Kejahatan paling menyakitkan bukan diciptakan dari niat jahat, tapi tumbuh dari niat baik yang dibelokkan.
Robert menciptakan formula MR-112 untuk menyembuhkan sel abnormal, berharap tak ada lagi ibu yang mati seperti ibunya karena kanker. Namun, niat mulia itu direnggut ketika MR-112 dibajak oleh organisasi gelap internasional di bawah sistem EVA (Elisabeth-Virtual-Authority). Keluarga, teman bahkan kekasihnya ikut terseret dalam pusaran konspirasi dan pengkhianatan. Saat Profesor Carlos disekap, Robert harus keluar dari bayang-bayang laboratorium dan menggandeng ayahnya, Mark, seorang pengacara, untuk melawan kekuatan yang jauh lebih besar dari dirinya. Misteri ini bukan sekadar soal formula. Ini tentang siapa yang bisa dipercaya saat kebenaran disamarkan oleh niat baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Osmond Silalahi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Dimulai Dengan Rasa Rahasia
...Aku harus menghilang… demi keselamatan banyak orang dan demi dia,”...
Udara dingin laboratorium menyelimuti Robert, menusuk kulitnya hingga ke tulang. Bau antiseptik yang tajam dan aroma kopi basi semalam masih tercium samar, menggantung di udara seperti bayang-bayang yang tak mau pergi. Sepatu bot hitamnya bergema pelan di koridor yang sunyi, setiap langkah seakan mengetuk-ngetuk rasa takut yang disembunyikan di balik ketenangannya. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdebar tak menentu. Di balik wajahnya yang tenang, pikirannya bergejolak, dipenuhi dengan ketakutan dan tekad yang bercampur aduk.
“Aku harus menghilang… demi keselamatan banyak orang dan demi dia,” gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar. Dia berhenti sejenak di depan pintu besi laboratoriumnya, tangannya meraih kartu akses, jari-jarinya sedikit gemetar. Bunyi klik yang pelan terasa begitu keras di telinganya, diikuti oleh desisan mekanis pintu otomatis yang membuka.
Ruangan itu terang benderang, diterangi oleh cahaya putih lampu neon yang mencolok. Aroma khas larutan kimia memenuhi udara, sebuah aroma yang biasa membuatnya nyaman, tetapi sekarang terasa menyesakkan. Tabung-tabung reaksi berjajar rapi di rak-rak, seperti pasukan yang siap tempur, siap untuk menjalankan perannya dalam percobaan rumit yang dia lakukan. Layar monitor besar menyala dengan warna biru, menampilkan grafik dan data yang rumit, sebuah representasi dari pekerjaannya yang begitu dekat dengan penyelesaian. Tetapi, bukan perasaan senang yang dia rasakan, melainkan beban berat yang semakin mencengkeram hatinya.
Dia meletakkan tas ranselnya, lalu menepuk tangan dua kali, sebuah kebiasaan yang biasanya menandakan awal dari suatu eksperimen. Tetapi kali ini, itu terasa lebih seperti sebuah ritual, sebuah usaha untuk mengumpulkan keberanian yang nyaris habis.
“Baiklah,” gumamnya lagi, suaranya masih serak. “Hari ini, aku harus menyelesaikan formula ini. Dunia mungkin bergantung padaku, tapi yang lebih penting, Misel bergantung padaku.” Pikirannya melayang kepada Misel, kekasihnya, yang selalu mendukungnya, yang selalu ada di sisinya, meskipun dia seringkali terlalu tenggelam dalam pekerjaannya.
Matanya tertuju pada ponselnya di atas meja, wallpapernya menampilkan foto Misel, senyumnya yang cerah seakan menerangi ruangan yang dingin dan sunyi ini. Rambutnya sedikit beterbangan tertiup angin, sebuah gambaran kebebasan yang kini terasa begitu jauh dari jangkauannya. Dia tersenyum, sebuah senyum yang dipaksakan, berusaha menyembunyikan rasa takut dan keraguan yang menggerogoti hatinya. Dia menekan tombol panggilan.
Di sebuah kantor yang terletak di gedung pencakar langit Jakarta, Misel duduk di meja sekretarisnya, dikelilingi oleh tumpukan dokumen kasus perdata. Blazer putih gadingnya tampak kontras dengan suasana kantor yang serius dan formal. Bau kopi dari cangkir di sampingnya sedikit mengurangi rasa kantuk yang mulai menyerang. Jari-jarinya bergerak lincah di atas keyboard, mengetikkan kata demi kata dengan kecepatan yang mengagumkan. Dia memeriksa email dari klien ayahnya, Pak Mark Albertus, seorang pengacara senior yang sangat dihormati, reputasinya setinggi langit Jakarta.
Ponselnya berdering, menampilkan nama “Sayang” di layar. Senyum mengembang di wajahnya, rasa khawatir yang tiba-tiba muncul tadi sirna seketika.
"Pagi, sayang. Sudah di lab, ya? Gimana, sudah selamatkan dunia belum?" sapa Misel dengan suara riang, berusaha menutupi rasa cemas yang mulai muncul.
Di seberang sana, suara Robert terdengar berat, meskipun berusaha terdengar lembut. "Belum, tapi aku semakin dekat. Hari ini seharusnya hari penting. Aku mungkin tidak bisa banyak bicara, Sayang…"
Misel mendesah pelan. "Kau selalu bilang begitu setiap kali kau nyaris menemukan sesuatu yang ‘penting’. Aku mulai curiga kau ini agen rahasia atau ilmuwan gila," gumamnya, meskipun sedikit senyum terpatri di bibirnya. Dia tahu Robert, dengan kegigihan dan kecerdasannya yang luar biasa, seringkali terlalu tenggelam dalam pekerjaannya.
Robert tertawa kecil, tetapi cepat hilang. “Aku serius, Sayang. Jika berhasil, ini bisa menyelamatkan jutaan nyawa. Tapi risikonya… sangat besar.” Suaranya terdengar semakin berat, beban yang dia pikul terasa semakin mencekik.
Misel merasakan ada yang berbeda dari nada bicara Robert. “Kalau kau butuh apa pun… aku di sini. Kantor Ayah lagi padat, tapi aku bisa kabur untukmu kapan saja.” Meskipun suaranya terdengar tenang, ada sedikit getaran yang tak bisa disembunyikan.
Robert menutup matanya sejenak, seperti menahan beban berat yang tak mampu dipikulnya sendirian. “Aku tahu. Dan itu yang membuatku kuat.” Kalimat itu terasa lemah, tak mampu menutupi rasa takut yang ada dalam dirinya.
Hening beberapa saat. Misel bertanya dengan nada cemas, “Sayang? Kau masih di sana?”
“Iya… maaf. Aku harus mulai sekarang. Aku telepon lagi nanti. Jaga dirimu, ya.” Sambungan terputus. Misel menatap layar ponselnya yang gelap, rasa khawatir menggantikan kegembiraannya. Ada yang sangat salah. Firasat buruk mulai menghampirinya.
Robert baru saja mempersiapkan larutan uji dalam tabung reaksi, ketika pintu laboratorium terbuka perlahan. Seorang pria berjas panjang, Profesor Carlos, senior di laboratorium, memasuki ruangan. Wajahnya penuh kerutan, tetapi tatapan matanya tajam dan dingin seperti es, tidak seperti biasanya yang ramah dan penuh senyum.
“Robert,” ucapnya pelan, tetapi tegas, suaranya membawa nuansa serius yang membuat Robert merinding.
Robert menoleh cepat, jantungnya berdebar kencang. “Prof? Tumben ke ruangan saya pagi-pagi.” Ada nada sedikit gugup dalam suaranya, yang selama ini selalu tenang.
Profesor Carlos menutup pintu dengan hati-hati, lalu mendekat. Suaranya turun menjadi bisikan, “Kita tidak punya banyak waktu. Aku harus memberitahumu sesuatu, dan ini tentang nyawamu.” Kalimat itu menggema di telinga Robert, seperti vonis mati.
Robert mengerutkan kening, “Tunggu… apa maksudnya?” Pertanyaan itu terlontar tanpa sadar, diiringi oleh rasa takut yang mulai menguasai dirinya.
Profesor Carlos mendesah, melihat sekeliling untuk memastikan tidak ada CCTV yang aktif, lalu bersandar ke meja. “Formula yang kau kembangkan… bukan hanya kau yang memperhatikannya. Ada kelompok—mafia. Mereka dibekingi oleh Direktur Laboratorium ini. Aku tahu karena mereka pernah mendekatiku. Dan mereka tahu kau hampir menyempurnakan formula itu.”
Robert tergagap, “Kelompok… mafia? Tapi… itu cuma rumus molekuler penyembuh sel abnormal! Mereka bisa apa dengan itu?”
“Diperas, Robert. Pemerintah. Dunia. Mereka bisa menjualnya sebagai obat eksklusif, atau justru menciptakan ketergantungan baru,” suara Carlos mengeras, “Kau harus pergi. Sembunyi dulu.” Kalimat itu diiringi oleh tatapan mata yang serius, penuh dengan peringatan.
Robert melangkah mundur, wajahnya pucat. “Pergi ke mana?” Pertanyaan itu terlontar dengan suara gemetar, ketakutan telah menguasai seluruh dirinya.
Profesor Carlos mengeluarkan kotak kecil dari saku jasnya. Di dalamnya terdapat ponsel baru, masih tersegel. “Laboratorium kecil milikku di luar kota. Aku akan membawamu ke sana sekarang juga. Tapi sebelum itu… ganti nomor ponselmu. Simpan hanya nomor teleponku dan satu lagi… pacarmu, Misel. Jangan sampai kau membahayakan nyawanya dengan membuatnya terlibat.”
Robert menghela napas panjang. Wajah Misel terbayang di pikirannya. “Aku harus memberi tahu dia. Sedikit saja. Biar dia tidak panik.” Keputusan itu diambil dengan berat, dia harus melindungi Misel dari bahaya yang mengintainya.
Profesor Carlos mengangguk. “Boleh. Tapi satu pesan. Jangan pernah sebutkan lokasi tempat persembunyianmu ke siapa pun, dan pastikan dia pun tidak membocorkan nomor barumu.” Peringatan itu terasa berat, Robert harus sangat berhati-hati.
Robert menatap layar ponselnya yang masih menyala. Ia menghubungi Misel, menjelaskan situasi yang sangat berbahaya ini. Percakapan telepon mereka dipenuhi dengan ketegangan, cinta, dan keputusasaan. Robert menjelaskan tentang ancaman mafia, dan betapa pentingnya bagi Misel untuk menjaga kerahasiaan nomor telepon barunya. Misel, meskipun takut, menunjukkan kekuatan dan dukungannya yang tak pernah padam.
Robert mematikan sambungan. Ia mencabut kartu SIM-nya, menatapnya sesaat, lalu menjatuhkannya ke dalam larutan asam yang ada di laboratorium – kartu SIM itu perlahan larut, seperti harapannya akan kehidupan normal yang dulu dia miliki.
Ia memasang SIM card baru, ponselnya menyala. Ia menyimpan dua nomor: Prof. Carlos dan Misel. Nomor Misel disimpan dengan nama samaran, "Bintangku." Nama itu menjadi simbol dari harapan dan cinta yang akan selalu membimbingnya melewati masa-masa sulit ini.
Robert menarik napas dalam-dalam. Dunia luar terasa asing dan berbahaya.
“Baik, Profesor,” katanya akhirnya. “Aku sudah siap. Tapi aku ingin singgah dulu ke rumahku, lalu ke jalan Capital North. Ada sesuatu yang harus kukembalikan ke brankas pribadiku di sana.” Dia harus memastikan semua jejaknya terhapus, untuk melindungi dirinya dan orang-orang yang dicintainya.
“Baiklah,” kata Profesor Carlos.
Mereka meninggalkan laboratorium, langkah mereka terburu-buru, bayangan ketakutan dan misteri mengikuti mereka. Kehidupan baru Robert telah dimulai, penuh dengan ketidakpastian dan bahaya yang mengintai di balik setiap sudut. Tetapi dia memiliki tekad, dan dia memiliki Misel, Bintangnya, yang akan selalu membimbingnya melewati kegelapan ini.
,, biasany org2 yg menciptakan formula/ obat itu untuk menyembuhkan seseorg yg dia sayang