"kamu pembawa sial tidak pantas menikah dengan anakku" ucap Romlah
"aku sudah mempersiapkan pernikahan ini selama 5 tahun, Bagaimana dengan kluargaku" jawab Ratih
"tenang saja Ratih aku sudah mempersiapkan jodohmu" ucap Narti
dan kemudian munculah seorang pria berambut gondrong seperti orang gila
"diakan orang gila yang suka aku kasih makan, masa aku harus menikah dengan dia" jawab Ratih kesal
dan tanpa Ratih tahu kalau Rojali adalah pendekar no 1 di gunung Galunggung
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RR 33
Ratih didorong perlahan di atas kursi roda, tubuhnya lemah, wajahnya pucat seperti kertas. Namun anehnya, justru kondisi itu membuat Tuan Muda Renaldi Handoko semakin bernafsu. Tatapannya tak lepas dari Ratih—bukan dengan iba, tapi dengan hasrat menguasai.
Di ruangan utama, seluruh keluarga besar Lesmana telah berkumpul. Duduk paling depan adalah Darwis Lesmana, anak sulung yang dikenal bijaksana, diapit oleh istrinya, Hj. Nurlela. Darwis sudah lama menarik diri dari urusan bisnis keluarga dan memilih hidup sederhana. Ia adalah satu-satunya yang menatap Ratih dengan iba. Tapi semua orang tahu, Darwis tidak memiliki kuasa untuk mencegah apa pun—terlebih jika sudah berurusan dengan keluarga Handoko yang dikenal tanpa belas kasihan.
Bustomi, anak kedua yang ambisius, adalah orang yang paling bersemangat menyambut perjodohan ini. Bersama istrinya Sri Wahyuni, ia mengendalikan sebagian besar bisnis keluarga Lesmana. Dalam pikirannya, Ratih bukanlah korban—melainkan alat untuk memperluas jaringan bisnis. Ia sangat disukai oleh Mita, sang matriark keluarga, karena visi dan keserakahannya yang sejalan.
Harun, anak keempat, adalah pria kejam dan tak bermoral. Ia hidup bebas tanpa pasangan, namun banyak wanita yang telah menuntutnya dan tak pernah mendapatkan keadilan. Ia adalah adik kesayangan Bustomi, karena loyalitas dan kekejamannya. Mita memilih menutup mata atas kejahatan Harun, berbeda dengan perlakuannya pada Karman, anak kelima yang justru kerap dikucilkan karena menolak cara-cara licik keluarga.
Usman, anak ketiga, loyal pada Bustomi, tapi menyimpan ambisi tersembunyi. Sayangnya, ia terlalu pengecut dan ragu-ragu, membuatnya tak pernah dipercaya sepenuhnya.
Sementara keempat adik Karman—Rohaya, Marni, Yulinar, dan Rini—lebih sibuk menjaga status sosial. Mereka menikah dengan pejabat dan pengusaha, dan nasib Ratih bukan urusan mereka. Bahkan, diam-diam ada kegembiraan kecil di hati mereka: jika Ratih “rusak,” maka saingan perempuan tercantik di keluarga akan berkurang satu.
“Selamat datang, Tuan Renaldi,” sambut Bustomi hangat, tangannya menjabat erat.
“Terima kasih, Tuan Bustomi. Semoga kesuksesan selalu berpihak pada Anda,” balas Renaldi ramah.
Ia lalu menoleh pada Mita. “Nyonya besar, Anda tampak semakin anggun. Semoga langit dan bumi senantiasa memberkati Anda.”
“Terima kasih, Tuan Muda Handoko. Merupakan kehormatan besar bagi keluarga Lesmana menerima kunjungan Anda,” jawab Mita tersenyum manis.
Renaldi menoleh pada Ratih yang duduk lemah di kursi roda. “Jadi, Nyonya besar… kapan saya bisa melangsungkan pernikahan dengan cucu Anda tercinta?” tanyanya dengan senyum menggoda.
Ratih menatap Renaldi dengan sorot mata tajam, penuh amarah dan kehinaan. Tubuhnya lemah, tangan-tangannya tak bisa digerakkan. Andai saja ia mampu berdiri, ia akan menerjang pria itu… atau meraih sebilah pisau dan mengakhiri hidupnya.
Dalam hatinya hanya ada satu nama—Rojali. Hanya dia yang berhak menyentuhnya.
“Lebih baik aku mati… daripada harus menikah dengan orang seperti ini,” ucap Ratih tegas, meski suaranya gemetar.
Harun yang berdiri di belakangnya langsung menekan pundaknya keras, mencoba membungkam keberaniannya.
“Diam,” bisiknya dingin, penuh ancaman.
Karman hanya bisa diam, tubuhnya kaku. Tanpa diketahui banyak orang, seorang anak buah Harun telah menempelkan pistol ke pinggangnya secara tersembunyi.
Harun membungkuk mendekati Ratih, lalu berbisik pelan di telinganya,
“Anak buahku sudah siap menembak ayahmu. Sekali aku beri perintah… dia mati.”
“Tuan Renaldi, sepertinya Anda harus bekerja keras untuk menaklukkan hati Ratih,” ucap Marni dengan senyum penuh arti.
“Benar, Tuan Renaldi. Ratih itu baru dari desa, jadi wajar kalau dia belum terbiasa dengan budaya dan cara hidup di kota,” ucap Sri Wahyuni dengan nada meremehkan namun tersamar senyum.
“Tak masalah, justru aku lebih menyukai yang alami dan polos,” ucap Renaldi sambil tersenyum penuh arti, matanya tak lepas dari Ratih.
“Baiklah, Tuan. Sebaiknya kita langsung membahas beberapa poin kerja sama yang sudah direncanakan,” ucap Bustomi tegas, menunjukkan bahwa fokus utamanya bukan pada pernikahan, melainkan bisnis.
Soal nasib Ratih, Bustomi sama sekali tak peduli. Baginya, perempuan itu hanyalah pion kecil dalam permainan besar yang lebih penting: kekuasaan dan perluasan jaringan bisnis keluarga.
Akhirnya, penandatanganan kerja sama antara keluarga Lesmana dan keluarga Handoko resmi terjadi. Dalam ruangan megah yang penuh formalitas, tawa dan senyum mengembang dari pihak Handoko—keluarga utama yang berdiri di puncak piramida sosial. Sedangkan keluarga Lesmana hanyalah keluarga tingkat menengah, haus akan pengakuan dan kekuasaan.
Di sudut ruangan, Karman berdiri membisu, air mata menetes tanpa bisa ia bendung. Dunia terasa kejam dan tidak adil. Baru saja putrinya, Ratih, menemukan secercah kebahagiaan bersama Rojali—pria yang mencintainya sepenuh hati. Tapi hari ini, anaknya kembali harus menanggung derita. Dipaksa menyerahkan hidupnya demi kepentingan bisnis. Ratih ditukar, seperti barang dagangan, atas nama kerja sama keluarga.
Sinta
, yang sejak tadi memperhatikan semua dengan mata berbinar, justru merasa kagum pada keluarga Handoko. Namun rasa kagumnya segera berganti iri. Lagi-lagi, Ratih menjadi pusat perhatian.
Sinta sekolah hingga sarjana, Ratih hanya lulusan sekolah dasar. Sinta rajin melakukan perawatan, Ratih tidak peduli penampilan. Tapi sejak menikah dengan Rojali, Ratih justru tampak semakin cantik dan bersinar.
“Cantik... tapi nasibnya malang,” gumam Sinta lirih, seolah ingin menghibur hatinya sendiri.
Ratih kini digiring pergi oleh anak buah Renaldi. Tubuhnya lemah, tak mampu melawan. Air matanya terus mengalir, hatinya tenggelam dalam ketakutan dan harapan. Dalam diam, ia hanya bisa berdoa—agar keajaiban datang… sebelum semuanya terlambat.
“DUARRR!”
Sebuah ledakan mengguncang seluruh bangunan. Pintu besar dari kayu jati tua hancur berkeping-keping, serpihan tajam beterbangan ke segala arah. Udara berubah mencekam, seolah malam turun di tengah siang. Aura gelap menyelimuti ruangan, dingin, membungkam, menyesakkan.
Mita yang sudah renta terjatuh di kursinya, napasnya tersengal—nyaris tak bisa bernapas. Matanya melebar penuh teror.
Dari balik kabut ledakan, sosok hitam muncul perlahan. Langkahnya tenang, tapi hawa kematian mengikutinya.
“Lepaskan istriku... kalau kalian masih ingin hidup,” suara Rojali terdengar datar, tapi dalam tiap suku katanya mengandung ancaman yang dingin membekukan darah.
Matanya langsung tertuju pada Ratih—pucat, lemah, tapi masih berusaha berdiri. Sesuatu dalam dada Rojali meledak. Dalam sekejap, tubuhnya melesat seperti bayangan.
“PLAK!”
Satu tamparan menghantam wajah pengawal Renaldi. Tubuh kekar itu terlempar seperti boneka kain, menghantam tembok dengan keras. Darah mengalir dari hidung dan telinganya.
Tanpa mengucap sepatah kata pun, Rojali membungkuk, mengangkat Ratih dengan lembut, lalu melangkah pelan tapi pasti menuju gerbang—sementara puluhan orang terpaku tak mampu bergerak, dicekam oleh teror yang tak kasat mata.
“Hentikan dia! Cepat!” teriak Renaldi panik.
Sekitar sepuluh orang pria berbadan tegap dan terlatih langsung maju menyerbu ke arah Rojali. Namun dalam pelukannya, Ratih masih tergolek lemah. Meski begitu, Rojali bergerak secepat bayangan. Tubuhnya seperti menghilang, lalu muncul kembali di sisi lain. Dalam kurang dari satu menit, semua pengawal tergeletak di lantai—merintih, pingsan, atau tak sadarkan diri. Suasana berubah jadi ladang ketakutan.
Rojali berbalik, menggenggam pergelangan tangan Ratih. Nadi istrinya terasa sangat lemah—ia tahu waktu mereka terbatas.
Tanpa ragu, ia menghampiri salah satu mobil tangki mewah milik keluarga Lesmana. Sekali tendang, tutup tangki BBM terbuka dan bensin mulai mengucur deras ke tanah. Rojali mengeluarkan korek dari sakunya—dan melemparkannya ke genangan bahan bakar.
“DUAARRR!”
Ledakan besar mengguncang halaman. Api membubung tinggi, membakar beberapa kendaraan mewah dalam sekejap.
Rojali melangkah pergi perlahan, membopong Ratih dengan tenang, tubuhnya terselimuti cahaya api dan asap pekat.
Lalu terdengar suara dingin dan menggetarkan dari balik kobaran api, menggema ke seluruh penjuru:
“Kalau sampai Ratih kenapa-napa, siapkan pemakaman kalian... besok.”
Setelah itu, ia menghilang ditelan kegelapan dan kobaran neraka buatan.
makin seru ceritanya thor
rajin" lah up thor jgn cuma satu