"Aku ingin kau menjadi orang yang menyusuinya."
Sienna menatap pria di hadapannya dengan mata membelalak, yakin bahwa ia pasti salah dengar. “Maaf, apa?”
Arsen Ludwig, pria yang baru diperkenalkan sebagai sponsor klub ice skatingnya, menatapnya tanpa ekspresi, seolah yang baru saja ia katakan adalah hal paling wajar di dunia.
“Anakku, Nathan. Dia menolak dot bayi. Satu-satunya cara agar dia mau minum susu adalah langsung dari sumbernya.”
Jantung Sienna berdebar kencang.
“Aku bukan seorang ibu. Aku bahkan belum pernah hamil. Bagaimana bisa—”
“Aku tahu,” potong Arsen cepat. “Tapi kau hanya perlu memberikan dadamu. Bukan menyusuinya secara alami, hanya membiarkan dia merasa nyaman.”
Ini adalah permintaan paling aneh yang pernah ia terima. Namun, mengapa ia tidak langsung menolaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alensvy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
...****************...
Aku menyerahkan Nathan ke Arsen dengan hati-hati, memastikan dia nggak kaget dan tetap nyaman di pelukan ayahnya. Tapi pas aku mau menarik tanganku, sesuatu terjadi.
Tangan Arsen yang tadi bergerak untuk menopang Nathan, entah gimana, malah mencakup milikku.
Aku bengong.
Arsen juga langsung membeku.
Beberapa detik kami cuma diam, sama-sama mencerna kejadian barusan.
Lalu—
"YAAMPUN, ARSEN!!" Aku langsung mundur dengan ekspresi horor. "TANGAN KAU NGAPAIN?!"
Arsen yang juga tampak panik buru-buru mengangkat tangannya ke udara.
"Sienna, sumpah, itu nggak sengaja! Aku nggak ada niat aneh-aneh!"
Aku melotot. "Nggak sengaja, nggak sengaja! Emangnya tangan kau nggak punya kontrol?!"
"Aku lagi fokus pegang Nathan, mana tahu—"
"ALASAN! ASTAGA, AKU MERASA TERCEMAR!" Aku mengacak-acak rambutku dengan frustasi.
Arsen menutup wajahnya dengan satu tangan. "Tolong, jangan dibesar-besarkan…"
Aku mendengus kesal, pipiku panas bukan main. Aku menudingnya.
"Denger ya, kau nggak boleh deket-deket aku lagi kalau pegang anak kau!"
Arsen menghela napas panjang. "Iya, iya. Aku minta maaf."
Aku masih mendelik, tapi akhirnya memutar badan menuju pintu. "Aku pulang! Dan jangan hubungi aku dulu!"
Arsen nggak membalas. Mungkin dia tahu kalau aku masih butuh waktu buat menenangkan diri.
Tapi satu hal yang pasti—aku pulang dengan wajah merah padam dan jantung masih berdebar nggak karuan.
...****************...
Arsen terduduk di sofa dengan satu tangan menutupi wajahnya, sementara Nathan sudah tertidur pulas di pelukannya.
"Aku baru aja bikin masalah, kan?" gumamnya sendiri.
Dia menghela napas panjang, mencoba mengabaikan panas yang masih tersisa di telapak tangannya. Sungguh, itu beneran nggak sengaja. Tapi ekspresi kaget dan panik Sienna barusan malah terus terngiang di kepalanya.
"Aduh…" Arsen memijat pelipisnya.
Dia bukan tipe pria yang gampang panik, tapi kali ini beda. Bukannya nggak pernah menyentuh perempuan sebelumnya, tapi Sienna… entah kenapa, reaksinya bikin dia ikut salah tingkah.
Nathan menggeliat kecil dalam pelukannya, membuat Arsen sedikit mengendurkan dekapannya.
"Kau juga pasti kaget, ya?" Arsen menatap wajah kecil anaknya.
Dia lalu mendesah, mengingat kembali bagaimana Sienna langsung kabur dengan wajah merah padam.
"Gimana caranya aku ngajak dia ke Milan kalau situasinya jadi kayak gini?" gumamnya sambil menyandarkan kepala ke sofa.
Sial.
Dia beneran merasa bersalah. Tapi di sisi lain… dia juga nggak bisa bohong kalau kejadian tadi bikin jantungnya berdebar sedikit lebih cepat.
...****************...
Begitu masuk apartemen, aku langsung menjatuhkan diri ke sofa.
"Astaga… apa yang baru aja terjadi?" gumamku sambil menutup wajah dengan kedua tangan.
Otakku masih memutar ulang kejadian tadi. Rasanya kayak mimpi. Atau lebih tepatnya, mimpi buruk!
Jantungku masih berdebar nggak karuan, bukan karena romantis, tapi karena kaget setengah mati! Nggak nyangka Arsen bisa sekeceroboh itu. Dan yang paling menyebalkan, aku malah diam bengong selama beberapa detik sebelum akhirnya ngamuk.
Aku menendang udara di depanku, mengingat bagaimana tadi aku cuma bisa berdiri mematung sebelum akhirnya membentaknya. "Bodoh! Kenapa aku nggak langsung nendang dia aja, sih?"
Aku mengacak rambutku dengan frustasi. Pikiranku udah berusaha buat nggak mengingatnya, tapi setiap kali aku mengedipkan mata, memori itu kembali menyerang. Rasanya kayak dejavu yang nggak diundang.
"Aduh, ini beneran kejadian absurd banget," desahku sambil menjatuhkan kepala ke sandaran sofa.
Aku menatap langit-langit apartemenku, berharap gravitasi bisa menarik semua pikiranku ke bawah dan membuangnya jauh-jauh. Tapi sayangnya, nggak semudah itu.
Aku masih bisa merasakan sensasi aneh di kulitku. Pipiku mulai terasa panas setiap kali membayangkan ekspresi Arsen setelah insiden itu. Bukan malu, lebih ke… kesel. Kesel banget!
Aku melompat dari sofa, melepas jaket dan melemparkannya asal ke kursi. Aku harus mandi, makan, terus tidur. Besok aku ada jadwal latihan, dan aku nggak bisa buang-buang waktu buat mikirin hal nggak penting kayak gini.
Tapi tetap aja…
Aku berjalan ke kamar sambil terus menggerutu. "Kenapa harus dia yang nyentuh? Kenapa harus aku yang sial?"
Setelah sampai di kamar, aku langsung mencari baju tidur di lemari. Sambil menarik napas panjang, aku berusaha menenangkan diri.
"Oke, Sienna. Lupakan aja. Anggap nggak pernah terjadi," ucapku ke diri sendiri.
Tapi dalam hati, aku tahu kalau kejadian ini nggak bakal semudah itu untuk aku lupain.
...****************...
Begitu keluar dari kamar mandi, aku meraih ponsel di atas nakas. Layarnya menyala, menampilkan panggilan masuk dari nomor tak dikenal.
Aku mengernyit. Siapa lagi ini?
Tanpa pikir panjang, aku menggeser ikon hijau dan menempelkan ponsel ke telinga.
“Halo?” tanyaku santai.
“Si?”
Suara itu langsung bikin jantungku mencelos. Peganganku di ponsel mengerat, sementara napasku tercekat di tenggorokan.
Aku kenal suara ini. Suara yang dulu pernah begitu akrab di telingaku. Suara yang pernah membuatku jatuh, sekaligus menghancurkanku.
Aku memejamkan mata, berusaha menyangkal kemungkinan terburuk. Tapi aku tetap bertanya, meskipun dalam hati aku sudah tahu jawabannya.
“Ini siapa?” tanyaku, pura-pura nggak tahu.
Dia tertawa kecil, ringan, seolah yang terjadi di masa lalu itu nggak ada artinya. Seolah dia nggak pernah menghilang dan meninggalkanku dengan luka yang belum sepenuhnya sembuh.
“Kamu masih nggak hapal suara aku?”
Aku menggigit bibir, mencengkeram ujung selimut.
“Rizky?” tanyaku pelan, meski aku udah tahu jawabannya.
“Hm,” sahutnya, terdengar puas. “Akhirnya, kamu ingat juga.”
Aku membatu. Pikiranku mendadak kosong. Aku nggak tahu harus bilang apa. Harus marah? Harus menutup telepon? Atau… harus pura-pura biasa aja?
Tapi sebelum aku sempat menentukan reaksi, dia sudah bicara lagi.
“Kita bisa ketemu?”
.
.
.
Next 👉🏻