Ariana Rosita Putri Prakasa (17th) adalah anak seorang pengusaha dari kota Malang. Terkenal dengan sikap nakal, usil dan keras kepala di sekolahnya. Membuat edua orang tuanya memutuskan memindah Riana ke pesantren.
Di pesantren Riana tetap berulah, bahkan memusuhi ustadz dan ustadzah yang mengajarinya, terutama ustadz Daffa anak bungsu kyai yang paling sering berseteru dengannya. Bahkan, Kyai dan istrinya juga ikut menasehati Riana, namun tetap tidak ada perubahan. Kyai pun angkat tangan dan memanggil ayah Riana, namun ayah Riana malah meminta Kyai mencarikan jodoh saja untuk anak semata wayangnya. Tanpa sepengetahuan siapapun, Riana diam-diam memiliki perasaan cinta terhadap salah satu putra Kyai, yaitu Ustadz Zaki. Siapa yang akan di jodohkan Kyai dengan Riana? salah satu santrinya atau dengan putranya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CumaHalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ungkapan Cinta Rafly
"Wah, kalian lagi ngapain nih?" tegur ustadz Daffa. Riana dan Rafly menoleh menatap ustadz Daffa yang berjalan ke arah mereka berdua.
"Kita lagi bahas olahraga yang akan di pertandingkan minggu depan ustadz," jawab Rafly memundurkan tubuhnya.
"Oh, kalian berdua sebenarnya saling cinta, kan?" tebak ustadz Daffa. Riana dan Rafly saling pandang dan mengerutkan dahinya.
"Kog ustadz bilang begitu sama calon istri sendiri?" tanya Rafly.
"Udah lah cil, ngaku aja kalian berdua. Kamu suka kan sama Riana?" ustadz Daffa memandang Riana dan Rafly bergantian.
Rafly ragu menjawab pertanyaan ustadz Daffa. Sedangkan Riana hanya memandangnya tanpa ekspresi. Ustadz Daffa kembali mengulang pertanyaannya dan menatap Riana dan Rafly bergantian.
"Aku emang suka sama Riana, tapi ga tau sama dia, ustadz," jawab Rafly. Seketika Riana membelalakkan matanya dan tidak percaya dengan ucapan sahabatnya.
"Rafly? Aku ga nyangka kamu ngomong gitu. Kamu becanda kan Rafly?" ucap Riana menautkan kedua alisnya.
"Nggak, aku beneran cinta sama kamu Riana," jawab Rafly. Riana memalingkan wajahnya dan menghela napasnya.
"Nah, bagus itu. Ayo kamu ikut denganku!" ucap ustadz Daffa antusias.
Ustadz Daffa menarik tangan Rafly dan mengajaknya ke rumahnya untuk menemui Kyai Husein. "Mau kemana ustadz?" tanya Rafly kebingungan.
"Ya kerumahku, bilang sama Abah kalau kamu mencintai Riana. Jadi nanti kamu yang akan menikah dengan Riana," jawab ustadz Daffa.
"UDAH CUKUP!!" teriak Riana.
Ustadz Daffa melepaskan genggaman tangannya, Rafly menatapnya dengan rasa bersalah. "Kalau ga mau ya udah ga usah nikah, ga usah jodoh-jodohin orang gitu dong," protes Riana sambil berlalu meninggalkan ustadz Daffa dan Rafly yang terpaku melihat Riana emosi.
"Ustadz lihat sendiri kan Riana ga mau nikah sama aku, udah ah, mau masuk aku," ucap Rafly yang meninggalkan ustadz Daffa sendirian. Lalu, ustadz Zaki menghampirinya dan menepuk pundaknya.
"Kamu kenapa sih, Fa?" tanya ustadz Zaki.
"Aku tuh ga suka sama Riana, Mas. Kalau pernikahan ini dipaksakan, aku takut kalau sampai kapanpun ga bisa mengubah perasaanku ke Riana."
"Apa kamu punya seseorang yang kamu cintai?"
Ustadz Daffa terdiam sejenak dan menghela napasnya. Lama tidak menjawab pertanyaannya, ustadz Zaki meninggalkan adiknya dan menuju kelasnya. Kemudian ustadz Daffa pergi menuju rumahnya.
"Fa, gimana persiapan pekan olah raga minggu depan?" tanya Ali saat ustadz Daffa masuk rumah.
"Sudah mulai di kerjakan sama mas Zaki dan beberapa ustadz, Mas."
"Terus, kamu sama Riana sudah mulai ada percikan asmara belum nih?" goda Ali sambil tersenyum.
"Astaghfirullah, mas mas .... Baru juga kemarin, udah di tanya gitu aja. Ah, males ngobrol sama kamu, Mas," gerutu ustadz Daffa.
"Fa, Zaki sekarang dimana? Tadi pagi ga sarapan, ini siang kog ga pulang," ucap Bu nyai.
"Ga tau Umi, tadi aku lihat masih ngajar. Mungkin udah makan di kantin," jawab ustadz Daffa.
"Ada apa sama anak itu, kemarin juga ga makan. Akhir-akhir ini dia juga makannya dikit sekali. Umi takut kalau sakit lambungnya kumat," ujar Bu nyai lirih.
"Mungkin sibuk mempersiapkan acara buat minggu depan, jadi mas Zaki makan di luar, Tante." Ali berusaha menepis pikiran buruk Bu nyai.
"Fa, coba kamu temui masmu, dan pastikan dia makan. Zaki itu kalau banyak kerjaan atau pikiran pasti lupa makan."
"Nanti saja umi, sebentar lagi kan sholat dzuhur, aku ajak mas Zaki makan siang," ucap ustadz Daffa sambil memainkan hpnya.
"Kog nanti-nanti, sekarang pergi sana temui masmu," perintah Bu nyai dengan nada sedikit meninggi.
Ustadz Daffa terkejut dan beranjak dari tempat duduknya. Lalu, keluar lagi ke depan menuju kelas kakak keduanya. Lalu berhenti di depan kelasnya dan menunggunya di dekat pintu, ustadz Zaki yang melihatnya merasa kesal seperti sedang di awasi. Ia melangkah mendekati adiknya yang duduk di depan kelas sambil memainkan hpnya.
"Ini belum ujian, Fa. Kamu ngapain ngawasin aku?" tegur ustadz Zaki.
"Haha, aku disuruh umi mengajakmu makan mas," jawab ustadz Daffa.
"Aku sudah makan, sekarang pergilah!"
"Aku disuruh memastikan kamu sedang makan, jadi setelah kelas ini selesai. Aku akan mengajakmu ke depan beli makan."
Ustadz Zaki berdecak kesal dan meninggalkan adiknya di depan kelasnya. Ahya, putra pertama ustadz Arman berdiri dan menghampiri pamannya. Karena terlalu fokus menatap layar hp, ustadz Daffa tidak sadar di intip dari belakang sampingnya.
"Om, itu ngeliatin apa sih dari tadi di geser-geser terus?" tanya Ahya dan mengejutkan ustadz Daffa.
"Eh, Ahya, kamu ngapain disini? Sana masuk!" perintah ustadz Daffa.
Ustadz Arman menggenggam lengan Ahya dan menuntunnya ke kelas. Mendudukkannya di kursinya, dan berdiri di sampingnya. "Jangan mentang-mentang gurunya om kamu sendiri, membuatmu seenaknya sendiri keluar masuk kelas," ucap ustadz Arman.
"Kog Abi udah pulang? Seharusnya pulangnya nanti sore aja," ujar Ahya cemberut.
Ustadz Daffa yang mendengar ucapan Ahya tertawa terbahak. Lalu, ustadz Arman melotot menatap ustadz Daffa. "Daffa, tolong ketawanya di pelankan!"
"Mas, bisa diteruskan nanti saja di rumah kalau mau ceramahin Ahya. Waktunya tinggal dikit dan ada beberapa materi yang harus aku sampaikan ke anak-anak," kata ustadz Zaki.
Ustadz Arman mengangguk dan keluar. Ia mengajak ustadz Daffa sedikit menjauh dari kelas. "Tumben kamu nungguin Zaki? Ada apa?"
"Umi menyuruhku memastikan mas Zaki makan, katanya sejak kemarin sore mas Zaki ga makan di rumah."
"Zaki ga makan sejak kemarin sore? Mungkin dia makan di depan Fa."
"Aku mikirnya juga gitu, tapi umi bilang aku harus memastikan mas Zaki makan."
"Abi ... Abi ...!" teriak Ahya sambil berlari menghampiri ustadz Arman.
"Ahya, disuruh belajar malah keluar lagi," bentak ustadz Arman.
"Abi, Om Zaki pingsan," jawab Ahya sambil menunjuk ke arah kelasnya.
Ustadz Arman dan ustadz Daffa bergegas ke kelas. Dan melihat ustadz Zaki sudah tergeletak di lantai. Ustadz Arman mengangkat tubuhnya bersama dengan ustadz Daffa. Lalu, segera membawanya ke bawah dan menuju ruang kesehatan.
Di ruang kesehatan ustadz Zaki di beri minyak dan berusaha di bangunkan oleh ustadz Arman. Karena panik dan tidak segera sadar, ustadz Arman memutuskan membawanya ke rumah sakit dengan ustadz Daffa.
"Mas, kog mas Zaki lemes banget ya," ucap ustadz Daffa di dalam mobil saat perjalanan ke rumah sakit.
"Ya ga tau, Fa. Semoga cuma pingsan, dan ga terjadi apa-apa." ustadz Arman melajukan mobilnya dengan sangat cepat, membunyikan klakson sepanjang perjalanan karena jalanan dipadati kendaraan lainnya.
Sampai rumah sakit, ustadz Arman segera daftar dan langsung membawa ustadz Zaki ke UGD. Ustadz Arman menemaninya di periksa oleh dokter. "Denyut nadinya sangat lemah," ujar dokter dan membuat ustadz Arman cemas dan keringat dingin.