Zahra, seorang perempuan sederhana yang hidupnya penuh keterbatasan, terpaksa menerima pinangan seorang perwira tentara berpangkat Letnan Satu—Samudera Hasta Alvendra. Pernikahan itu bukan karena cinta, melainkan karena uang. Zahra dibayar untuk menjadi istri Samudera demi menyelamatkan keluarganya dari kehancuran ekonomi akibat kebangkrutan perusahaan orang tuanya.
Namun, tanpa Zahra sadari, pernikahan itu hanyalah awal dari permainan balas dendam yang kelam. Samudera bukan pria biasa—dia adalah mantan kekasih adik Zahra, Zera. Luka masa lalu yang ditinggalkan Zera karena pengkhianatannya, tak hanya melukai hati Samudera, tapi juga menghancurkan keluarga laki-laki itu.
Kini, Samudera ingin menuntut balas. Zahra menjadi pion dalam rencana dendamnya. Tapi di tengah badai kepalsuan dan rasa sakit, benih-benih cinta mulai tumbuh—membingungkan hati keduanya. Mampukah cinta menyembuhkan luka lama, atau justru semakin memperdalam jurang kehancuran?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fafacho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12.
Saat ini Zahra tengah duduk sendiri di depan asrama milik Samudera. Dia melihat Sekeliling dimana khas lingkungan tentara. Dia tak pernah menyangka sebelumnya kalau Samudera seorang tentara tapi setelah melihat sendiri tempat dinas pria itu membuatnya semakin sedikit kagum.
Bagaimana tak kagum dengan Samudera saat ini, pria itu anak orang kaya dan keluarganya memiliki perusahaan sendiri tapi ternyata dia memilih hidup sebagai seorang abdi negara yang gajinya tak seberapa. Apalagi saat ini melihat asrama Samudera yang sederhana padahal pria itu memiliki rumah yang cukup besar.
"Mas Samudera berarti orangnya sederhana, aku nggak nyangka orang segalak itu ternyata nggak menyombongkan kekayaannya" batin Zahra.
Di tengah dia yang sedikit melamun sambil memikirkan Samudera, ponselnya yang berada di dalam tas slempang nya kini berbunyi.
Zahra langsung mengambil ponselnya tersebut, dia melihat layar ponsel nya saat ini.
Tertulis nama Zera disitu, Zahra diam tak kunjung menjawab panggilan dari adiknya itu. Hingga dering ponsel itu berhenti Zahra tak berniat mengangkatnya, panggilan kedua masuk dari Zera.
"sebenarnya kenapa dia menelponku" gumamnya tak habis pikir dengan adiknya tersebut. Akhirnya dengan terpaksa Zahra mengangkat panggilan tersebut.
"Iya halo, kenapa Zera" ucap Zahra dengan dingin.
"mbak kamu dimana? " tanya Zera di seberang sana.
"kenapa? " Zahra tak menjawab pertanyaan Zera itu, dia malah balik bertanya.
"Mbak, aku pengen ngomong lagi sama kamu. kamu serius mau nikah dengan Samudera? dia itu.. " belum sempat Zera bicara di seberang sana ada yang bicara.
"siapa Zera? mbakmu? " terdengar suara seorang pria bertanya pada Zera.
"iya yah, ini mbak Zahra" jawab Zera.
"ya sudah sini ayah mau ngobrol dulu sama mbak mu" jawab Zulhan terdengar mengambil alih ponsel Zera.
"Halo Zahra, ini ayah" ucap Zulhan.
"iya yah, kenapa? " jawab Zahra dengan suara yang cukup dingin seperti dia menjawab ucapan Zera tadi.
"gimana sidang nikahnya lancar, kamu nggak buat masalahkan. Kamu tidak membuat malu calon suamimu kan" terdengar nada yang tidak mengenakkan bagi Zahra.
Zahra jelas sedikit tersinggung dengan ucapan itu.
"apa bagi ayah aku selalu membuat masalah, Zera yang terus membuat masalah tapi di mata Ayah aku yang membuat masalah. " tukas Zahra yang kesal.
"kamu ini kenapa? ayah bicara baik-baik sama kamu malah jawaban kamu seperti itu"
Zahra diam saja, dia tak bicara.
"Kamu itu anak tidak tahu di untung, nggak sopan sama orang tua. "
"kalau aku nggak sopan sama orang tua nggak mungkin aku menghargai ayah sama bunda. Ayah bisa nggak sih nggak usah ngatain aku anak yang nggak tahu di untung, kalau aku anak yang nggak tahu di untung nggak mungkin aku berjuang mati-matian demi kalian" ucap Zahra, suaranya mulai serak menahan tangis. Lagi-lagi ucapan ayahnya menyakiti hatinya.
"udahlah yah, kalau ayah cuman bisa marah padaku. lebih baik aku matikan, ayah mau ngomong sama aku karena uang kan. Nanti uang nya aku kirim, atau nggak besok saat aku sudah pulang" tukas Zahra mersa marah dengan ayahnya. Dia langsung mematikan panggilannya begitu saja. Dan dia menggenggam benda pipih tersebut, air matanya sudah tidak bisa ia bendung lagi. Dia terisak sesegukan meskipun sesekali ia menahannya agar tidak terdengar, untung saja saat ini jalanan Batalyon sepi tak ada orang.
Tapi ternyata Samudera yang berada di dalam rumah melihatnya. pria itu tadi akan keluar menemui Zahra tapi dia menghentikan langkahnya saat mendengar Zahra tengah bicara dengan Zera hingga akhirnya ia mendengar semua ini.
.................
Samudera duduk diam di bangku kantin, dia kini tengah makan siang di sana. Dia diam sambil mengingat dimana Zahra menangis tadi.
"Kenapa dia sampai sesakit itu saat menangis, apa dia tidak dekat dengan ayahnya" batin Samudera sambil memikirkan hal tersebut.
"Woy bang, ngapain" hingga datang Yanuar yang mengambil duduk di depannya.
Samudera langsung tersadar dan melihat kearah Yanuar. Ia juga kembali menyendokkan sendoknya ke piring.
"nggak lihat saya ngapain" ucap Samudera singkat.
"ya liat, maksud saya lagi ngelamunin apa. Makan siang kok sendiri, calon istri mana? " tanya Yanuar.
"di asrama" jawab Samudera sambil menyendokkan nasi ke mulutnya
"kok nggak kamu ajak bang" tanya Yanuar lagi.
Samudera langsung melihat kearah Yanuar tatapannya cukup tajam membuat Yanuar sedikit ngeri.
"eitts, biasa aja bang. Saya cuman tanya" ucap Yanuar kemudian.
"kamu nggak lihat saya lagi makan, jangan ajak saya bicara bisa" tukas Samudera.
"ya maaf bang, masa tanya aja langsung sensi"
Samudera tak menggubris nya, dia mengunyah makananya sambil melihat sekitar.
"oh iya bang, saya mau bicara" ucap Yanuar.
"bicara apa? " tanya Samudera penasaran.
"Saya kok kayak nggak asing sama wajah mbak Zahra ya bang. "
"wajahnya pasaran, makanya kamu tidak asing dengan wajahnya" jawab Samudera datar.
"bukan itu bang, tapi aku memang pernah lihat deh kayaknya" ucap Yanuar sedikit yakin.
"udahlah nggak usah bahas Zahra" ucap Samudera yang malas membahas soal Zahra. Kalau dia membahas Zahra maka wajah Zahra akan terngiang lagi di pikirannya.
"maaf nih bang, kayaknya saya memang pernah lihat mbak Zahra deh. Dia dulu kayaknya pacar sepupu jauh saya. Soalnya saya pernah ketemu dia di acara keluarga. Sepupu saya ngajak mbak Zahra" ucap Yanuar cukup yakin.
Samudera yang tadinya hanya fokus makan, dia langsung melihat kearah juniornya tersebut.
"Kapan? " tanya Samudera.
"sekitar setahun atau dua tahun lalu bang. Tapi abang nggak usah khawatir saudara saya itu setahu saya sudah nikah" ucap Yanuar.
Samudera diam saja tak segera merespon ucapan Yanuar tersebut.
"Dia sempat punya pacar, " gumam Samudera.
"iya kenapa bang? " tanya Yanuar yang sedikit mendengar apa yang di ucapkan Samudera.
Samudera seketika melihat kearah Yanuar.
"nggak pa-pa" jawab Samudera kemudian.
"bang Sam, kenal sama mbak Zahra berarti baru ya bang. Seingat saya dulu kan abang juga punya pacarkan tapi.. "
"nggak usah bahas masa lalu, " Samudera langsung memotong ucapan Yanuar.
"siap bang" Yanuar langsung menjawab karena takut melihat tatapan Samudera yang berubah cukup serius.
"kamu sudah mengawasi Zahra tadi? "
"siap sudah bang. Tadi mbak Zahra keliling batalyon, dia jalan-jalan melihat sekitar" jawab Yanuar.
"sudah itu saja yang dia lakukan"
"iya bang"
"dia nangis atau tidak? " tanya Samudera.
"nangis? nggak deh kayaknya. Memang mbak Zahra tadi berantem sama abang makanya nangis"
"nggak usah di bahas, dan saya tidak sedang berantem dengan dia " pungkas Samudera.
Yanuar menatap Wajah Samudera, setengah percaya setengah tidak.
"nggak usah natap saya begitu" tukas Samudera.
"Siap bang, saya salah" ucap Yanuar.
Samudera kembali fokus makan sedangkan Yanuar berdiri dari duduknya untuk memesan makanan karena tak terasa perutnya juga lapar butuh diisi.
***