Nayra Kirana, gadis berusia 22 tahun yang baru lulus kuliah, dihadapkan pada kenyataan pahit, ayahnya sakit keras dan keluarganya berada di ambang kehancuran ekonomi. Ketika semua pintu tertutup, satu-satunya jalan keluar datang dalam bentuk penawaran tak terduga—menikah dengan Arka Pratama, pria terpandang, CEO sukses, sekaligus... paman dari senior sekaligus bos tempatnya magang.
Arka adalah duda berusia 35 tahun, dingin, tertutup, dan menyimpan banyak luka dari masa lalunya. Meski memiliki segalanya, ia hidup sendiri, jauh dari kehangatan keluarga. Sejak pertama kali melihat Nayra saat masih remaja, Arka sudah merasa tertarik—bukan secara fisik semata, melainkan pada keteguhan hati dan ketulusan gadis itu. Ketika Nayra tumbuh dewasa dan kesulitan menghimpit hidupnya, Arka melihat kesempatan untuk menjadikan gadis itu bagian dari hidupnya.
Tanpa cinta, tanpa keromantisan, mereka memulai hidup sebagai suami istri berdasarkan perjanjian: tidak ada kewajiban fisik, tidak ada tuntutan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lee_ya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perlahan Luruh
Hujan turun malam itu.
Pelan, seperti air mata Nayra yang tak bisa berhenti. Ia duduk di lantai kamar mandi, masih memakai daster kumal, rambut berantakan, mata sembab.
Sudah hampir satu jam ia di sana bukan mandi, bukan membersihkan diri.
Hanya duduk, diam.
Menatap genangan air di keramik seolah sedang melihat hidupnya sendiri kering, kusut dan tak tahu harus ke mana.
Pintu kamar diketuk.
“Nayra? Ini aku,” suara Arka terdengar dari luar. “Kamu ngapain di dalam?”
Tak ada jawaban.
“Nayra… buka pintunya, dong. Alma nyariin kamu.”
Masih sunyi.
Sampai akhirnya, perlahan, suara Nayra terdengar. Namun bukan kata-kata.
Hanya tangis, tangis kecil yang pecah menjadi isak pilu.
Arka akhirnya membuka pintu kamar mandi dengan kunci cadangan dan saat dia melihat Nayra duduk memeluk lututnya di pojok kamar mandi, tubuhnya gemetar.
“Nay...” Arka menghampiri dan langsung memeluk tubuh mungil itu.
“Aku capek, Ka…” isaknya. “Aku beneran… Nggak kuat…”
Arka memeluknya lebih erat.
“Gak apa-apa, sayang. Kamu gak harus kuat sendirian…”
***
Setelah Nayra dipindahkan ke ranjang, Arka tetap duduk di sampingnya.
Ia memegang tangan Nayra yang dingin dan kurus.
Malam itu Nayra tak bisa tidur. Pikirannya kacau. Pikirannya terus bertanya bukan tentang masa lalu Arka, tapi tentang dirinya sendiri.
Apakah aku cukup baik?
Apakah aku istri yang gagal?
Kenapa semua ini terasa seperti hukuman?
Kenapa aku tidak bisa berhenti merasa sendiri?
***
Pagi hari, Nayra masih melamun saat menyuapi Alma. Satu sendok, berhenti.
Menatap anaknya lama-lama.
Alma memanggilnya, “Ma..mama?”
Nayra tersadar dan memaksakan senyum.
“Maaf ya, sayang. Mama lagi… mikir.”
Alma mengangguk polos seolah mengerti apa yang sangbibu katakan. Dan saat itulah Nayra kembali menangis. Ia memeluk Alma erat, seolah gadis kecil itu adalah satu-satunya alasan ia masih bisa berdiri.
***
Sore harinya, Mbak Intan mendapati Nayra berdiri di depan cermin, menatap wajahnya sendiri.
“Kok aku kelihatan tua banget ya, Mbak…” ucapnya sambil mengusap pipi.
“Mataku cekung, kulitku kering udah nggak cantik ya?”
Mbak Intan menahan napas. “Ibu tetap cantik, kok…”
Nayra menggeleng. “Enggak. Aku kelihatan seperti… wanita gagal.”
Lalu tiba-tiba ia tertawa. Tapi tawa yang aneh.
Tawa yang kering yang membuat Mbak Intan langsung menghubungi Arka.
***
Malam itu, Arka memanggil psikolog ke rumah.
Setelah sesi singkat dan evaluasi, dokter menyimpulkan bahwa Nayra mengalami gejala depresi ringan ke sedang, dipicu tekanan emosional bertubi-tubi tanpa ruang pulih.
“Dia tidak butuh obat dulu, Pak,” ujar psikolog. “Yang ia butuhkan adalah ruang aman. Tempat untuk bicara tanpa takut dihakimi. dan… kehadiran.”
Setelah dokter pergi, Arka masuk ke kamar, melihat Nayra yang sedang termenung di jendela, menatap langit gelap.
Arka mendekat pelan.
“Nay, boleh aku temenin kamu malam ini? Nggak usah ngomong. Nggak usah jawab. Aku cuma mau duduk di sebelahmu.”
Nayra tak menjawab. Tapi tubuhnya miring, memberi ruang kecil di sofa panjang dan di situ Arka duduk.
Mereka tak bicara. Tapi di sela hening yang menyiksa itu, setidaknya ada satu hal yang bertahan, mereka belum menyerah.
Belum, tapi nyaris.
***
Pagi itu, langit tampak biasa saja. Tapi hati Nayra masih sesak dan penuh awan gelap.
Ia hanya duduk di ujung tempat tidur, Alma bermain di lantai dengan boneka dan Arka sudah berangkat ke kantor karena harus menangani urusan investor.
Hari itu Nayra mencoba tetap tegar. Tapi tubuhnya letih, pikirannya lelah, dan dadanya terasa seperti dipenuhi batu.
Tepat jam sebelas siang, bel rumah berbunyi.
Mbak Intan membuka pintu dan wajahnya langsung berubah gugup.
“Bu… itu… ibu dan adik Pak Arka datang.”
Nayra yang sedang menyendok bubur ke mangkuk Alma terdiam. Sendoknya jatuh ke meja, dan tangannya mulai gemetar.
Bukan hari ini…
Aku belum siap…
Aku bahkan belum siap melihat bayanganku sendiri.
Ibu Arka masuk dengan langkah mantap, tas mahal di tangan, wajah anggun tapi tajam.
Dira menyusul dari belakang, mengenakan pakaian branded yang bahkan tampak tidak sesuai dengan suasana rumah.
“Ya ampun Nayra. Baru jam sebelas tapi rumah ini udah seperti kuburan,” sindir Dira sambil menoleh ke segala arah.
Nayra mencoba berdiri dan menyambut dengan senyum tipis.
“Mah... Dira… silakan duduk.”
Ibu Arka tidak membalas senyum. Tatapannya langsung menelisik wajah pucat Nayra dari ujung kepala hingga kaki.
“Kamu sakit?” tanya ibu Arka datar.
Nayra mengangguk kecil. “Kurang enak badan, Bu.”
“Sepertinya lebih dari itu. Lihat dirimu, kurus, mata cekung, rambut nggak terurus. Ini kamu yang dulu Arka banggakan?”
Dira tertawa kecil, menimpali. “Kak Arka pasti stres di rumah. Tiap hari ketemu wajah kayak zombie.”
Ucapan itu menusuk. Tapi Nayra hanya menggenggam ujung bajunya erat-erat, mencoba menahan gemetar di lutut.
Ibu Arka menoleh ke arah Alma yang sedang menggambar.
“Kamu bilang cinta sama cucuku. Tapi lihat. Dia dibiarkan main sendiri. Kamu bahkan tak terlihat seperti ibu.”
Nayra tersedak isaknya sendiri. Tapi ia berusaha tegak.
“Maaf, Mah. Saya… saya sedang berusaha. Alma tidak saya biarkan. Saya selalu ada.”
“Tapi kamu tidak hadir,” potong Dira. “Ada fisiknya, tapi jiwanya entah ke mana.”
Itu benar, tapi mendengarnya dari mereka terasa seperti dihujani batu saat sedang tenggelam.
Air mata Nayra jatuh. Tapi ia menyekanya cepat-cepat.
Ibu Arka menghela napas panjang.
“Arka itu laki-laki cerdas, tampan, punya karier bagus. Sayang kalau di rumah hanya dapat perempuan lemah seperti kamu. Kalau kamu tidak bisa bangkit, lebih baik kamu pikirkan posisimu.”
“Mah…” suara Nayra pecah. “Saya masih berusaha. Saya masih… sayang sama dia.”
“Sayang saja nggak cukup kalau kamu jadi beban,” ujar Dira dingin.
Setelah dua jam, mereka akhirnya pergi.
Tapi yang tertinggal di ruang tamu itu bukan keheningan.
Melainkan bekas luka baru yang mencabik kewarasan Nayra.
Setelah menidurkan Alma, Nayra masuk ke kamar mandi. Kali ini bukan duduk diam. Tapi menyalakan shower, berdiri di bawahnya berpakaian lengkap dan membiarkan air menghujani tubuhnya tanpa reaksi.
Air dingin, tapi pikirannya lebih beku.
Pikirannya menjerit:
“Aku gagal.”
“Mereka benar.”
“Aku bukan istri yang baik. Aku bukan ibu yang cukup.”
Ia mulai menggigil.
Malamnya, Arka pulang. Melihat handuk basah di lantai dan kamar yang kacau, ia panik.
“Nayra?”
Ia menemukannya duduk di pojok kamar. Tubuhnya menggigil di balik selimut. Alma sudah tidur di ranjang.
Arka memeluknya.
“Nay… aku tahu mereka datang. Mbak Intan bilang. Maaf aku gak bisa tahan mereka tadi…”
Nayra menatap Arka dengan mata kosong. “Kenapa kamu gak bilang dari awal kalau aku ini salah pilih?”
“Nayra…” Arka menggenggam wajah istrinya.
“Aku capek dibilang beban. Aku capek terus merasa sendiri bahkan di rumahku sendiri.”
Arka menarik tubuh Nayra ke dalam pelukannya.
Kali ini ia tak lagi kuat menahan air mata.
“Aku minta maaf. Aku harusnya ada buat kamu dari awal. Aku salah.”
Nayra menangis keras di dada Arka. Tangis dari jiwa yang lelah berjuang sendiri.