Btari harus menjalani pernikahan kontrak setelah ia menyetujui kerja sama dengan Albarra Raditya Nugraha, musuhnya semasa SMA. Albarra membutuhkan perempuan untuk menjadi istru sewaan sementara Btari membutuhkan seseorang untuk menjadi donatur tetap di panti asuhan tempatnya mengajar.
Sebenarnya Btari ragu menerima, karena hal ini sangat bertolak belakang dengan prinsip hidupnya. Apalagi Btari menikah hanya untuk menutupi skandal Barra dengan model papan atas, Nadea Vanessa yang juga adalah perempuan bersuami.
Perdebatan selalu menghiasi Btari dan Barra, dari mulai persiapan pernikahan hingga kehidupan mereka menjadi suami-istri. Lantas, bagaimanakah kelanjutan hubungan kedua manusia ini?
Bagaimana jika keduanya merasa nyaman dengan kehadiran masing-masing?
Hingga peran Nadea yang sangat penting dalam hubungan mereka.
Ini kisah tentang dua anak manusia yang berusaha menyangkal perasaan masing
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LOGIKA DAN PERASAAN
"Aku nggak jadi pulang hari ini, Bar. Suamiku menyusul ke Paris tadi pagi. Jadi aku harus nemenin dia."
Begitulah isi pesan dari Nadea tadi siang. Barra mengepal tangan karena kesal. Lagi-lagi ia dijadikan nomor kesekian dalam hidup Nadea. Lama-lama ia seperti kehilangan sosok Nadea yang dulu. Kini kekasihnya lebih sibuk dengan dunia modeling dan statusnya sebagai seorang istri. Apakah ini artinya perjuangan Barra mempertahankan Nadea memang sia-sia? Perempuan itu semakin sulit dijangkau. Semakin lama digenggam semakin sakit pula yang dirasakan.
Buru-buru Barra mengeleng menghilang pikiran buruk tentang Nadea. Bagaimanapun gadis itu adalah kekasihnya. Seseorang yang Barra cintai sepenuh hati.
Kini Barra berada di ruang TV rumahnya. Suara kendaraan tetangga seringkali ia mengira Btari yang datang. Baru sehari ditinggal Btari, suasana rumah ini jadi berubah. Tidak ada Btari yang duduk di sofa sambil menonton tv, tidak ada Btari yang akan teriak-teriak karena menggoreng ikan atau ayam atau pun tidak ada Btari yang akan memancarkan mata yang berbinar ketika harus mencicipi makanan buatan Barra.
"Kamu lagi apa, Bi?" Tanya Barra pada layar ponsel yang menampilkan percakapan dirinya dan Btari. Lebih tepatnya ke chat Barra menanyakan kabar gadis itu. Masih satu conteng abu-abu.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Awalnya Barra mengira Btari yang menelpon, ternyata Nadea. Senyum tipis muncul di wajahnya. Ia sangat merindukan Nadea-nya. Gadis anggun dan sering bertingkah manja padanya.
"Halo, Sayang!" Suara di seberang menyapanya dengan bergitu riang.
Barra terkekeh. "Halo, Sayang. Udah gak sibuk, ya?"
"Hmmh, Nggak. Sekarang waktunya aku sama kamu."
"Aku kangen banget sama kamu."
Terdengar tawa dari ujung telepon. "Aku apalagi. Pengen peluk dan manja-manja sama kamu."
Nada suara Nadea yang seperti ini sangat dirindukan Barra. Gadisnya itu akan terlihat sangat menggemaskan. Berbanding terbalik dengan Btari yang sering menatap Barra dengan tatapan tajamnya dan wajah datar.
Tiba-tiba ia teringat Btari lagi. Ah, gadis kepala itu memang tidak seburuk yang ia kira.
"Kok diam, Bar? Kamu nggak apa-apa?" Tanya Nadea.
Barra tersenyum. "Nggak. Maaf, tadi lagi mikirin sesuatu."
Terdengar suara tawa di ujung telepon. Khas Nadea. "Kamu mikirin aku, ya?"
"Banget, Sayang. Video call aja, ya." Kata Barra sembari berjalan menuju kamarnya agar lebih nyaman.
"Oke deh."
Barra yang sudah berada di kamarnya langsung mengganti panggilan itu menjadi panggilan video. Layarnya ponselnya kini terpampang wajah sang kekasih. Seseorang yang dirindukannya. Senyum Barra langsung terbit begitu melihat wajah cantik itu juga menyambutnya dengan sumringah.
"Kamu cantik banget. Lebih cantik kalau bajunya gak kebuka banget gitu." Ujar Barra dengan lembut.
Nadea tampak berada di kamar hotel. Gadis itu masih memakai dress dengan tali spaghetti dan area dada yang agak terbuka. Rambut panjangnya terurai dengan begitu indah. Semakin menambah kecantikan Nadea. Barra sebenarnya kurang menyukai penampilan Nadea dengan pakaian seksi. Namun ia sadar, Nadea adalah seorang model. Sehingga pakaian seperti itu sebenarnya wajar dipakai oleh seorang model.
"Aku bukan istri sementaramu itu, Bar. Aku sukanya begini." Nadea tampak tidak suka.
"Aku nggak bilang kamu harus seperti dia. Aku hanya kurang suka kamu berpakaian terlalu terbuka seperti itu."
Barra bodoh memang. Ia tidak menyukai Nadea berpakaian terbuka, namun ia lupa bahwa Nadea adalah istri orang. Tentunya Nadea adalah milik suaminya. Dadanya masih begitu sakit membayangkan tubuh Nadea disentuh lelaki lain, sekali pun itu suami Nadea sendiri. Sisi posesifnya tidak menyukai itu.
"Jangan terlalu kuno, Bar. Aku model. Lagipula ini masih wajar di dunia entertainment. Kamu harus siap akan hal itu."
"Iya-iya. Aku minta maaf, ya. Lagipula aku ingin meluapkan rindu padamu, bukan berdebat denganmu." Lagi, Barra mengalah. Ia tidak mungkin bisa membiarkan kekasihnya itu marah.
"Jangan seperti itu lagi, Bar. Aku kurang suka." Suara Nadea terdengar lembut.
"Iya. Aku janji." Sahut Barra.
Malam itu, Barra menghabiskan waktunya dengan bertelepon dengan Nadea. Bercanda dan membicarakan hal-hal yang Nadea lakukan disana beberapa minggu terakhir. Tentunya Barra akan mendengarkan itu dengan baik. Sejauh ini, Barra memang pendengar yang baik. Barra lupa, kesibukannya malam itu membuatnya lupa memastikan kondisi istrinya baik atau buruk. Ia juga lupa bahwa sedari tadi Btari tidak bisa dihubungi.
****************
Jauh dari tempat Barra berada, Btari terduduk di atas dipan kayu sederhana, mengenakan pakaian tertutup dengan jilbabnya yang sedikit berdebu akibat jatuh di hutan. Kakinya yang terluka disandarkan di bangku kecil, terbalut sapu tangan yang mulai basah oleh darah. Ia meringis sesekali, menahan perih sambil menggenggam tas kamera yang kini tergeletak di sampingnya.
Sedari sore, hujan memang turun dengan lebatnya. Hal itulah yang membuat Btari dan timnya hendak pulang. Apalagi langit malam sudah semakin tampak. Namun saat perjalanan pulang itulah, Btari yang terlalu fokus dengan kameranya tidak menyadari terdapat akar pohon yang menyembul di jalan setapak yang dilaluinya.
Saat itulah ia tersandung dan berusaha menahan tubuhnya dengan kaki kirinya, tapi jalanan begitu licin sehingga ia tergelincir dan betisnya terkena kayu kecil yang tajam.
Begitulah yang terjadi sehingga kini ia meringgis kesakitan dan mencoba mengatur pernapasan guna mengelola rasa ngilu dan sakit tersebut. Tentunya atas bantuan timnya, ia pun bisa sampai di penginapan mereka - kepala desa setempat menyediakan rumah salah satu warga untuk mereka tempati sementara.
Pintu kamar bergeser, memunculkan temannya bersama seorang pemuda berpenampilan rapi. Pemuda itu mengenakan kemeja lengan panjang dengan warna netral, tampak membawa kotak kecil di tangannya. Sorot matanya teduh, namun gerak-geriknya tegas, seolah terbiasa menghadapi situasi seperti ini.
"Btari, ini Mas Raka. Dia mantri desa di sini. Dia akan membantu mengobati lukamu," ujar temannya, Alexa, dengan nada lembut. Btari mengangguk pelan, menatap pemuda itu dengan ragu-ragu, namun akhirnya membiarkan ia mendekat.
"Malam Mbak," sapa Raka sopan, suaranya tenang namun penuh keyakinan. "Saya periksa dulu ya."
Btari menjawab lirih, "Malam, Dok. Silakan." Ia melonggarkan sedikit posisi duduknya, membiarkan Raka berjongkok di dekat kakinya.
Pemuda itu melepas sapu tangan dengan hati-hati, matanya memperhatikan luka yang tertutup debu dan darah. "Lukanya cukup dalam. Kita harus membersihkannya dulu. Mungkin sedikit sakit, tapi insya Allah cepat sembuh," ujarnya sambil mulai menyiapkan antiseptik.
Btari mengangguk, menggigit bibirnya saat kapas yang dibasahi antiseptik menyentuh kulitnya. Raka bergerak cekatan namun penuh kehati-hatian, memastikan luka itu benar-benar bersih sebelum mengambil pinset untuk mengeluarkan potongan kayu kecil yang menancap.
Sambil menyelesaikan pekerjaannya, Raka sempat melirik Btari yang tampak berusaha menahan rasa sakitnya. "Kamu perempuan yang kuat. Alhamdulillah, ini sudah bersih. Saya balut dulu," ujarnya, tersenyum tipis untuk menenangkan.
"Terima kasih," ucap Btari lirih, menatap perban putih yang kini membalut kakinya. Raka hanya mengangguk sambil merapikan peralatannya. "Jaga kebersihan lukanya, ya. Kalau terasa nyeri atau bengkak, segera kabari saya."
Btari mengangguk lagi, merasa lega namun juga kagum dengan cepatnya tangan lelaki itu mengobati lukanya.
"Makasih, Mas Raka." Ucap Alexa lembut dibalas senyuman ramah dan anggukan kecil Raka. "Tar, aku anterin Mas Raka keluar dulu, ya." Ucap Alexa, Btari mengangguk mengiyakan. Alexa kemudian keluar mengikuti Raka yang lebih dulu keluar.
Btari menghela napas panjang sambil memijat pelipisnya. Setelah kejadian di hutan tadi, ia baru menyadari bahwa ponselnya tersimpan di tas kamera yang tergeletak di samping dipan. Ia meraih tas itu dengan perlahan, membuka resletingnya, dan mengambil ponsel yang baterainya tinggal beberapa persen.
Saat layar ponsel menyala, matanya langsung tertuju pada deretan notifikasi. Ada beberapa panggilan tak terjawab dari abangnya, membuat perasaannya seketika gelisah. Namun, yang paling menarik perhatiannya adalah sebuah pesan singkat dari Barra.
'Bi, kabari kalau udah sampai.'
'Bi, Mama dari tadi sibuk banget nanyain kamu. Jangan gak balas.'
'Bi, kamu dipelosok mana sih? Susah sinyal, ya.'
'Bi, nggak usah kepedean ya. Ini hanya karena Mama yang sibuk banget dari tadi nanyain kamu.'
'Bi'
'Bi'
'Bi, kamu nggak matikan? Aku belum mau jadi duda.'
Btari tersenyum tipis melihat pesan singkat Barra. Ia pun memilih menelpon Barra, namun yang terdengar hanyalah suara operator yang mengatakan bahwa Barra sedang sibuk.
'Lagi teleponan sama siapa dia?' Batin Btari cemas.
Suatu rasa yang tidak seharusnya hadir.
ceritanya kayak beneran, jd senyum" sendiri