Warning!
Bagi yang berjantung lemah, tidak disarankan membaca buku penuh aksi laga dan baku tembak ini.
Sejak balapan berdarah itu, dunia mulai mengenal Aylin. Bukan sekadar pembalap jalanan berbakat, tapi sebagai keturunan intel legendaris yg pernah ditakuti di dunia terang & gelap. Lelaki yg menghilang membawa rahasia besar—formula dan bukti kejahatan yg diinginkan dua dunia sekaligus. Dan kini, hanya Aylin yg bisa membuka aksesnya.
Saat identitas Aylin terkuak, hidupnya berubah. Ia jadi target. Diburu oleh mereka yg ingin menguasai atau melenyapkannya. Dan di tengah badai itu, ia hanya bisa bergantung pada satu orang—suaminya, Akay.
Namun, bagaimana jika masa lalu keluarga Akay ternyata berperan dalam hilangnya kakek Aylin? Mampukah cinta mereka bertahan saat masa lalu kelam mulai menyeret mereka ke dlm lintasan berbahaya yg sama?
Aksi penuh adrenalin, intrik dunia bawah, dan cinta yg diuji.
Bersiaplah menembus "LINTASAN KEDUA"—tempat di mana cinta & bahaya berjalan beriringan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Menembak atau Jadi Sasaran
RUANGAN GELAP — MARKAS ORGANISASI
Cahaya layar komputer memantul ke wajah seorang pria berjas hitam. Matanya menyala tajam dalam keremangan ruangan. Darian, tangan kanan pemimpin organisasi, menatap layar dengan sorot tajam seperti elang membidik mangsa.
“Semua liontin sudah disita pihak kepolisian,” ucap asistennya. “Tapi masing-masing pemilik mengaku menemukannya setelah pulang dari Indonesia. Ada yang dari dalam koper, dari ransel, bahkan ada yang menemukan terselip di kursi bus.”
Darian menyentuh dagunya, berpikir. “Putar ulang rekamannya dari kamera jalan itu.”
Beberapa detik kemudian, layar memperlihatkan rekaman CCTV dari sebuah sudut jalan. Seorang wanita berambut pendek kecokelatan, kusam, berkacamata bundar besar, mengenakan hoodie longgar dan celana jeans longgar, berjalan ke sebuah bengkel perhiasan tua. Tompel mencolok terlihat di bawah mata kanannya.
Meski kualitas gambar tidak sempurna, wajah wanita itu cukup jelas ketika ia menoleh sekilas ke arah kamera.
Darian memicingkan mata. “Asal usul liontin-liontin itu pasti dari tempat ini. Ayah pemilik bengkel ini dikenal sebagai pembuat perhiasan pesanan untuk kalangan atas. Dan si anak… dia melanjutkan usaha itu, hanya melayani pesanan tertutup dari kalangan tertentu.”
Ia meraih berkas bertuliskan Kuswara, lalu melemparkannya ke atas meja. “Benar atau tidak dugaan kita, kita mulai dari sini. Siapkan tim. Kita ke lokasi.”
GUDANG TUA DI PINGGIRAN KOTA — MALAM
Derak sepatu hak tinggi bergema di lantai beton. Aylin melangkah masuk, tubuhnya tersembunyi di balik bayang-bayang, menyatu dengan kelam malam. Rambut pirang panjang dari wig-nya bergoyang pelan setiap langkahnya. Bibir merah menyala menyatu sempurna dengan gaun ketat berwarna gelap.
Tangannya menyentuh satu per satu senjata kecil yang tertata di meja reyot. Setiap sentuhan seolah membangkitkan kenangan masa lalu, saat ia masih berada di jalanan… bukan sebagai wanita glamor, tapi sebagai ratu aspal yang ditakuti.
"Senja merah terbakar api," gumamnya lirih, sebuah sandi lama.
Seseorang muncul dari balik tumpukan peti tua. Pria itu mengenakan hoodie lusuh, wajahnya setengah tertutup bayangan.
“Ini beneran lo, Ratu?” tanyanya sambil terkekeh. “Penampilan lo sekarang… kayak bidadari malam. Gue rasa gue jatuh cinta pada pandangan pertama, Tante cantik.”
Aylin memutar mata malas. “Tutup mulut lo, Jek. Dan jaga mata lo kalau lo masih pengen pake dua-duanya.”
“Oke, oke,” Jek mengangkat tangan. “Masih galak kayak dulu. Gue suka.”
Aylin melangkah ke arahnya. “Gue nggak butuh senjata berat. Yang penting akurat, ringkas, bisa gue sembunyiin di paha atau pinggang.”
Jek mengambil satu pistol kecil, menyerahkannya. “Lo yakin? Mau masuk ke jalur ini?”
Tatapan Aylin mengeras. “Gue nggak masuk karena pengen. Tapi kadang, pilihan nggak datang dalam bentuk pintu. Kadang, lo cuma bisa jatuh… atau bertarung.”
Mereka saling pandang beberapa detik. Lalu Jek tertawa pendek.
“Kalau gitu, Ratu... selamat datang ke neraka.”
BEBERAPA MENIT KEMUDIAN
Aylin duduk di kursi lipat, tangan cekatan membongkar dan memasang kembali pistol kecil yang baru diterimanya. Setiap klik dan gesekan logam terdengar seperti denting waktu yang terus berdetak menuju bahaya.
Jek berdiri tak jauh dari situ, mengamati dengan ekspresi serius. Wajah bercandanya menghilang, diganti sorot mata pria yang tahu betul dunia gelap tempat mereka akan melangkah.
“Kabar yang gue dapet terakhir…” suara Jek lirih, “ada tiga orang yang udah ‘hilang’ sejak mulai nyari liontin itu. Tiga. Dan salah satunya punya akses ke sistem polisi.”
Aylin menghentikan gerakannya sejenak. “Berarti ada yang dalam banget mainnya. Bukan cuma mafia lokal.”
“Bukan. Dan ini lebih dari sekadar liontin. Kayaknya… ada sesuatu di balik liontin-liontin itu. Entah data, entah akses, entah kode. Gue belum tahu pasti.”
Aylin berdiri, memasukkan senjata ke saku dalam jaket kulit hitam yang kini menggantikan gaun ketatnya. Dia seperti berganti kulit—dari wanita glamor menjadi sosok bayangan yang berbahaya.
“Gue nggak mau masuk ke dalam lingkaran mereka,” katanya dingin." Tapi gue nggak punya pilihan.”
Jek menghela napas panjang. “Lo sadar lo nggak punya banyak backup 'kan?”
Aylin menatap Jek, tajam. “Gue nggak butuh backup. Yang gue butuh… cuma informasi yang akurat, senjata yang bisa diandalkan, dan satu hal…”
“Apa?”
“Seseorang yang siap ngeberesin tubuh gue kalau gue gagal.”
Jek tertawa getir. “Lo emang belum berubah.”
Langkah Aylin meninggalkan gudang menggema berat. Angin malam menusuk, membawa dingin yang terasa asing. Di kejauhan, lampu kota berkedip seperti tahu bahwa badai sedang bergerak ke arah mereka.
Dan Aylin... adalah badai itu.
Langkahnya semakin jauh, menyatu dengan bayangan di lorong gudang yang mulai ditelan gelap. Jek masih berdiri di tempat, menatap punggung perempuan itu—tegap, tapi jelas menyimpan beban. Kata-katanya masih terngiang di telinga Jek, dingin namun penuh luka: "Gue nggak punya pilihan."
Jek menarik napas panjang. Dia bukan cewek biasa lagi. Tapi dia juga bukan pembunuh. Bukan alat.
"Lo masih terlalu bersih buat dunia ini, Lin," gumam Jek pelan, seakan Aylin masih bisa dengar.
Matanya terpaku pada satu titik di lantai, lalu pikirannya menyeretnya kembali ke masa lalu.
Delapan tahun lalu.
Seorang Aylin remaja berdiri mematung, tangan kecilnya gemetar menatap pistol di atas meja. Pistol itu dingin. Mengerikan. Asing. Di belakangnya, Mata Elang berdiri tenang, menyilangkan tangan.
Jek, waktu itu masih muda dan penuh idealisme, berdiri di sampingnya dengan gelisah. “Kenapa kamu ngajarin dia, Elang?”
"Karena kalau bukan kita, nanti yang ngajarin dia bisa lebih jahat dari kita,” jawab pria itu datar.
“Dia cuma anak gadis, brengsek! Harusnya dia main boneka, bukan megang Glock!”
Glock adalah merk pistol semi-otomatis yang terkenal dan banyak di gunakan di seluruh dunia.
Mata Elang menoleh. Tatapannya tajam, tak menggertak tapi juga tak memberi ruang kompromi. “Apa kau siap tanggung jawab kalau suatu hari nanti dia mati karena nggak bisa lindungi dirinya sendiri?”
Aylin kecil tetap diam, tapi napasnya terdengar tak stabil.
Kembali ke Sekarang.
Jek menghela napas pelan. “Lo udah jauh, Lin. Tapi bagian dari lo yang dulu… semoga nggak ikut mati di jalan yang lo pilih sekarang.”
Ada sesuatu yang dingin menjalar di dadanya. Bukan karena angin malam, tapi karena kekhawatiran. Karena dia tahu… saat Aylin benar-benar menarik pelatuk itu untuk bertahan hidup—itulah garis yang nggak bisa dia lewati kembali.
Sementara itu, Aylin kini berdiri di rooftop gedung tua. Malam mengelilinginya, dingin, sunyi. Tangannya menggenggam pistol yang ia ambil dari Jek. Di lehernya, liontin itu menggantung—misteri yang ditinggalkan sang kakek.
Dan ingatannya kembali menyeretnya...
Delapan Tahun Lalu.
Aylin masih remaja, berdiri kaku. Ketakutan memaku langkahnya. Tapi Mata Elang hanya menatapnya, suaranya tenang tapi menghantam keras:
“Lihat matanya,” ucap Mata Elang, menunjuk ke arah pistol yang tergeletak di meja, dingin dan membisu. “Dia udah tahu dunia ini nggak pernah adil—dan nggak akan pernah jadi adil.”
Ia melangkah mendekat. Suaranya berubah dingin, seperti peluru yang belum ditembakkan.
“Ambil pistol itu, Lin. Karena di dunia yang penuh kekacauan, kau cuma punya dua pilihan: menembak… atau jadi sasaran.”
Aylin perlahan meraih pistol itu dengan kedua tangan. Napasnya masih gemetar, tapi dia mencoba menenangkan diri.
“Tarik napas. Tahan. Fokus bukan pada pelurunya, tapi pada niatnya,” ujar Mata Elang di sampingnya.
"Mata Elang...aku nggak mau hidup kayak gini," suara Aylin bergetar, nyaris tak terdengar.
"Kamu nggak hidup seperti ini. Kamu disiapkan. Karena dunia kadang nggak ngasih waktu buat kamu bersiap."
Aylin menunduk. Air mata menggantung di sudut matanya.
“Kakek maksa aku... Aku cuma cewek biasa. Kenapa harus belajar bunuh orang?”
“Karena cewek biasa akan jadi korban kalau nggak siap,” ucapnya datar. “Kamu bukan diciptakan buat nyerang. Tapi kadang, satu-satunya cara bertahan... adalah nyerang duluan.”
Hening sesaat. Lalu…
Dor!
Tembakan pertama Aylin mengenai lingkar tengah papan target.
Kembali ke Saat Ini
Aylin membuka matanya. Tatapannya tajam, tidak ada lagi gemetar di tangan. Ia meraih liontin di lehernya, menggenggamnya seolah nyawa kakeknya masih tersimpan di dalamnya.
“Kakek... aku nggak tahu apa yang Kakek sembunyikan di balik liontin ini, tapi kalau Kakek percaya aku bisa buka rahasia ini demi kebaikan… maka aku akan melakukannya. Meski itu berarti aku harus jadi badai.”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Tim tidak boleh sembarangan menyentuh dinding bisa berakibat fatal.
Pasukan Black Nova dengan Tereza dan pasukan Balthazar dengan pria bertato tribal sudah menuju jalur yang Aylin dan Tim lalui. Semoga ada mahkluk yang bangkit lagi untuk mengacaukan dua musuh tersebut biar kocar kacir /Facepalm/
Semoga segera ditemukan formula tersebut secara yang berhak sudah ditempat yaitu Aylin.
tamat 1 musuh Aylin
Balthazar menginginkan formula didapatkannya lebih dulu wkwkwk...yang masuk ke area penyimpanan formula Aylin dan tim, gimana Balthazar mau lebih dulu mendapatkannya.
Pria bertopeng ini seakan sebagai penadah saja wkwkwk....menunggu di hasil akhir /Facepalm//Facepalm/
Kalau kapal selam Black Nova dan kapal selam Balthazar benar-benar tabrakan tamat ya ...masih aman tidak tabrakan/Facepalm/
Pasukan Black Nova meluncur keluar dari kapal selam.
Pasukan Balthazar disuruh Balthazar ikut keluar dari kapal selam mengikuti apa yang dilakukan pasukan Black Nova. kurang kreatif ini Balthazar /Facepalm//Facepalm//Facepalm/
Dengerin tuh Neil apa yang dijelaskan sama Kazehaya yang pernah bekerja di Laboratorium. Memang jalannya harus kembali ke reruntuhan dulu Neil...emosi amat nih pak tua.
Tanpa peta ya tidak tahu di mana letak formula kedua. Neil ini menyebalkan sepertinya ada maksud tersendiri. Kazehaya jelas setia sama Wardana terbukti dari awal mendampingi Aylin. Neil kan baru muncul di sesi yang Aylin mesti butuh perlindungan dan Andi-lah yang ditunjuk melindungi Aylin. Kazehaya juga tahu medannya yang saat ini mereka berada. Aylin tepat meminta Kazehaya yang memimpin mereka saat ini.
Dua kelompok musuh sudah sampai juga dilokasi Aylin dan tim berada, bahkan turun menyelam benar-benar niat banget untuk sama-sama menguasai formula /Facepalm/.
Berat ya untuk mendapatkan sesuatu yang berguna bagi keselamatan dunia, Wardana merepotkan cucunya ini bahkan mempertaruhkan nyawa Aylin dan tim wkwkwk