Dikhianati oleh dua orang yang paling ia percayai—tunangannya dan adiknya sendiri—Aluna Kirana kehilangan semua alasan untuk tetap hidup. Di tengah malam yang basah oleh hujan dan luka yang tak bisa diseka, ia berdiri di tepi jembatan sungai, siap menyerahkan segalanya pada arus yang tak berperasaan.
Namun takdir punya rencana lain.
Zayyan Raksa Pradipta, seorang pemadam kebakaran muda yang dikenal pemberani, tak sengaja melintasi jembatan itu saat melihat sosok wanita yang hendak melompat. Di tengah deras hujan dan desakan waktu, ia menyelamatkan Aluna—bukan hanya dari maut, tapi dari kehancuran dirinya sendiri.
Pertemuan mereka menjadi awal dari kisah yang tak pernah mereka bayangkan. Dua jiwa yang sama-sama terbakar luka, saling menemukan arti hidup di tengah kepedihan. Zayyan, yang menyimpan rahasia besar dari masa lalunya, mulai membuka hati. Sedangkan Aluna, perlahan belajar berdiri kembali—bukan karena cinta, tapi karena seseorang yang mengajarkannya bahwa ia pantas dicintai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Zayyan berdiri membeku. Ruangan itu mendadak terasa sempit. Rekan-rekannya yang lain saling pandang, lalu pelan-pelan mundur memberi ruang.
Beberapa menit kemudian, mereka sudah berada di ruang istirahat kecil yang sepi. Sunyi menyelimuti mereka.
"Apa yang kalian lakukan di sini?" tanya Zayyan, nadanya datar, tetapi sorot matanya tajam. Ia berdiri, sementara kedua orang tuanya duduk, seolah menyiratkan jarak yang tak bisa dijembatani.
Ayahnya mendesah. "Kami datang untuk mengajakmu pulang, Zayyan. Ini sudah terlalu lama. Bertahun-tahun kau menyiksa diri sendiri di tempat ini. Sudah waktunya kau kembali ke tempat yang seharusnya menjadi milikmu."
"Tempat yang seharusnya?" Zayyan menyeringai miris. "Menurut kalian, tempatku di balik meja marmer dan jas abu-abu itu? Menjadi boneka pewaris di perusahaan yang bahkan tidak pernah aku inginkan?"
Ibunya mencoba bicara lebih lembut. "Nak, kami tahu... kami telah melakukan kesalahan. Tapi kau tidak bisa terus-terusan seperti ini. Profesi ini bukan untuk seseorang sepertimu. Kau bukan orang biasa. Kau anak dari Rahman Pradipta. Kau pantas berada di atas, memimpin, bukan membersihkan abu dan bertarung melawan api."
"Dan meninggalkan hidup yang membuatku merasa hidup?" Zayyan mendekat, nadanya mulai meninggi. "Apa yang kalian tahu tentang hidupku? Kalian bahkan tidak hadir saat aku memakamkan Alya. Kalian sibuk membersihkan nama keluarga, sibuk menyuap media agar mereka tidak tahu bahwa api itu berasal dari ulah kalian sendiri."
Suasana mengeras. Mata sang ayah berkedip cepat, namun tidak bergeming. "Kau harus melupakan perempuan itu, Zayyan. Sudah cukup kau meratapinya. Dia sudah tiada."
"Dia mati karena kalian!" bentak Zayyan. Suaranya menggema. Nafasnya memburu. Tangannya mengepal kuat-kuat.
"Alya... mati karena ambisi kalian. Karena kalian tidak bisa menerima kalau aku memilihnya. Karena kalian menganggap cinta tidak sepadan dengan nama besar keluarga Pradipta."
Ibunya mulai menitikkan air mata. "Kami hanya ingin yang terbaik untukmu nak."
Zayyan menatap ibunya lekat-lekat, dan untuk sejenak, ada luka di matanya yang begitu dalam.
"Dan yang terbaik menurut kalian... adalah menghancurkan kebahagiaanku?"
Ayahnya berdiri. "Zayyan, ini sudah cukup keterlaluan. Jika kau menolak kembali sekarang, jangan harap kau akan kembali menerima warisan keluarga. Perusahaan ini akan kami berikan kepada orang lain."
Zayyan tertawa pendek, getir. "Ambillah. Bakar sekalian. Aku tidak peduli. Aku sudah kehilangan segalanya karena kalian. Aku memilih untuk hidup seperti ini karena ini satu-satunya cara aku bisa memaafkan diriku sendiri. Aku tidak butuh nama besar. Aku hanya butuh ketenangan."
Ibunya masih berusaha mendekat. "Nak, kami juga kehilangan..."
"Tidak!" potong Zayyan. "Kalian kehilangan reputasi, bukan anak. Aku masih hidup. Tapi kalian membunuh bagian dari diriku, berkali-kali, sampai aku tidak mengenali diriku sendiri."
Sunyi kembali memenuhi ruangan. Zayyan berdiri tegap, namun sorot matanya penuh luka.
"Aku tidak akan pulang ke rumah itu. Dan aku tidak akan pernah meninggalkan profesiku. Aku mungkin tidak bisa menyelamatkan Alya, tapi setidaknya aku bisa menyelamatkan orang lain. Dan itu cukup untuk membuatku bertahan."
Ayahnya menghela napas panjang, lalu mengangguk sekali. "Kalau itu keputusanmu, maka kami tidak akan memaksa. Tapi ingat, Zayyan, kau tidak bisa lari dari darahmu sendiri."
Zayyan menatap ayahnya. "Dan kalian tidak bisa lari dari kesalahan kalian."
Beberapa detik kemudian, kedua orang tua Zayyan beranjak pergi. Langkah mereka pelan, nyaris berat. Punggung mereka menghilang di balik pintu yang tertutup.
Zayyan tetap berdiri di sana, tubuhnya kaku, dadanya penuh gejolak. Tapi tak lama kemudian, suara panggilan dari radio markas memecah kesunyian.
"Ada kebakaran di wilayah selatan. Seluruh tim siaga."
Ia menarik napas dalam-dalam. Meninggalkan luka bukan hal mudah, tapi memilih bertahan dengan alasan yang benar... itulah keberanian.
Zayyan meraih helmnya, lalu berjalan cepat ke arah truk pemadam. Hari belum berakhir. Dan hidup... harus tetap diselamatkan.
itu sakitnya double
bdw tetap semangat/Determined//Determined//Determined//Determined/