Dua puluh tahun setelah melarikan diri dari masa lalunya, Ayla hidup damai sebagai penyintas dan penggerak di pusat perlindungan perempuan. Hingga sebuah seminar mempertemukannya kembali dengan Bayu—mantan yang terjebak dalam pernikahan tanpa cinta.
Satu malam, satu kesalahan, dan Ayla pergi tanpa jejak. Tapi kepergiannya membawa benih kehidupan. Dilema mengungkungnya: mempertahankan bayi itu atau tidak, apalagi dengan keyakinan bahwa ia mengidap penyakit genetik langka.
Namun kenyataan berkata lain—Ayla sehat. Dan ia memilih jadi ibu tunggal.
Sementara itu, Bayu terus mencari. Di sisi lain, sang istri merahasiakan siapa sebenarnya yang pernah menyelamatkan nyawa ayah Bayu—seseorang yang mungkin bisa mengguncang semua yang telah ia perjuangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Awal Mula
Dalam redup malam, Leo menatap Ellen yang terbaring di pelukannya. Tubuh itu penuh tanda. Tapi ia hanya menatap langit-langit kamar—tanpa senyum.
"Aku telah membuktikan diriku malam ini. Tapi kosong itu masih ada. Diam. Mengendap."
Tak peduli seberapa keras ia mengklaim tubuh Ellen, hatinya tahu: Ellen tetap milik orang lain. Bahkan saat mencoba melupakan.
Sunyi menggigit pikirannya. Sisa malam tak menawarkan kedamaian. Hanya kenyataan yang menyakitkan.
"Aku tetap kalah oleh bayangan seseorang yang bahkan tak pernah memeluk wanita ini."
Dan malam itu, dua jiwa yang sama-sama hampa saling menjatuhkan diri dalam pelukan yang justru mengingatkan mereka betapa dinginnya sepi.
Bukan cinta yang menyatukan mereka—melainkan luka yang sama.
Ingatan Leo kembali melayang pada peristiwa sepuluh tahun lalu, awal dari kisah ini.
Ruang Tunggu UGD Sebuah Rumah Sakit Swasta
Leo duduk kaku di bangku besi dingin di ruang tunggu. Jemarinya kotor, kukunya ada sisa darah kering—darah ibunya yang barusan dibopongnya sendiri ke UGD. Motor tua mereka tertabrak mobil dan sekarang ibunya koma dengan retak tulang belakang dan pendarahan dalam. Biaya operasi: seratus dua puluh juta rupiah.
Itu angka yang baginya bahkan terdengar seperti jumlah yang cuma dimiliki dewa.
Keringat dingin membasahi pelipisnya. Tangan kirinya menggenggam ponsel retak yang hanya menampilkan pesan "transfer gagal." Saldo di rekeningnya hanya tersisa pada batas minimum.
"Sedang butuh uang?"
Suaranya tenang, berkelas, tak seperti suara siapa pun yang pernah Leo dengar langsung. Ia menoleh.
Seorang wanita berdiri anggun, mengenakan blazer putih gading, rambut disanggul rapi. Wajahnya cantik dalam cara yang mengintimidasi—matang, dingin, nyaris tak manusiawi.
"Maaf?" tanya Leo bingung.
Wanita itu mengulurkan kartu nama.
Ellen Kusuma.
"Aku bisa bantu. Tapi aku minta imbalan."
Leo menatap kartu itu, lalu matanya kembali ke wajah wanita itu.
"Saya… tidak ngerti."
"Imbalannya sederhana," Ellen tersenyum. "Tubuhmu. Wajahmu ini… terlalu sayang kalau hanya jadi kuli bangunan atau kurir ojek daring."
Leo menegang. Wajahnya memerah, campur aduk antara marah, malu, dan ketakutan.
"Aku serius. Sekali saja. Dua kali, mungkin. Aku beri kamu uang yang kamu butuhkan. Ibumu selamat. Kau bisa kembali hidup. Tapi… dengan harga yang sudah kita sepakati."
Diam.
Leo tak menjawab. Tapi dua hari kemudian, ibunya keluar dari ruang ICU. Operasi berhasil.
Dan malam itu, Leo berada di sebuah suite hotel bintang lima. Dengan Ellen.
Ia pikir segalanya akan selesai di situ. Tapi Ellen justru ketagihan.
“Aku ingin kamu tetap dekat denganku. Jadi sopirku,” ujar Ellen satu minggu kemudian. “Tapi—” Ia menatap Leo dari ujung kaki sampai kepala. “—dengan tubuh wanita. Operasi tak perlu. Cukup dandanan dan latihan."
"Kalau kamu menolak, aku pastikan kamu kembali miskin. Tak akan ada rumah, tak ada obat untuk ibumu. Bahkan sekolah adikmu akan berhenti. Dan aku… bisa lebih kejam dari takdir, Leo.”
Leo mengangguk saat itu. Ia memakai nama samaran: Lia. Mulai mengenakan wig dan lensa kontak. Suara dilatih. Tubuh dilenturkan. Semua demi... bertahan.
Tapi malam-malam seperti ini, saat Ellen mencengkeram tubuhnya dengan sisa gairah dan ambisi tak terucap, Leo hanya bisa menatap langit-langit dan bertanya dalam hati:
Siapa sebenarnya yang tertawan di sini? Ellen... atau dirinya sendiri?
Sepuluh Tahun Lalu – Suite Hotel
Wangi bunga lily mengambang samar dari aromaterapi di sudut ruangan. Tirai tebal tertutup rapat, menyekat pandangan dari dunia luar. Ruang itu begitu sunyi hingga detak jam di dinding terdengar seperti palu godam di dada Leo.
Ia berdiri di depan tempat tidur king size, mengenakan kemeja putih pinjaman yang terlalu besar. Kerahnya longgar, dan bagian bawahnya jatuh nyaris menutupi lutut. Kakinya telanjang, tangan gemetar, dan jantungnya seperti menjerit.
Pintu kamar mandi terbuka perlahan.
Ellen keluar dalam balutan jubah satin hitam yang longgar. Rambutnya masih sedikit lembap, kulitnya mengilap terkena cahaya lampu kuning redup. Wajahnya tak tersenyum, tapi matanya menyala. Penuh penilaian.
"Apa kamu... masih perjaka, Leo?" tanyanya pelan, tapi tak bisa disangkal.
Leo menelan ludah. “Iya.”
Ellen mendekat. Langkahnya lambat dan terukur. Ia berhenti hanya beberapa sentimeter dari Leo, menatap pemuda itu seperti seorang kolektor menilai artefak langka.
"Bagus."
Satu tangannya mengangkat dagu Leo. Sentuhannya dingin. Jari-jarinya halus tapi tegas, seperti tangan seorang penari yang menyimpan sejarah luka dan kendali.
“Kamu takut padaku?”
Leo ragu. Tapi ia mengangguk.
“Lebih baik begitu.”
Dengan gerakan lembut namun penuh kuasa, Ellen menarik kemeja putih itu, melepaskannya dari tubuh Leo. Pemuda itu nyaris membeku. Wajahnya memerah, dan napasnya mulai tak beraturan.
“Tenang,” bisik Ellen sambil mengusap dada Leo dengan ujung jarinya. “Aku tidak akan menyakitimu... kecuali kau memintanya.”
Malam itu, Ellen memperlakukan Leo bukan seperti pria, tapi seperti sesuatu yang lebih dari itu—mainan mahal, hadiah paling indah yang ia beli dengan harga tinggi dan tak berniat ia kembalikan.
Leo tak tahu bagaimana ia bisa menangis dan terangsang di saat bersamaan.
Ketika semuanya selesai, tubuhnya masih gemetar saat Ellen memeluknya dari belakang, mencium tengkuknya, dan membisikkan,
“Kau milikku sekarang, Leo. Bukan karena uang... tapi karena kau tahu hanya aku yang akan memperlakukanmu seperti ini. Tak ada yang akan mencintaimu dengan sebrutal dan sebaik ini.”
Leo tak menjawab. Tapi malam itu, ia tahu: nerakanya sudah bertuan. Dan namanya adalah Ellen Kusuma.
Keesokan Paginya
Sinar matahari menyelinap dari sela-sela tirai tebal, membentuk garis-garis tipis di lantai marmer. Suasana kamar suite itu masih senyap, nyaris seperti tidak pernah terjadi apa-apa malam sebelumnya.
Tapi tubuh Leo mengingat segalanya.
Ia terbangun dengan rasa asing menyelimuti kulitnya—sisa wewangian Ellen masih tertinggal di sprei. Di sampingnya, ranjang kosong. Hanya sedikit bekas lekuk di sisi lain tempat tidur. Leo mengangkat tubuhnya perlahan, menahan napas saat rasa nyeri di bagian tubuhnya menyengat. Bukan luka, bukan lebam, hanya... ketidakterbiasaan.
Ia duduk di tepi ranjang, menunduk. Jemarinya gemetar ketika ia menyentuh perutnya sendiri, mencoba mengukur perasaan yang bercampur aduk di dadanya. Ia merasa kotor. Tapi juga... dibutuhkan. Dicintai? Tidak. Ini bukan cinta. Tapi apa?
“Sudah bangun?”
Suara itu membuat Leo tersentak. Ellen berdiri di ambang pintu dengan rambut yang sudah ditata rapi dan busana kerja elegan berwarna navy. Tangannya membawa nampan kecil berisi segelas jus dan semangkuk oatmeal hangat.
“Aku pesan sarapan untukmu.” Ia meletakkan nampan di meja kecil di sebelah ranjang. “Kau butuh energi.”
Leo hanya menatapnya. Tak bicara.
Ellen tersenyum kecil, lalu mendekat. Ia berlutut di hadapan Leo, menyentuh wajah pemuda itu dengan ujung jarinya. “Kau tidak menyesal, 'kan?”
Leo mengerjap pelan, lalu menggeleng. Bukan karena tak menyesal, tapi karena ia tahu tak ada jalan kembali.
Ellen menatapnya lekat-lekat. “Bagus. Karena aku tidak suka membuang investasi. Kau indah, Leo. Lebih dari yang kubayangkan.”
Ia mencium kening Leo dengan lembut, lalu berdiri.
"Seminggu lagi kita bertemu lagi di hotel ini. Ingat, ibumu masih harus dirawat setelah operasi. Jika kau tak datang, aku tak akan membayar biaya perawatannya."
Leo masih diam. Tapi kali ini, ia mengangguk. Pelan.
Saat Ellen melangkah pergi, pintu tertutup pelan di belakangnya. Dan Leo, lelaki dua puluh tahun dari keluarga miskin, hanya bisa menatap jendela kamar yang masih tertutup tirai. Matanya basah. Tapi tak ada air mata yang jatuh.
Pagi itu bukan awal dari cinta.
Itu cuma pengingat: ia dipakai, tapi tak pernah dimiliki.
Leo membuang napas kasar seolah bisa menghempas semua ingatan lama itu. Ia ingin melupakan semua kejadian itu. Awal mula dirinya terperangkap dalam jerat Ellen.
---
Matahari merayap malas ke sela tirai. Di kamar hotel yang dingin, Ellen menatap bayangannya sendiri di cermin. Wajahnya cantik, terbingkai rambut yang disisir rapi. Kemeja licin, celana panjang gelap, mantel panjang membungkus tubuhnya. Tapi sorotan matanya yang membuatnya tampak mematikan.
Syal melingkar anggun di lehernya—bukan untuk gaya, melainkan untuk menutupi bukti. Bukti bahwa ia masih bisa diinginkan. Bahwa tubuhnya bukan bangkai yang ditinggalkan cinta, melainkan senjata.
Leo masuk, kembali menjadi Lia: sopir pribadi yang tampak seperti wanita lembut. Tidak ada jejak lelaki yang semalam mengguncangnya dari dalam.
“Kita akan ke LPA sekarang?” tanyanya datar.
Ellen menarik sudut bibirnya. Setengah senyum, setengah perang.
“Ya. Kau bilang Bayu ke sana, bukan?”
Leo mengangguk. "Orang yang aku minta mengawasinya berkata begitu."
“Bagus,” gumam Ellen, mengambil tasnya.
Ia menatap pantulan dirinya sekali lagi, lalu menyeringai.
Ia berbalik.
“Aku ingin menunjukkan sesuatu pada wanita yang terlalu percaya diri itu. Kadang, luka di tubuh lebih menusuk daripada cinta yang tak selesai.”
...🍁💦🍁...
.
To be continued
jangan takut Ayla semoga ayah Bayu mau menerima kamu dan cucunya.
semangat kak ditunggu kelanjutannya makin seru nih,aku suka aku sukaaaaa