Mateo Velasco, CEO muda yang tampan dan dingin, terbiasa hidup dengan kendali penuh atas segalanya termasuk reputasinya. Namun hidupnya jungkir balik saat suatu pagi ia terbangun di kamar kantornya dan mendapati seorang gadis asing tertidur telanjang di sampingnya.
Gadis itu bukan wanita glamor seperti yang biasa mengelilinginya. Ia hanyalah Livia, seorang officer girls sederhana yang bekerja di perusahaannya. Bertubuh gemuk, berpenampilan biasa, dan sama sekali bukan tipe Mateo.
Satu foto tersebar, satu skandal mencuat. Keluarganya murka. Reputasi perusahaan terancam hancur. Dan satu-satunya cara untuk memadamkan bara adalah pernikahan.
Kini, Mateo harus hidup sebagai suami dari gadis yang bahkan tidak ia kenal. Tapi di balik status sosial yang berbeda, rahasia yang belum terungkap, dan rasa malu yang mengikat keduanya sebuah cerita tak terduga mulai tumbuh di antara dua orang yang dipaksa bersama oleh takdir yang kejam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
UNDANGAN SAHABAT LAMA
“LIVIAAAA!!”
Suara teriakan itu menggema di seluruh penjuru rumah, membuat jantung Livia hampir melompat keluar dari dadanya. Ia yang sedang menjemur handuk di belakang rumah langsung berhenti bergerak.
Dengan langkah cepat dan napas yang belum teratur, ia berlari masuk ke dalam rumah. Begitu masuk ke kamar Mateo, pria itu berdiri dengan ekspresi penuh amarah, memegang kemeja putih yang terlihat bolong di bagian bahunya seperti habis terkena panas setrika.
"Apa-apaan ini?!" bentak Mateo, melemparkan kemeja itu ke wajah Livia. "Kau buta atau memang sebodoh itu, hah?!"
Livia terhuyung sedikit karena lemparan itu. Ia memungut kemeja tersebut dengan tangan gemetar.
"S-saya tidak sengaja, tuan… Saya akan menjahitnya… atau menggantinya jika perlu—"
"Kau pikir itu cukup? Ini kemeja edisi terbatas, Livia! Aku tidak butuh alasan, aku butuh pelayanan yang benar!" bentak Mateo lagi, kini berdiri sangat dekat dengannya.
Livia menunduk, menggenggam kemeja itu erat-erat sambil menahan isak. Perutnya yang masih muda kehamilannya terasa sedikit menegang karena stres, tapi ia mencoba tetap berdiri tegak.
Mateo masih memandang dengan tatapan penuh kebencian, lalu menggeleng pelan dengan nada muak, "Kau bahkan tidak pantas jadi pembantu, apalagi istri."
Tanpa berkata apa-apa lagi, ia melangkah keluar dari kamar, meninggalkan Livia yang berdiri mematung sambil memeluk kemeja rusak itu dengan air mata yang akhirnya jatuh juga.
Mateo melangkah masuk ke gedung kantornya dengan wajah gelap dan ekspresi dingin. Jas hitam yang membalut tubuh tegapnya tampak rapi, namun aura murka yang mengelilinginya membuat siapa pun yang melihat langsung menunduk, enggan menatap lebih lama.
Langkah sepatunya menghentak lantai marmer, suara pantulannya menggema di sepanjang lorong kantor. Setiap hentakan seperti peringatan hari ini bukan hari yang baik bagi Mateo Velasco.
Para karyawan yang berpapasan buru-buru menyingkir, memaku pandangan ke lantai. Tidak ada sapaan, tak ada senyum basa-basi. Semua tahu, jika Mateo datang dengan tatapan seperti itu, berarti badai akan segera datang. Dan cepat atau lambat, akan ada yang menjadi sasaran ledakannya.
Di ruangannya, sang asisten hanya berdiri kaku di ambang pintu, tak berani menawarkan kopi seperti biasa. Suasana mencekam, udara terasa berat. Hanya suara lembaran berkas yang dibanting ke meja dan napas berat Mateo yang terdengar.
Hari itu, kantor seakan berdiri di atas ranjau emosi semua hanya menunggu siapa yang pertama menginjaknya.
Mateo berusaha tetap fokus menatap layar laptop di depannya. Ia tak ingin mood buruknya mengacaukan konsentrasi dan membuat pekerjaannya berantakan. Tangannya terus mengetik, namun wajahnya tegang, jelas sekali ia sedang menahan emosi.
Tiba-tiba, pintu ruangannya terbuka tanpa ketukan.
Mateo langsung mendongak, tatapannya tajam menghujam dua pria yang baru saja masuk.
“Wah, kayaknya kita salah waktu nih masuk. Macan-nya lagi siap menerkam,” celetuk Justin dengan senyum canggung.
Nathan hanya terkekeh santai, langsung menjatuhkan tubuhnya di sofa, seolah tak peduli dengan suasana hati Mateo yang sedang tidak baik.
Mateo mengerucutkan bibirnya, lalu bertanya dingin, “Ada urusan apa?”
“Cuma pengen jengukin lo aja,” jawab Justin, masih dengan nada bercanda yang kaku.
“Gue nggak sakit. Jadi nggak perlu dijenguk,” balas Mateo ketus, kembali mengalihkan pandangannya ke layar laptop di depannya.
Justin dan Nathan saling bertukar pandang lalu tersenyum kikuk, tapi keduanya tetap bertahan di ruangan, enggan beranjak pergi.
"Malam ini Antonio mengadakan pesta ulang tahun. Mau ikut?" tanya Justin.
"Tidak. Aku sibuk. Kalian saja," jawab Mateo dingin tanpa menoleh.
"Ada Laura di sana. Bukankah kau masih merindukannya?" goda Nathan, menyebut nama wanita yang dulu mengisi hati Mateo.
"Katanya, dia hanya beberapa hari di sini sebelum kembali ke Amsterdam," tambah Justin santai sambil menghisap rokok.
Mendengar nama itu, Mateo sempat terdiam. Jemarinya yang sedari tadi mengetik, perlahan berhenti. Laura… cinta pertama yang harus ia lepaskan karena perbedaan status sosial. Tapi Mateo segera menggeleng, menepis bayangan masa lalu.
"Aku tidak tertarik. Dia pasti datang bersama selingkuhannya," ucap Mateo, nadanya ketus.
"Sayangnya, 'selingkuhan' itu sekarang sudah resmi menjadi suaminya, bro," sahut Nathan, tertawa kecil.
"Move on lah, kisah itu sudah bertahun-tahun lalu. Atau bahkan, mungkin Laura sudah lupa kalau dia pernah pacaran denganmu."
Justin terkikik geli, menikmati ekspresi kesal yang terlukis di wajah Mateo.
Mateo mengendus sebal, menatap tajam sahabatnya itu seolah ingin melempar benda apa pun yang ada di meja kerjanya. Namun, ia terlalu malas untuk meladeni candaan tidak penting itu.
"Keluar, sebelum aku benar-benar melempar kalian," ancam Mateo dengan suara dingin.
Nathan terkekeh santai, lalu berdiri dari sofa. "Baiklah, baiklah. Santai saja, bro. Kau butuh refreshing."
Justin ikut bangkit, menepuk bahu Mateo sambil tersenyum jahil. "Kalau berubah pikiran, kau tahu di mana harus menemukan kami."
Keduanya kemudian keluar dari ruang kerja Mateo, membiarkan pria itu kembali bergelut dengan pikirannya sendiri dan bayangan masa lalu yang ternyata masih mengusik.
Mateo bersandar di kursinya, menatap kosong ke arah jendela besar. Nama Laura terus bergema di kepalanya, membawa luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.
Mateo sampai di rumah lebih awal dari biasanya. Tanpa banyak bicara, ia langsung berjalan menuju kamarnya. Setelah seharian berpikir, akhirnya ia memutuskan untuk datang ke pesta yang diadakan Antonio malam ini.
Dengan pakaian santai namun tetap terlihat fashionable, Mateo berdiri di depan cermin. Tatapannya menilai pantulan dirinya sendiri pria tampan dengan hidup yang menurutnya apes karena terikat pernikahan dengan wanita gemuk bernama Livia.
Mateo mengambil sisir, merapikan rambutnya dengan gerakan santai namun penuh percaya diri. Sorot matanya tajam, senyumnya sinis.
"Akan aku tunjukkan padamu, Laura. Bagaimana kau seharusnya menyesali keputusanmu meninggalkanku," ucap Mateo lirih, suaranya penuh tekad.
Mateo melangkah keluar dari kamarnya dan tanpa sengaja berpapasan dengan Livia yang baru saja selesai mengepel ruang tamu.
Tanpa peduli, Mateo terus berjalan tanpa sedikit pun melirik ke arah istrinya yang terlihat kelelahan namun tetap bekerja keras. Seolah-olah Livia hanyalah bayangan tak berarti di matanya.
Livia hanya bisa menatap nanar kepergian suaminya. Dengan lembut, ia mengelus perutnya yang mulai membuncit, usia kandungannya kini mungkin memasuki trimester kedua.
Selama masa kehamilan ini, tak sekali pun ia dibawa ke dokter untuk diperiksa. Ia hanya mengetahui keadaannya dari ucapan dokter pribadi Mateo, itupun tanpa niat perhatian dari suaminya.
Dalam diam, Livia berdoa. Ia berharap janin kecil di dalam rahimnya bisa bertahan dan lahir dalam keadaan sehat, meski dunia di sekitarnya begitu kejam.
Tak lama, suara mobil Mateo terdengar meninggalkan halaman rumah megah itu, membawa serta semua dingin dan jarak yang tak pernah benar-benar bisa dijembatani.
atau apakah tak akan ada kebahagiaan untuk livia sampai akhir..
sampai ikut lelah/Frown/