Irish kembali, membawa dua anak kembar dan luka lama yang telah berubah menjadi kekuatan. Ethan, pria yang dulu mengabaikannya tanpa rasa, kini tak bisa mengalihkan pandangan. Ada yang berbeda dari Irish, keteguhan hatinya, tatapannya, dan terutama... anak-anak itu. Nalurinya berkata mereka adalah anaknya. Tapi setelah semua yang ia lakukan, pantaskah Ethan berharap diberi kesempatan kedua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EP: 24
Jessi menahan napas, bibirnya bergetar sebelum akhirnya bersuara, “Penyakit ibu mertuaku sudah sulit untuk bisa disembuhkan. Setelah kemoterapi dan radioterapi, sekarang malah harus operasi juga, biayanya tidak sedikit. Dan kalaupun operasinya berhasil, perawatannya masih butuh banyak uang lagi.”
Matanya memerah, suaranya pecah. “Dengan kondisi seperti ini, aku tidak bisa meminta gaji Jeremy, tapi juga tak mungkin meminta orangtuaku menjual rumah mereka demi biaya pengobatan ibu mertuaku. Tapi Jeremy malah bilang aku kekanak-kanakan. Irish, aku harus apa?”
Begitu kata-kata itu meluncur, Jessi menutup wajahnya, bahunya terguncang oleh tangis.
Irish menatap sahabatnya, merasakan sesak luar biasa. Jessi adalah orang yang dulu selalu menopangnya saat terjatuh, tapi sekarang malah terpuruk sendiri, sementara Irish bahkan tidak mampu menolongnya. Uangnya habis, bahkan masih berutang dalam jumlah besar kepada Hanna. Bagaimana bisa ia membantu?
Ia menelan ludah, berniat berbicara, tapi hanya mampu menatap kosong.
Jessi pun cepat-cepat mengusap air matanya, lalu menggenggam tangan Irish, berusaha menenangkan diri. “Aku hanya terlalu lelah, Irish. Setelah curhat padamu, rasanya sudah lebih baik.”
Irish menunduk, pikirannya kalut. Ia tidak punya uang, tapi harus menolong Jessi. Kalau meminjam? Dari siapa?
Ia menarik napas panjang. Hanna mungkin mau meminjamkannya, tapi Irish memiliki hutang pada Hanna.
Bagaimana dengan Erick? Ia langsung menepis. Hanna sekarang punya hubungan baik dengan Erick, sementara Irish bukan siapa-siapa bagi pria itu. Meski Erick mungkin mau menolong, Irish tidak mau berurusan dengannya lagi, dia tidak ingin di salah-pahami lagi oleh Hanna.
Hanya tersisa satu nama. Ethan.
Irish meremas jemarinya. Ethan sudah berkali-kali menawarinya uang kompensasi perceraian. Kalau ia mau, Ethan pasti akan memberinya.
Namun…
Empat tahun bertahan, menelan luka, menegakkan harga diri, apa semua itu harus berakhir sekarang?
Lalu ia teringat. kalau bukan karena Jessi yang dulu menyemangatinya, mungkin Irish tidak akan pernah berani memulai hidup baru.
Ia menatap sahabatnya mantap, meremas tangannya. “Jessi, percayalah. Aku akan cari jalan.”
Jessi buru-buru menggeleng. “Jangan menyulitkan dirimu sendiri, Irish.”
“Bukan menyulitkan,” gumam Irish pelan, “aku hanya ingin memberi penjelasan pada diriku sendiri.”
Ia sadar, selama ini Ethan hidup damai tanpa terganggu, sementara ia sendiri tersiksa oleh kebencian.
Juga, si kembar Vivi dan Nathan memiliki darah Ethan. Kelak mereka pasti akan tahu siapa ayah kandung mereka. Irish tidak mau anak-anak itu menyaksikan kedua orangtuanya saling bermusuhan selamanya.
Jadi inilah akhirnya. Irish akan meminta kompensasi perceraian dari Ethan, menutup dendamnya, lalu benar-benar pergi tanpa beban.
Malam itu, Irish tidur lebih tenang daripada biasanya. Ia bahkan bermimpi indah, meskipun tak jelas apa isinya. Yang ia tahu, saat terbangun, bibirnya masih tersenyum.
Pagi harinya, ia bangun, mandi, lalu mengantar si kembar Vivi dan Nathan ke TK sebelum menuju lokasi syuting.
Hari itu suasana syuting cukup damai berkat kehadiran Erick, meskipun sempat muncul ketegangan antara Hanna dan Kirana. Sorenya, semua diberi waktu istirahat.
Irish menolak ajakan Hanna untuk berbelanja dan memutuskan langsung menuju gedung Perusahaan milik Ethan.
Ia berdiri menatap gedung tinggi itu, menahan napas. Dulu, saat masih menikah, ia tak pernah sekalipun datang ke tempat ini, hanya mengurung diri di rumah dan menjadi ibu rumah tangga. Kini, akhirnya ia datang, mungkin untuk terakhir kalinya.
Dengan langkah ragu, ia masuk.
Ethan baru mengetahui bahwa Irish sudah menunggunya setengah jam setelah rapatnya selesai. Sedikit terkejut, karena ini pertama kalinya Irish datang sendiri menemuinya.
Pasti ada hal penting, pikir Ethan.
Ia sempat teringat saat rumah Irish kebanjiran. Diam-diam, ia memerintahkan sekretaris, Maya, membeli perabot baru untuk Irish dan mengaturnya lewat Davin, asistennya agar tidak ketahuan siapa pengirimnya. Hanna tidak pernah tahu tentang itu, segalanya berjalan mulus.
Tapi sekarang, untuk apa Irish mencarinya?
Dengan sedikit ragu, Ethan meminta Maya mengantar Irish ke ruang tamu untuk menunggu.
Maya tersenyum ramah. “Nona, silakan tunggu di sini. Pak Presdir akan segera datang,” ujarnya sambil menyodorkan segelas jus.
“Terima kasih.” Irish menerima gelas itu, lalu menaruhnya di meja tanpa menyesapnya. Hari ini, rasanya ia tidak sanggup meneguk apa pun.
Biasanya, Irish bisa berbicara pada Ethan dengan nada keras dan sombong, tapi sekarang… ia datang untuk meminta kompensasi perceraian. Semua sikapnya harus berubah.
Ia menarik napas, mencoba menenangkan pikirannya.
“Kalau begitu saya keluar dulu, Nona. Silakan panggil saya jika anda butuh apa-apa,” ujar Maya lembut sebelum meninggalkan ruangan.
Di koridor, Maya berpapasan dengan Zayn yang berjalan mendekat.
“Halo, Pak Zayn,” sapanya sopan.
“Ya,” jawab Zayn datar. Ia melirik ke arah ruang tamu. “Siapa wanita yang kau bawa masuk barusan?”
Maya hanya tersenyum samar. “Tamu Pak Presdir.”
Jawaban yang membuat Zayn kesal, Maya sama keras kepalanya dengan Davin, tak akan membocorkan apa pun.
Kini, ketika Susan menjawab seperti itu, Zayn tidak punya pilihan lain. Zayn juga tidak ingin bertanya lebih lanjut lagi, dia takut jika Maya akan melopor pada Ethan.
Tepat di saat itu, Ethan datang setelah menandatangani dokumen. Ia menatap Zayn yang tengah berbicara dengan Maya, ekspresinya tetap tenang seperti biasa.
“Zayn, ada apa?”
“Oh,” Zayn sempat berpikir sejenak.
“Aku hanya bertanya pada Susan, siapa tamu yang datang barusan. Dari belakang kelihatan wanita cantik.”
Zayn melanjutkan, menampakkan ekspresi frustrasi. “Ethan, kamu tahu sendiri Carisa tumbuh bersamaku sejak kecil, sudah kuanggap adik kandungku sendiri. Sekarang kamu menyuruh seorang wanita cantik masuk ruang tamu, dan Maya sebagai asistenmu yang mempersilahkannya. Jadi aku langsung ingin tahu, semoga kamu tidak keberatan.”
Ethan mendengarkan kalimat panjang Zayn dengan wajah datar. Ia sedikit mengangkat alis, lalu berkata tanpa banyak reaksi, “Zayn, aku tahu kamu sangat peduli pada Carisa, tapi tidak perlu cemas berlebihan. Tamu itu dari perusahaan milik Dion, kami akan membahas kerja sama.”
Setelah terdiam sejenak, Ethan menambahkan seolah teringat sesuatu, “Oh ya, proyek itu juga akan diikuti Carisa. Jadi nanti mereka pasti akan sering bertemu. Kamu masih ingat kan, aku pernah memintamu mencarikan buku-buku desain untuk Carisa?”
“Ingat, ingat.” Zayn cepat-cepat mengangguk, merasa lega setelah mendengar penjelasan Ethan agar Carisa tidak salah paham. “Kalau begitu, aku kembali ke ruanganku dulu.”
“Silakan.” Ethan mengangguk, menatap Zayn sampai pria itu pergi.
Maya sendiri baru menjadi sekretaris Ethan tiga tahun lalu, jadi ia tidak tahu bahwa Irish adalah mantan istrinya. Namun Maya cukup cerdas untuk sadar kalau Irish bukan staf perusahaan Dion, dan tak mungkin datang hanya untuk urusan kontrak kerja sama.
Tetapi profesionalitas Maya setara dengan Davin. Ethan berbohong dengan wajah setenang mungkin, dan Maya pun menanggapinya tanpa perubahan ekspresi.
Setelah Zayn pergi, Maya pura-pura tidak tahu apa pun, hanya menyapa Ethan lalu kembali bekerja. Ethan pun mengangguk, mempersilahkannya pergi.
Kemudian Ethan berdiri di depan pintu ruang tamu, berhenti sejenak. Bibirnya menegang tipis, masih tak habis pikir mengapa Irish datang mencarinya. Dengan ragu, ia membuka pintu dan masuk.
Begitu Ethan melangkah ke ruang tamu, suasana langsung terasa menegang. Ethan, dengan aura dominan yang khas, mendekat sambil berkata pelan, “Katakan, untuk apa kamu mencariku?”
“Aku…” Irish yang duduk di sofa menggigit bibir, tampak ingin berbicara terus terang. “Aku datang untuk meminta uang kompensasi perceraian.”
Ethan, yang baru saja duduk di kursinya, langsung terdiam. Meski berusaha menahan reaksi, nada suaranya tetap terdengar tajam, “Kamu datang untuk meminta kompensasi perceraian?”
Dulu, ia yang memaksa Irish menerima uang itu dengan segala cara. Tapi Irish menolak keras, kenapa sekarang ia sendiri yang datang memintanya?
“Ya.” Irish menatapnya mantap. “Setelah menerima kompensasi, hubungan kita selesai. Kamu juga tidak perlu merasa bersalah padaku.”
Mendengar kalimat itu, Ethan menatapnya dalam-dalam, lalu menyeringai dingin. “Aku tidak pernah merasa bersalah padamu.”
Irish hanya mengangkat bahu. Ethan tak terkejut dengan sikapnya yang keras kepala itu. Hari itu suasana hatinya memang buruk, jadi ia tidak mau memperpanjang perdebatan. “Terserah kamu, aku hanya mau kompensasi. Setelah itu, kita bisa hidup masing-masing tanpa gangguan.”
“Tanpa gangguan?” Ethan terkekeh kecil. Irish, jangan bermimpi kau bisa benar-benar lepas dariku.
“Iya, tanpa gangguan,” sahut Irish, menegaskan. “Aku akan menepati ucapanku.”
Ethan tersenyum tipis, tak menanggapi.
Irish kesal melihatnya tersenyum seperti itu, “Apa yang kamu tertawakan!”
Ethan tak memedulikannya, hanya bertanya santai setelah meneguk air, “Lalu, untuk apa uang kompensasi itu?”
"Untuk diriku." Jawab Irish sekenanya.
Irish tidak mau mengaku kalau uang itu untuk membantu sahabatnya. Di depan Ethan, ia tak pernah memperlihatkan kelemahan, apalagi menceritakan kepahitan hidup.
Ethan terdiam mendengar jawabannya, ekspresi wajahnya mengeras. “Baik, akan kuperintahkan orangku untuk mentransfer uangnya.”
“Tunggu, aku belum selesai,” potong Irish cepat. “Aku mau dua ratus lima 500 juta.”
Jumlah itu mencakup pinjaman pribadinya,dan itu cukup untuk biaya operasi ibu mertua Jessi dan perawatan pascaoperasi. Ia tidak akan mengambil lebih, meskipun bagi orang lain sikapnya terlihat bodoh.
“400 juta?” Ethan tertawa kecil, nada suaranya terdengar meremehkan. “Irish, apa kau lupa cara berhitung? Kau pikir aku siapa? Kompensasi perceraian hanya satu 400 juta? Apa kamu merendahkan aku?"
Irish menatapnya datar, sama sekali tidak goyah. “Bukan soal berapa banyak yang kamu mau berikan, tapi berapa yang mau kuterima,” jawabnya tenang sambil mengangkat bahu. “Kalau aku bilang 400 juta, 400 juta. Kalau lebih, akan kukembalikan padamu.”
Urat di pelipis Ethan menegang, menahan emosi. Beberapa detik kemudian, ia akhirnya mengangguk tanpa ekspresi. “Baik. Aku akan minta Davin segera mentransfernya.”
Irish mengangguk puas. “Bagus,” ujarnya singkat, lalu berbalik tanpa ragu. Ketika tangannya meraih gagang pintu, ia masih sempat menoleh, suaranya datar, “Aku permisi.”
Ethan hanya menatapnya, tidak menjawab, membiarkan Irish membuka pintu dan pergi.
Begitu Irish benar-benar keluar, Ethan langsung meminta Asistennya untuk masuk. “Davin, masuk.”
Tak butuh waktu lama, Davin melangkah cepat ke ruang tamu. “Pak, ada perintah?”
“Transfer ke Irish 400 juta sekarang juga,” perintah Ethan dengan nada dingin. Setelah jeda singkat, matanya menyipit tajam. “Dan selidiki ke mana uang itu akan dipakai. Segera laporkan padaku kalau sudah dapat hasilnya.”
gemessaa lihatnya