode BRP aku lupa, Akbar komen. udah kecil, ngerepotin, pemarahnya kayak swan tapi bikin gagal move on
total 1 replies
Dee
Hihi...lucu Dea, bikin gemes..
Aksara_Dee: di jadiin mainan bener si Dea
total 1 replies
Dee
Baca ini bikin aku jadi pengen ikut nimbrung sambil minta dibuatin kopi juga 😆
Aksara_Dee: seru yaa kalau lagi camping gt, bikin makanan bareng² kayak mau main masak²an
total 1 replies
◌ᷟ⑅⃝ͩ●⍣క🎸BuNdAιиɑ͜͡✦●⑅⃝ᷟ◌ͩ
suami salah jika tak bisa sabar & menuntun istrinya. tapi jika istri pembangkang padahal suami sudah berusaha menjalankan tugasnya, apakah tetap bisa dikatakan suami salah? 😔😔
kasihan juga pada Kasandra, tapi mau gimana lagi? udah telat.
semoga zie tidak jadi korban
◌ᷟ⑅⃝ͩ●⍣క🎸BuNdAιиɑ͜͡✦●⑅⃝ᷟ◌ͩ: oke sist. 👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻
◌ᷟ⑅⃝ͩ●⍣క🎸BuNdAιиɑ͜͡✦●⑅⃝ᷟ◌ͩ: iya. seperti slogan. anda sopan kami segan. begitu juga rumah tangga
total 9 replies
◌ᷟ⑅⃝ͩ●⍣క🎸BuNdAιиɑ͜͡✦●⑅⃝ᷟ◌ͩ
dan wanita itu adalah dea.
Aksara_Dee: iya ka
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!